webnovel

22. Penyerengan

"Ini sudah 3 hari dan aku sudah melakukan semua yang kau mau," Elf cantik itu berujar dingin. Tidak ada keramahan, hanya ketidak sabaran yang jelas terus mengikis rasionalitasnya. "Sekarang, kau bisa mengambil putriku dan memberikannya kepadaku?"

Sepasang iris emas menatap layar transparan di hadapannya. Wajah tanpa ekspresi itu terlihat sangat tenang, seolah tidak terpengaruh dengan ancaman yang jelas ditujukan kepadanya.

"Tidak."

"AN COSMOS!"

"Bukan hanya putrimu, tetapi juga putraku, putra Yang Mulia Rio dan juga Putra dari Mantan Ratu, Yang Mulia Youna, ikut diculik," suara bass itu menyela. Intonasinya tidak terburu-buru, tetapi jelas memperingatkan ketiga sosok yang kini berada di balik layar. "Nah, tetapi hanya aku yang benar-benar tahu di mana keberadaan keempat anak-anak itu."

An Cosmos duduk tenang di kursinya. Pria berhelai perak itu justru terlihat sangat santai. Mengenakan seragam berwarna hitam yang pas di tubuhnya, sosok menawan itu menatap layar yang menampilkan 3 wajah yang berbeda.

"Jangan bermain-main dengan kami," sosok dengan helai rambut dan mata gelap menyela. Ras manusia yang terlihat dingin dan tegas itu menatap sosok perak yang mendadak menghubungi mereka bertiga. "Kami sudah melakukan apa yang kau mau."

"An Cosmos," wanita cantik dengan helai semerah darah menatap tajam sosok yang masih terlihat tenang. "Aku mempercayaimu, jadi … jangan membuatku ingin menghancurkanmu."

Alis Naga Perak terangkat. Sosok rupawan yang duduk di kursinya terlihat sangat dekaden. Bahkan dengan hardikan dan tekanan dari masing-masing orang petinggi di setiap negara, ekspresinya masih terlihat tenang dan acuh tak acuh.

"Aku akan mengatakannya dengan jujur," pria muda itu bertopang dagu, menatap layar yang ada di hadapannya dengan sepasang iris emas yang dingin. "Sejak terakhir kali aku menghubungi putraku setelah mereka diculik … aku tidak bisa menghubunginya kembali."

Hening.

Mendadak, tidak ada lagi yang berbicara.

Semua orang tahu bahwa satu-satunya petunjuk yang mereka miliki hanya Lyra dan juga cincin yang dikenakan An Leo. Namun sayang, hingga saat ini, Lyra masih belum sadarkan diri. seluruh pemantauan mati. Lalu sekarang … satu-satunya akses dan komunikasi dengan buah hati mereka, terputus?!

Sepasang iris emas menyendu.

Oh, Babynya pasti benar-benar bersenang-senang. Ada tiga orang yang seumuran, satu perempuan dan dua laki-laki. Masing-masing memiliki identitas yang baik dan wajah yang menawan. Nah … Naga Perak dengan baik hati memberikan pilihan. Putranya yang sangat luar biasa, tentu saja pantas untuk mendapatkan pendamping yang juga luar biasa, bukan? Jadi … setelah liburan ini, ia ingin mendengar evaluasi Babynya yang lucu.

Sosok mana yang paling si kecil sukai?

Setidaknya, bila sudah mempersiapkan dari sekarang … An Cosmos tidak akan ketakutan atau merasa gelisah lagi. Oh, Babynya tidak akan sembarangan memungut orang untuk dijadikan kekasih. Jadi, ini menjadi kesempatan bagus untuk melihat orientasi sexual babynya. Apakah condong ke perempuan, atau laki-laki?

Cosmos diam-diam menghela napas di dalam hati.

Oh, bila bukan karena baterai pada cincin si perak telah habis, mereka pasti masih bisa berkomunikasi. Yah … salahkan kenapa yang dipakai adalah produk gagal. Cincin hanya bersifat satu arah, hanya bisa menghubungi tanpa dihubungi. Namun yang terparah, Leo tidak pernah berharap untuk menggunakannya sehingga … tidak pernah melakukan pengisian ulang energi.

Jadi, situasi di mana Cosmos tidak bisa menghubungi Babynya, benar-benar tidak terhindarkan.

