webnovel

Baby's Dragon

Leo, Penyihir berusia ribuan tahun terbangun dalam wujud bayi setelah lama tertidur demi memulihkan tubuhnya pasca perang yang tak berkesudahan. Namun ketika ia keluar dari Ruang Jiwa ... "Baby ... ," Seekor Naga jantan, menatap batita kecil di depannya dengan mata yang berkilau cerah. Iris emas itu penuh kebahagiaan dengan sentuhan kejutan yang tak tertahankan. "Baby, panggil Papa." " ... ." Sebentar ... BUKANKAH MEREKA BEDA SPESIES?! BAGAIMANA BISA NAGA INI MENGANGGAPNYA ANAK?! Leo sakit kepala. Degan tubuh bayi dan bahasa Naga yang terdengar cadel, pada akhirnya ia mendidik Ayah angkatnya dari Naga Primitif yang konyol dan idiot, menjadi seekor Naga berdarah murni yang berwibawa. Oh, ini Papanya! Leo bangga. Namun sayang, masa depan selalu tidak terduga. Art Cover by: Fai

AoiTheCielo · LGBT+
Not enough ratings
65 Chs

23. Naga Biru

Bagaimana pun, kedua penyihir yang dibawa Leo merupakan ras yang kuat. Elf memiliki kedekatan dengan alam sementara Vampire memiliki keakraban dengan kegelapan. Jadi, setelah beberapa menit berlari, Amerta dan Bastian secara bertahap mulai terbiasa dengan kegelapan di sekitar mereka dan tidak memerlukan bimbingan kembali.

Hanya dengan langkah kaki yang tergesa-gesa dan napas mereka yang kian memburu, ketiga Penyihir yang berlarian itu melewati setiap pepohonan di sekitar mereka. Teriakan monster besar mengikuti di belakang, membuat semua orang tidak berani menoleh hanya untuk memastikan agar tidak ada yang menjadi penghalang satu sama lain dalam hal menyelamatkan diri.

Berlari dan terus berlari hingga akhirnya merasa sudah menemukan tempat persembunyian yang aman. Mereka menemukan sebuah pohon tua yang memancarkan aroma lembut tumbuh-tumbuhan. Karena itu, Leo tanpa ragu melepaskan genggamannya saat mereka menyelinap masuk ke dalam sela akar pohon raksasa yang keluar ke atas tanah.

Kedua Penyihir langsung ambruk. Terengah-engah dan kehabisan tenaga. Jantung keduanya berdegup dengan sangat kuat, menghantarkan adrenalin yang tidak henti berdesir. Meski suhu benar-benar dingin, tetapi keringat tidak henti mengalir keluar dari setiap pori keduanya. Seluruh tubuh mereka gemetar, dengan kedua sendi yang terasa selemah jel.

"Aku harus pergi."

Suara yang begitu tenang sukses membuat sepasang Ras Campuran dan Elf tercenga.

"Apa?" Basian mengerutkan alisnya, menatap satu-satunya sosok yang tidak terlihat lelah dan masih berdiri kokoh. Sepasang kelereng merah bersinar di dalam kegelapan, memperlihatkan sepasang pupil vertikal selayaknya predator di malam hari.

"Aku tidak bisa meninggalkan Merci."

"Tidak, kau tidak boleh pergi," Amerta langsung menyela. Napasnya terengah-engah. Mulutnya terbuka, mengambil oksigen sebanyak mungkin. Bagaimanapun, mereka berada di hutan pada malam hari, tumbuhan akan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida yang berbahaya untuk tubuh.

Saling memperebutkan oksigen, kepala Amerta mulai pusing karena Hipoksia.

"Mungil, di sana berbahaya!" Bastian langsung mencengkram lengan temannya, takut sosok itu benar-benar akan pergi dan meninggalkan mereka. Baik dirinya mau pun Amerta sangat kelelahan, belum lagi ada ancaman untuk mengalami gejala Hipoksia. Bila Penyihir kecil ini benar-benar pergi, Remaja Arya benar-benar tidak bisa membayangkan hal buruk apa yang akan terjadi. "Kita harus bersembunyi dan tidak merepotkan Merci."