"An Cosmos, jangan bermain-main dengan kami," suara rendah Anthony bergema, sukses membuyarkan lamunan ngelantur sang Naga perihal calon mantu. Nada yang jelas menandakan kemarahan terasa menusuk pendengaran. "KATAKAN YANG SEBENARNYA, KENAPA SAMPAI PUTRIKU DICULIK!"

Alis Naga Perak terpaut.

Baiklah … semoga saja bukan Amerta. Sungguh, akan merepotkan bila memiliki mertua seperti ini.

"Baiklah, aku tidak akan berbasa-basi, tetapi sebelum itu, aku akan memberitahu kalian semua," sepasang pupil vertikal menatap ketiga layar di hadapannya. "Sejak aku menghubungi kalian, tiga hari yang lalu, aku sudah memantau kalian dan … terima kasih karena tidak mengatakan apa pun perihal penculikan, apa lagi melakukan hal bodoh seperti pencarian diam-diam atau bahkan besar-besaran."

Senyuman dingin merekah. Sedikit pun, tidak ada keramahan dari senyuman dan nada yang keluar dari sosok rupawan itu. Sukses membuat ketiga orang yang mendengar apa yang terucap, membeku kaku. Tidak menyangka bahwa selama ini, mereka akan dipantau tanpa disadari sama sekali.

Ada kemarahan, tetapi jelas ketakutan jauh lebih besar.

Bisa memantau tanpa mereka sadari sama sekali, kekuatan di tangan Naga Perak itu bukan sesuatu yang dapat mereka ... hadapi. Jelas, mereka memiliki posisi tinggi, tetapi di hadapan Naga yang begitu tenang, ketiganya terlihat seperti bukan apa-apa.

"Nah, sebagai rasa terima kasihku, aku akan memberitahukan hal yang menarik."

Tidak ada yang berani menyela. Ketiga orang tua yang dilanda kecemasan, harus menelan semua perasaan tidak nyaman mereka.

"Negara Yuron, Negara Ion, Negara Mole dan bahkan … Daerah Kelabu," senyuman menghilang. Ekspresi pria tampan itu berubah semakin dingin. "Menurut kalian, anak-anak yang sangat berharga dari masing-masing negara bisa diculik di saat yang sama adalah … sebuah kebetulan?"

Ketiga orang tertegun. Masing-masing orang tua dihubungi, tetapi mereka tidak saling mengetahui bahwa … anak mereka tengah bersama-bersama. Mereka hanya tahu bahwa anak mereka, bersama dengan An Leo, putra dari An Cosmos. Namun bila sampai anak-anak dari masing-masing negara diculik seperti ini …

Cosmos tersenyum dingin. Menatap ketiga orang tua yang kini, mendapatkan rasionalitasnya kembali. Ekspresi mereka semua berubah begitu cepat. Seolah ditampar oleh kenyataan yang tidak pernah terduga.

Anthony, seorang Elf darah murni yang harus membuang identitas Bangsawannya, bersama keturunannya. Diandra Yuron, seorang Ratu yang gagal mempertahankan pernikahannya. Arya Rio, seorang Raja yang gagal memakmurkan rakyatnya.

Lalu An Cosmos …

Seorang Pangeran negeri Ion yang telah kehilangan identitas dan status Bangsawannya, sejak ia menetas di Planet Ilusi sebagai Naga Primitif.

Keempat orang yang mencicipi buah kegagalan berkumpul bersama. Entah disengaja atau tidak sengaja … keturunan mereka masing-masing berkumpul begitu saja. Seolah dipermainkan oleh nasib yang tak terhindarkan, keempat remaja diculik bersama, untuk dibunuh dan memprovokasi … perang antar negara.

Ekspresi semua orang berubah serius.

.

.

.

Gumpalan kelabu memenuhi langit. Menutupi bias cahaya matahari yang membawa kehangatan. Suhu, yang kian lama semakin turun, membuat empat remaja yang tengah melakukan perjalanannya harus menahan angin dingin yang menerpa.

"Ini benar-benar dingin," Bastian menggigil. Sosok raven itu berjalan selangkah demi selangkah, menyeret selimut yang tidak lagi bersih seraya memeluknya dengan erat. Kabut tipis terlihat mengepul pada napasnya, diiringi dengan keringat dingin yang membasahi pelipis.

"Mau berbagi jubah denganku?" Amerta dengan baik hari mendekati si raven. Gadis mungil itu tanpa ragu membuka jubahnya, berniat menyelimuti remaja yang jauh lebih tinggi. "Ini lebih hangat."

Sepasang iris merah langsung cerah. "Terima kasih!"

"Tentu saja hangat, itu jubah," Leo mencibir. Remaja perak mengenakan selimut, menggantikan Amerta yang seharusnya mengenakan selembar kain ini. "Bila kalian berbagi jubah seperti itu, berikan aku selimut lagi!"

Bastian tertawa. Tanpa ragu melemparkan selimut miliknya dan meraih Amerta yang lebih kecil. Ia melepaskan jubah Amerta, berganti untuk mengenakan dan berbalik untuk merangkul gadis mungil itu. Dengan tubuhnya yang lebih tinggi, ia mampu untuk menyelimuti gadis Elf ini.

"Nah, seperti ini lebih enak," Bastian puas, sementara Amerta menyeringai senang. Oh, ia benar-benar puas dengan posisi ini!

Leo tidak menggunakan selimut yang dilemparkan Bastian, sebaliknya, ia memberikannya ke Merci. "Gunakan itu, hari semakin dingin."

Naga Biru tersenyum. "Tidak," tolaknya seraya mendorong selimut ke arah si perak kembali. "Kau lebih perlu, aku bisa menjaga suhu tubuhku sendiri dan tidak akan kedinginan."

"Ah, benar, kudengar Naga adalah makhluk berdarah dingin?" seolah teringat sesuatu, Bastian menoleh ke arah Merci. "Merci, kau tidak bisa merasakan dingin?"

"Tentu saja bisa," remaja Diandra menghela napas. Bergerak mengangkat selimut di tangannya dan mengenakannya ke tubuh Penyihirnya. "Tetapi suhu yang kami rasakan tidak akan sedingin yang kalian rasakan."

"Itu sebabnya tanganmu sangat dingin," Leo bergumam, menatap tangan putih yang lebih besar dari tangannya. Naga Biru menarik tangannya dari bahu sang remaja begitu mendengarnya.

"Aku bisa menghangatkannya," akunya jujur. "Tetapi, bila aku melakukannya sekarang, itu hanya akan menghabiskan energiku."

Si perak mengangguk mengerti. Yah … situasi mereka berada di tengah hutan. Meski ada Elf dan juga Naga Biru, keberadaan Binatang Buas dan Monster masih menjadi ancaman terbesar. Sayangnya, mereka hanya memiliki satu Kesatria. Siapa yang akan menjadi pelindung selain Merci? Oh, lupakan Leo. Ia masih ingin berpura-pura lemah dan polos.

"Ngomong-ngomong, Mungil, Tuan An tidak menelfonmu lagi?" Sudah lebih dari 2 hari, remaja Arya tidak melihat Leo mengangkat panggilan atau mendapatkan panggilan dari Ayah Naganya. Padahal, di hari-hari biasa, setiap hari si perak pasti akan ditelfon. Namun, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin Naga Perak tidak menelfon? Apakah sosok itu benar-benar tidak khawatir?

Mendengar pertanyaan Bastian, membuat Leo ingin mengumpat.

Tidak mungkin mengatakan bahwa produk cacatnya ini, sudah kehabisan energi ketika panggilan terakhir dilakukan! Ah, Leo sangat ingin mengumpat. Terima kasih untuk tidak memikirkan perihal batu energi. Dengan tolol, bukannya menggunakan teknologi konsumsi energi cahaya matahari, ia menggunakan energi dari batu energi.

Serbuk batu energi dimasukkan. Dengan benda sekecil itu, tentu saja akan lebih cepat kehabisan energi!

"Jangan katakan bahwa Ayahmu berniat menelantarkan kita lebih lama?" Amerta melotot galak. Gadis Elf itu menoleh dan menatap Penyihir perak yang berdiri di belakang mereka. "Udara semakin dingin! Tidakkah Ayahmu berpikir bahwa di sini masih memiliki tiga Penyihir?!"

"Jangan mengatakan seperti itu," Bastian langsung menjitak kepala pirang. Agak kesal dengan tuduhan yang dilontarkan sang Elf. "Bukankah Mungil sudah menjelaskannya? Ada alasannya kenapa kita harus lebih lama di sini."