Leo menunduk, menatap tangan yang mencegahnya untuk pergi.

"Benar, kita harus bersembunyi dan tidak merepotkan Merci sama sekali!" Amerta mengerutkan alis, keringat dingin membasahi pelipisnya. "Lagi pula, dia adalah Kesatria, tenaganya lebih kuat ketimbang kita. Bila kau tetap bersikeras ke sana, kau cuma akan menyusahkannya!"

Leo menatap ras Elf dan campuran itu satu persatu. Ia tidak bersuara sama sekali, ekspresinya begitu tenang. Tidak ada kepanikan yang dirasakan seperti kedua Penyihir di depannya. Namun, ketika ketiganya jatuh ke dalam keheningan, kedua Penyihir mendadak merasakan rasa kantuk yang luar biasa.

"Uh ... kenapa aku mengan-"

Ucapan Amerta tidak selesai. Sosok pirang dalam hitungan detik jatuh begitu saja--tertidur dalam hitungan detik. Melihatnya, Bastian langsung mengerti. Tidak ada kepanikan, sebaliknya, sosok raven itu menatap Leo dengan tidak percaya.

"Apa yang--"

Bruk.

Sebelum kata-kata itu selesai, Bastian jatuh terbaring ke atas tanah--menyusul Amerta yang tertidur. Kedua sosok yang begitu aktif mendadak tenang, tidak bersuara. Dengan tarikan napas yang begitu cepat dan keringat dingin yang masih membasahi pelipis, kedua ras benar-benar terlihat menderita dan tidak nyaman.

Leo menghela napas. Sosok kelabu itu berjongkok, mengusap rambut kedua penyihir dengan lembut. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku," ujarnya lembut. "Beristirahatlah dengan baik."

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Leo langsung menggambar rune. Memastikan kedua sosok akan terlindungi dan tersembunyi dengan baik. Ia bahkan menambahkan beberapa rune agar oksigen dan kehangatan pelindung sesuai dengan kebutuhan kedua penyihir.

Merasa semuanya sudah baik, senyuman remaja itu mengembang. Melangkah mundur beberapa langkah, sepasang iris biru menatap pohon tua raksasa yang menjadi tempat persembunyian kedua penyihir.

"Maaf, aku tidak bisa meninggalkan Merci," dapat Leo rasakan kegelisahan merayap di dadanya, membuat jantungnya berdebar dengan tidak nyaman, membuat hatinya terus menjerit untuk segera menolong sosok Naga Biru yang sempat membuatnya kesal.

Kekehan kecil mengalun. Sepasang iris biru menatap sedih ke arah pohon raksasa yang menjulang dengan anggun. Oh, perasaan gelisah ini, ketakutan akan kehilangan yang membuatnya sulit untuk berpikir rasional …

Sejak kapan ketiga bocah menjadi bagian yang berharga untuknya?

"Sama seperti kalian, aku … juga tidak bisa meninggalkan kalian begitu saja," memunculkan sepasang sayap semerah darah di punggungnya, helaan napas terlontar. "Karena itu …," sepasang iris biru menatap lembut pohon tua yang begitu kokoh dan besar.

[Pohon Ibu, tolong lindungi dan jaga kedua Penyihir yang baik dan berharga ini, mereka adalah anak-anak hijau selayaknya kuncup bunga yang rapuh. Memerlukan perlindunganmu, memerlukan kasih sayangmu] Bahasa Manusia Kuno mengalun, bak nyanyian yang lembut, terbawa oleh hembusan angin yang dingin dan membeku. Namun, saat suara itu jatuh, pohon tua yang begitu agung dan kokoh bergetar ringan, sebelum akhirnya jatuh ke dalam keheningan.

Leo menunduk. Ia melangkah mundur beberapa kali, memegang dada kirinya dan membungkuk hormat. Ekspresinya penuh dengan rasa syukur dan penghormatan. Ketika sosok kelabu kembali menegakkan tubuhnya, remaja An tanpa ragu berbalik. Melebarkan sayap merahnya dan terbang menjauh.

Brak!

Suara dentuman dan kegaduhan memenuhi udara. Belum sempat ia menjauh, suara kegaduhan sukses membuat jantungnya terasa melompat. Tanpa keraguan, Sosok merah terbang membelah malam. Dengan kecepatan penuh, tanpa keraguan sama sekali menuju ke sumber suara.

"GRAAAAWWW!"

Auman Monster Naga Berkepala Dua memecahkan keheningan malam. Tubuh yang begitu besar, dengan dua kepala berleher panjang terlihat begitu mendominasi langit. Saat berhadapan dengan tubuh kecil seekor naga bersisik biru di kejauhan, ukuran tubuh yang hanya seukuran paruh Monster Naga Berkepala Dua hanya membuat Merci semakin terlihat lemah.

Sepasang iris biru membola sempurna.

Di dalam kegelapan, sosok Naga Muda jelas terluka parah. Beberapa memar dan juga sisik yang telah mengelupas memamerkan keburukan yang belum pernah Leo lihat. Namun sosok kecil itu dengan keras kepala tetap mengepakkan sayapnya, tidak takut sama sekali dengan ancaman kematian yang berada di depan mata.

Tubuh yang serupa, tetapi warna yang berbeda.

Leo tertegun.

Nafasnya tertahan saat sosok biru berubah menjadi warna putih. Seputih salju yang jatuh dari langit dan menyentuh tanah hitam yang kotor. Kekeras kepalaan dan tatapan yang penuh dengan amarah itu terlalu mirip. Terlalu serupa dengan Evelin, Naga Salju yang selalu berisik dan menyebalkan.

Bisa-bisanya …

Remaja kelabu gemetar.

Merci tahu ia tidak akan mungkin bisa melarikan diri. Ketimbang mati dan berakhir karena melarikan diri dari pertarungan … Naga Biru lebih memilih mati menghadapi lawannya. Harga diri dan pertimbangan Naga Biru itu benar-benar …

BENAR-BENAR BODOH!

Kemarahan yang menyesakkan dada membuncah. Kepalanya berdengung, ingin sekali langsung terbang dan memukul kepala Naga! Sungguh, bisa-bisanya bocah ini berpikir seperti itu di usia yang masih terlalu hijau!

Leo menggeretakkan gigi. Jemarinya gemetar, gatal ingin segera membunuh Monster Naga Berkepala Dua dan memukul Naga Biru yang sok bermain sebagai seorang Pahlawan kesiangan. Namun sosok kelabu masih cukup berpikir rasional. Ia tidak langsung bertindak, sebaliknya, tubuhnya tetap berdiri di tempat. Bersembunyi dibalik gulita dan keheningan malam yang memeluknya.

Leo tahu keadaan tubuh Merci sedang tidak benar. Sosok Naga Biru itu tengah mengalami Anomali, tekanan kekerasan yang menyebar dan berniat menghancurkan semua hal memicunya untuk bertindak bodoh. Namun, mampu untuk bertahan untuk membunuh dirinya sendiri secara instan, Leo harus diam-diam mengagumi remaja Diandra ini.

Mengenakan jubah hitam dan sebuah topeng, remaja kelabu membuat dirinya tidak dikenali sama sekali. Sosok bersayap merah darah itu tidak lepas memandang pertarungan berat sebelah yang terjadi beberapa ratus meter di depannya.

Hal ini seperti permainan kucing dan tikus. Sosok monster yang besar memainkan mangsanya sebelum benar-benar melahap. Membiarkan Naga Biru bergerak dengan bodoh, menyerang dengan air, udara dan es dengan putus asa dan gila. Namun semua serangan tidak berpengaruh sama sekali. Bahkan sehelai pun bulu tidak rontok karena serangan yang terlihat kuat itu.

Sebaliknya, sekali kepakan sayap, tubuh Naga Biru langsung diterbangkan, jatuh menabrak dinding kapur sebuah tebing. Namun Naga Muda sangat keras kepala. Ketika ia menghantam dinding hingga membuat bebatuan di sekitarnya runtuh, Naga Biru dengan keras mengepakkan sayapnya, terbang dan menjauh sebelum tenggelam ke dalam puting-puting kapur.

Sepasang iris biru menatap dingin.