Kapan aku menjelaskannya? Leo bingung. Namun tidak mengungkapkan pertanyaan yang refleks melompat dari otaknya.

"Tetapi--"

"Kita cari pemukiman warga," Leo cemberut. Memeluk selimut dua lapisnya yang terasa sangat tebal. "Kita sudah sampai di sungai, ikuti saja aliran sungai … siapa tahu kita benar-benar akan menemukan pemukiman warga."

"Itu berbahaya," Merci langsung menolak. Beberapa meter di depan mereka, memang ada sungai. Bila bukan karena rencana untuk menangkap ikan, tidak mungkin untuk mendekati sungai ini. "Beberapa hewan pasti akan memilih sungai untuk minum. Bagaimana bila ada Binatang Buas?"

"Benar," Amerta tanpa ragu setuju. "Lagi pula, kenapa kita tidak menetap di gua saja dan menunggu?" Merci bisa membuat gua menjadi hangat, mereka tidak perlu berpindah-pindah tempat sama sekali.

Leo mendengus. "Papaku tidak memberitahu pasti kapan dia bisa menjemput," ujarnya seraya menatap si pirang. "Kau mau tidur dan makan di dalam gua terus? Tanpa berganti pakaian dan membersihkan diri?"

Elf itu membeku, lalu beberapa saat, wajahnya memerah. Oh, benar. Mereka semua bau. Meski Merci bisa mengeluarkan air hangat, tetapi siapa yang ingin mandi di tengah hutan? Mereka tidak kekurangan air, tetapi mereka kekurangan tempat privasi yang aman.

"Aku ingin mandi," Bastian menghela napas. Sudah 3 hari, meski selama perjalanan mereka menemukan berbagai macam hal yang menarik, tetapi tetap saja … tinggal di dalam gua tidak akan senyaman tinggal di bawah atap rumah.

"Para penculik tidak mungkin sempat membawa kita terlalu jauh," Merci menghela napas. Menatap ketiga penyihir yang harus ia lindungi. "Ini mungkin adalah Planet primitif, tetapi jaraknya pasti tidak akan terlalu jauh dari Planet Ibu Kota, jadi … pasti masih akan ada warga. Atau bahkan mungkin, sebuah kota."

Ras campuran setuju mendengarnya. "Yah … lagi pula, beberapa hewan pasti sudah mulai hibernasi," Bastian menyeringai. "Bila tidak menggunakan sungai, kita bisa terus berjalan. Lagi pula, ini sudah mendekati musim dingin, orang-orang pasti akan keluar untuk mulai mengumpulkan makanan."

"Bila beruntung, kita akan bertemu orang di jalan?" alis Leo terangkat. "Nah, berarti … bukankah itu tugasmu?" sepasang iris emas, tanpa ragu menatap Elf pirang yang sejak tadi diam membisu.

Gadis itu cemberut. "Bukankah seharusnya kita menghindari warga?"

Semua pasang mata langsung menatap sang Elf.

"Ayahnya Leo sendiri yang melemparkan kita untuk tetap di sini … ," si pirang mengerutkan alis. "Bukankah karena tidak mau kita berada di tempat yang banyak orang tahu? Bukankah tujuannya melemparkan kita ke sini untuk menyembunyikan kita?"

Bukankah tujuan utama Naga Idiot itu untuk membuatnya bermain-main?

Leo ingin menambahkan, tetapi citra agung Ayahnya pasti akan tercoret. Seorang Pangeran tampan nan dingin dari Wilayah Kelabu, akan memiliki reputasi yang tercemar.

"Jangan membuat banyak spekulasi," Leo menyangkal. Wajah cantik itu cemberut. "Ayahku tidak bilang bahwa kita benar-benar harus bersembunyi. Lagi pula, semakin ramai tempatnya, akan semakin baik. Ayahku akan lebih cepat mendeteksi keberadaan kita dengan tepat."

"Bagaimana bila para penculik duluan yang justru menemukan kita?" Merci mengerutkan alis. Merasa ucapan Elf pirang cukup masuk akal. "Aku tidak mau orang-orang yang tidak bersalah, menjadi korban karena kita. Aku juga tidak bisa menjamin untuk melindungi kalian berdua."

Kalian berdua tentu saja mengacu pada Amerta dan Bastian.

Untuk Leo … sudah jelas, sosok biru itu adalah Guardiannya Leo, bukan?