Tepat saat sayap biru itu tidak mampu kembali terbang dan mulai jatuh di atas ketinggian, Leo tidak kembali berdiam diri. Sepasang sayap merah mengepak, terbang dengan sangat cepat dan gesit, melemparkan pelindung hingga menabrak tubuh yang sudah tidak sadarkan diri. Sebuah lapisan transparan dengan cepat menyelimuti tubuh Naga muda, diiringi dengan cairan kental yang langsung menenggelamkannya di dalam lapisan bola kaca yang besar.

DARK!

Salah satu kepala Monster terbuka lebar, mematuk tubuh yang jatuh di hadapannya. Namun paruh itu membentur lapisan pelindung yang kuat, membuat sosok Monster berteriak menyakitkan dan mengepakkan sayap menjauh.

Tepat saat bola yang dipenuhi dengan cairan itu jatuh menghantam tanah hingga membuat pepohonan di bawahnya tumbang, Leo sudah berada di depan Monster Naga Berkepala Dua. Tubuh yang jauh lebih kecil hanya terlihat seperti semut di mata tajam itu. Namun insting hewan yang begitu kuat tidak membuat Monster Berkepala Dua meremehkan makhluk kecil ini. Sebaliknya, sosok itu menjadi jauh lebih waspada dan menjaga jarak yang tepat.

Leo agak kaget dengan kewaspadaan makhluk ini yang tinggi. Namun ini tidak mencegahnya untuk menyerang. Tanpa ragu, sosok berjubah terbang bak sebuah peluru. Memanfaatkan tubuhnya yang jauh lebih kecil untuk menabrakkan seluruh tubuhnya ke Monster Naga Berkepala Dua.

"GRAAAWW!" Teriakan kesakitan membahaya di udara. Sosok besar itu nyaris jatuh dari ketinggian saat mendadak diserang bertubi-tubi. Tubuh besarnya tidak mampu menangkap pergerakan makhluk kecil yang terus menusuknya dimana-mana, membuat sosok besar mengaum marah.

Tepat ketika salah satu kepala hampir berhasil mematuk makhluk kecil itu, Leo terbang melarikan diri. Cahaya pelindung bersinar redup di seluruh tubuhnya. Bukan tubuh fisik, tetapi si kelabu dengan sengaja menabrakkan pelindungnya dengan kulit keras Monster besar itu sehingga menyebabkan rasa sakit dan timbal balik sengatan listrik yang kuat ke tubuh makhluk besar tersebut.

Tepat ketika Leo terbang melarikan diri, Makhluk besar itu tanpa ragu mengikuti. Mengaum dan tidak henti mengepakkan sayapnya. Tanpa ragu meniupkan bilah angin yang kuat guna menyakiti semut kecil itu. Namun tidak peduli sekuat apapun Monster itu meniup, makhluk kecil masih terbang dengan lincah dan gesit, tidak terpengaruh sama sekali dengan tekanan dan tiupan anginnya yang kuat.

"GRRAAAWWW!" Monster berkepala dua itu sangat marah. Kedua kepala mengaum, masing-masing mencoba melahap makhluk kecil ke dalam mulutnya. Namun mendadak, Leo berhenti menghindar dan berlari. Sebaliknya, ia kembali menyerang. Kali ini bukan tubuh, melainkan leher dan kepala yang merupakan bagian fatal Monster Naga Berkepala Dua.

Monster itu berteriak kesakitan. Serangan di kedua kepala membuat penerbangannya tidak mulus. Tanpa ragu, makhluk besar itu jatuh dari udara, menimpa pepohonan di bawahnya dan merusak semua hal di sekitarnya.

Leo melayang di udara. Sayap merah itu berkibar, lembut dan kuat. Menopang tubuh berlapis jubah yang menari tertiup angin. Sepasang iris biru bersinar dingin, menatap merendahkan makhluk raksasa yang berada di bawahnya. Merintih kesakitan, terlihat begitu menyedihkan saat bagian vital diserang hingga membuat kedua kepala tidak mampu kembali berdiri di leher yang panjang.