"Ck, korban pertama yang akan mati, bukan kau, tetapi kami," Amerta berdecak kesal. Namun beberapa detik kemudian, sang Elf tersenyum senang. Sepasang iris hijau melirik malu-malu ke arah Bastian, lalu agak berdeham. "Nah, tiga lawan satu, kita tidak perlu untuk mencari pemukiman. Yah … ini sudah sah dan tidak bisa diganggu gugat kembali."

Si perak memutar bola matanya. "Kalian ingin menghabiskan musim dingin di luar?" ujarnya sarkas. "Sudah kukatakan, aku tidak tahu pasti kapan Ayahku menjemput. Bisa jadi, minggu depan atau bahkan lebih lama. Nah, selama itu, kalian mau menunggu di hutan? Hewan-hewan sudah mulai berhibernasi, makanan akan semakin sedikit, tetapi yang lebih parah, beberapa hewan buas kelaparan akan semakin banyak berkeliaran dan memburu apa pun--oh, itu termasuk kita."

Tidak masalah untuk berjalan-jalan di hutan, tetapi musimnya benar-benar tidak tepat. Bukan hanya perihal cuaca yang semakin dingin, tetapi ini juga perihal keamanan dan makanan. Bagaimanapun, ketika cadangan makanan semakin menipis, hewan-hewan buas akan semakin sensitif dan galak.

Bastian gelisah. "Tetapi hutan lebih aman, bukankah kita memiliki Elf dan Naga?"

"Jangan selalu mengandalkan orang lain," Leo mendengus. Elf yang tidak bisa merasakan Alam dan Naga yang tidak percaya diri dengan kekuatannya, apa yang bisa diharapkan? "Lagi pula, apa salahnya mencari dan berusaha? Bila benar kita bisa menemukan kota, kita akan menginap, bila tidak ketemu ya sudah, tidak perlu dipaksakan."

Amerta melotot. "Cuma buang-buang energi!" tolaknya. "Kau kira berjalan di musim dingin itu enak?"

"Ini masih musim gugur," Leo langsung menyangkal. "Nah, lihat? Ini masih musim gugur tetapi kalian berdua sudah seperti ini, bagaimana bila salju turun nanti?"

Bastian dan Amerta yang saling berpelukan untuk mencari kehangatan, sama-sama membeku kaku. Keduanya benar-benar kedinginan, memilih cara paling primitif dan aman dengan menghangatkan satu sama lain.

Hening.

Mendadak, tidak ada lagi yang ingin berdebat. Namun jelas, masing-masing dari mereka tidak ada yang ingin berdamai. Melihatnya, membuat Leo menghela napas. Ia juga tidak mau mengalah. Bagaimanapun, ini bukan untuk kebaikannya, tetapi kebaikan ketiga bocah ababil ini.

"Lupakan, kita bahas sesudah makan saja," mendadak, si perak memecahkan keheningan. "Kita sudah berada di sini, lebih baik memancing dan mengisi perut dulu."

Kali ini, semua orang setuju. Tidak ada yang membahas permasalahan untuk pergi ke kota atau tidak. Merci langsung memancing ikan dan udang, sementara Bastian dan Leo, seperti biasa, menjadi koki. Biarkan Amerta yang bergerak untuk menyusun batu dan mempersiapkan api untuk memanggang ikan.

Empat remaja yang semula berpegang teguh pada ego masing-masing, secara mengejutkan bekerja sama saat menyangkut makanan. Oh, ketika perut menjerit dan rasa lelah menyapa, tidak ada yang memiliki energi untuk berdebat.

Namun, saat berhasil menemukan gua dan malam menyapa …

Leo tidak bisa menahan kegelisahan yang merayap di jantungnya. Sosok perak itu duduk di mulut gua, menjadikan salah satu selimut sebagai alasnya. Dua penyihir terlihat terbaring di dekat si perak, terlelap kelelahan dan tidak menyadari kecemasan yang menggerogoti salah satu teman mereka.

Sepasang iris emas menatap cincin yang tersemat di jari tengah. Benda dingin yang melingkari jarinya terlihat sangat sunyi, membuat pengharapan akan getar dan bunyi semakin menyesakkan jantung. Oh, rasanya ada yang kurang. Sebuah kekosongan yang membuatnya merasa … kesepian.

[Merindukan Ayahmu?]