Leo tidak berniat untuk membunuh Monster Naga Berkapala Dua ini. Sepasang iris biru menyipit, memandang cincin besi yang melingkari salah satu kaki monster ini. Cincin yang menyimpan data dan juga informasi.

Sebelah tangan terulur, menjatuhkan sebuah pil sekecil sebutir beras.

Benda kecil itu tidak tersapu oleh udara. Dengan mulus jatuh lurus dan mendarat di bulu lebat sang Monster.

Tepat di detik itu juga, suara tangis dan geraman menyedihkan menghilang.

Monster Naga Berkepala Dua jatuh pingsan. Tidak sadarkan diri sama sekali.

Leo mengerucutkan bibirnya. Dibalik sebuah topeng putih polos tanpa wajah, remaja itu tanpa ragu terbang menjauh. Udara dingin menerpanya, membuat jubahnya berkibar di malam yang membeku. Saat sampai di sebuah bola raksasa yang penuh dengan cairan, Leo mendarat dan melepaskan semua penyamarannya.

Sepasang kelereng biru berkedip. Kaki berlapis sepatu kulit menginjak tanah yang lembab. Namun, sepasang iris segelap laut dalam itu fokus menatap lapisan kaca transparan yang berbentuk telur raksasa.

Leo mengatup rapatkan bibirnya menjadi garis lurus. Sebelah tangan terulur, menyentuh permukaan kaca yang keras dan dingin. Sepasang iris dengan mudah menemukan seekor Naga Biru yang tertidur di dalamnya. Melipat kedua sayap dan menjepit ekornya, Naga Muda itu menggulung dan membentuk posisi perlindungan diri seolah ia benar-benar berada di dalam telur.

Remaja kelabu menghela napas berat.

Ini adalah alat sihir sekali pakai yang ia banggakan. Telur Kehidupan. Alat sihir level 10 yang bahkan mampu untuk menghidupkan seseorang yang berada di ambang kematian. Namun sayang, alat ini tidak berguna sama sekali ketika ia memasukkan muridnya, Takahara Rika ke dalamnya. Satu-satunya keuntungan adalah alat ini berhasil memperbaiki beberapa organ tubuh yang sudah meleleh di tubuh muridnya dan membiarkan sosok itu bisa terus hidup.

Namun kematian muridnya tetap saja datang menjemput. Terlalu cepat, untuk seorang Penyihir level 9, Rika terlalu cepat untuk mati.

Kematian Rika, juga ketiga murid lainnya merupakan penyesalan terbesar Leo. Bahkan ketika waktu terus mencoba mengobati rasa sakit itu, penyesalan yang menggerogoti tidak akan pernah hilang. Itulah sebabnya, tanpa sadar, mungkin … mungkin ia mulai terlalu paranoid.

Sepasang iris biru kembali menatap Naga Muda yang tengah memulihkan tubuhnya. Sosok besar itu terlihat sangat rapuh, menggulung tubuhnya menjadi bola dan seolah meminta pelukan, meminta perlindungan.

Leo tidak mengatakan apapun. Sepasang iris biru menatap fokus Naga Biru yang berada di dalam bola kaca. Sebelah tangannya terulur, mengusap lembut lapisan kaca dengan ibu jarinya. Meski wajah remaja itu terlihat tanpa ekspresi dan bahkan dingin, pergerakan jemari yang seolah menyentuh porselen rapuh mempertegas keputusan yang ada di hatinya.

Ia sudah menganggap bocah naga ini berharga …

Maka dari itu …

Sepasang iris biru menyendu, senyuman kecil mengembang.

Diandra Merci, kuharap kau tidak akan mudah mati.

Luha~

gomen, aku benar-benar dicekik sama kerjaan. Kayaknya sampe bulan depan, kerjaanku benar-benar numpuk dan bahkan aku tidak sempat untuk menulis. Bahkan beberapa hari terakhir diriku sampe 2x ngadep dokter karena kecapean.

Btw, terima kasih sudah menunggu cerita ini! Tenang saja, cerita ini tetap selalu bakal aku uplod, tetapi mungkin tidak akan teratur lagi dan akan sangat slow update.

Okay, sekali lagi, terima kasih atas semua dukungan dan komentarnya!

AoiTheCielocreators' thoughts