Leo tidak menoleh. Satu-satunya yang bisa menggunakan bahasa Naga hanya Merci, ia tidak perlu memastikan sosok Naga muda itu. Namun pertanyaan yang terlontar dari mulut si biru membuat Leo tanpa sadar mengerucutkan bibirnya. Rasa sesak dan rindu membuatnya merasa sangat tidak nyaman.

Si perak membeku.

Mendadak, udara berkumpul di sekitarnya dan mengangkat tubuh mungil sang remaja. Dengan mudah, remaja An melayang di udara dan jatuh ke dalam pelukan Naga Biru yang duduk pada bagian dalam gua.

Alis si perak terpaut saat sadar bahwa dirinya duduk di atas pangkuan si Biru. terlebih kedua tangan putih itu turut terulur, memeluk tubuhnya dengan lembut dan menghantarkan suhu yang sedikit lebih rendah. Namun yang membuat Leo merasa tidak nyaman adalah aroma yang menguar dari tubuh sang Naga …

Sejak berhasil keluar dari wilayah Binatang Buas, Merci harus mengeluarkan aroma Naganya untuk memperingatkan beberapa hewan buas agar tidak mendekat. Namun karena aroma ini juga, Leo harus menahan gelisah yang menggerogoti tubuhnya.

Naga adalah makhluk yang sangat teritorial. Bahkan dengan pasangan dan keluarga mereka, mereka akan sangat posesif. Karena itu, aroma Cosmos biasanya akan terus menempel padanya. Namun sudah berbulan-bulan dan entah sejak kapan … aroma Mercilah yang sekarang menempel di tubuhnya.

[Bisakah kau tidak menandaiku?] Leo gelisah. Jantungnya berdegup dengan tidak tenang. Ia refleks ingin menghindar, melepaskan pelukan sang Naga. Namun kedua tangan putih itu justru memeluknya lebih erat, sukses membuat jantungnya melompat. [Merci!]

[Leo, kau gelisah] remaja Diandra tanpa ragu mengungkapkan kegugupan Penyihirnya. [Tenanglah … umn … ] mendadak, nada yang dikeluarkan sang Naga terdengar ragu. [Baby]

[Ap--] Leo membeku. Mendadak seluruh tubuhnya terasa merinding. [APA YANG KAU KATAKAN?!]

Merci berkedip. Wajah cantik itu menunduk, menatap sosok perak yang kini sudah semerah kepiting rebus. [Uh … Baby?]

[JANGAN MEMANGGILKU BABY!] Leo meledak.

Astaga! Astaga! ASTAGA!

Apakah semua naga seperti ini?! INGIN MENJADIKANNYA ANAK?!

Tidak ada keraguan kembali. Tanpa sungkan si Perak langsung memberontak. Melepaskan pelukan Naga Biru dengan panik dan langsung berlari berkerumun dengan kedua Penyihir yang tertidur seperti dibius. Namun, baru saja si perak ingin mengambil posisi, tubuhnya terangkat ke udara.

[Ap--LEPAS! LEPASKAN AKU!] kali ini, Leo benar-benar panik. Otaknya kosong. Hanya ketakutan asing yang entah kenapa mencengkeram jantungnya. Membuat tubuh sang remaja bukan hanya memerah, tetapi juga gemetar.

[Leo, tenanglah] Merci benar-benar bingung. Kali ini ia tidak memeluk si perak, hanya membuatnya melayang di udara dan menjaga jarak yang tepat. [Kau sangat gelisah dan panik … aku tidak melakukan apa pun kepadamu]

KAU MEMBUATKU TAKUT!

Leo benar-benar tidak mungkin mengatakannya. Jantung si perak berdegup kuat sekali, seolah-olah itu akan pecah. Gelisah yang merayap ke ulu hati membuatnya tidak mampu untuk tenang. Terlebih, insting Naga untuk menandai apa pun yang menurutnya adalah miliknya …

[Kau--kau menandaiku!]

Tuduhan itu sukses membuat Merci membeku. Naga Biru jelas terlihat kaget, sebelum akhirnya, wajah cantik itu memerah. Sepasang iris emas refleks menghindari tatapan menuduh Penyihirnya. [Itu … karena kau masih adikku]

[Aku bukan adikmu!] Leo langsung menyangkal. Sungguh, apakah setiap Naga tergila-gila membentuk sebuah keluarga?! Ia sudah cukup dianggap sebagai anak, lalu sekarang ada Naga Aneh satu lagi yang ingin mengadopsinya sebagai adik?! The Hell! Kenapa harus adik?! Kenapa tidak Kakak saja?! DIRINYA JAUH LEBIH TUA!

Mendadak, Naga Biru terlihat gelisah. [Bagaimana dengan adik angkat?] Merci mencoba membuat opsi yang berbeda.

[KAU INGIN KUPUKUL?!]

Jadi, opsi apa yang cocok? Naga Biru mencoba berpikir agar si kecil bisa menurut dan mau menerima aromanya. [Penyihirku?]

Leo menarik napas kasar dan menghembuskannya dengan cepat.

Sabar Leo … sabar … mara-marah hanya membuat kulitnya semakin cepat mengendur. Usianya sudah lebih dari 8000 tahun, tidak baik untuk kesehatan dan kecantikan. Bisa-bisa, ia terkena serangan jantung hanya karena usia yang tidak lagi muda.

[Diandra Merci, tolong bedakan pekerjaan dan keinginan pribadi!] melotot galak, wajah berbingkai helai perak itu masih memerah. [Aku ingin tidur dan istirahat! Aku tidak peduli dengan keinginan anehmu untuk menandaiku!]

Tepat saat kata-kata itu jatuh, dapat Leo rasakan tubuhnya bergerak. Namun, bukan ke arah sang Naga, sebaliknya, ia dikembalikan di antara Amerta dan Bastian. Dengan perlahan, udara yang mengangkatnya menaruh tubuh sang remaja di atas lapisan selimut yang lembut. Seolah takut sosok itu tidak mampu menjaga keseimbangannya, hembusan udara hangat tidak pergi sama sekali sampai sosok itu benar-benar menempelkan pantatnya di atas permukaan selimut.

Leo berkedip, bingung. Ia menunduk menatap tubuhnya yang duduk di atas lapisan selimut, sebelum akhirnya mendongak menatap Naga Biru yang masih duduk di tempatnya--menjaga jarak dengan ketiga Penyihir yang bermandikan cahaya lembut mutiara malam.

[Sekarang, kau sudah lebih tenang kan?]

Apa?

[Kau terus-terusan gelisah] Seolah mampu membaca pikiran si perak, Naga Biru menjelaskan. [Setelah berteriak seperti itu, kau merasa lebih baik kan?]

Remaja perak membeku. Mendadak, ia sadar bahwa Naga Biru tidak benar-benar memaksanya. Remaja itu hanya memeluk, mencoba menenangkannya. Bagaimana pun, Merci sadar bahwa Penyihirnya tengah sedih karena tidak mendapatkan perhatian dari Ayahnya. Untuk aroma yang mengeluar, itu adalah hal yang wajar karena mereka berada di alam liar dan sosok itu, harus terus mengeluarkan aromanya untuk memperingati semua binatang buas untuk menjauh.

Namun kenapa Leo dengan seenaknya mengatakan Merci menandainya?

Dalam persekian detik, wajah sang Penyihir memerah.

"Aku--"

[Aku tahu kau ingin pergi ke kota untuk meminjam Asisten dan menghubungi Ayahmu kan?] Merci menyela, sukses membuat Leo bungkam. [Tetapi, Leo … apakah kau yakin keberadaan kita benar-benar tidak akan membuat orang lain mengalami kecelakaan? Untuk seseorang yang mampu menculik kita hingga seperti ini … mereka bukanlah orang biasa]

Si perak mengerti mendengarnya. Sepasang iris emas itu saling memandang, mengungkap suasana yang kini berubah. [Merci, orang tua kita bukanlah orang tua bisa] memandang serius Naga Muda itu, Leo tanpa ragu mengungkapkan pikirannya. [Papa tahu keberadaanku, apakah kau kira dia akan dengan enteng membiarkan kita di sini begitu saja tanpa benar-benar memastikan tempat ini bisa kita tinggali?]

Alis Merci terpaut. [Tuan An meninggalkan kita di hutan]

[Bahkan sebelum dia menghubungiku, aku yakin dia sudah tahu aku di mana dan menebak secara kasar apa yang terjadi] helaan napas terlontar. Ia ingat dengan kemampuan Micro yang luar biasa. Beruntung Asisten akan selalu mengukur denyut jantung sehingga robot lebah itu mampu membaca suasana hati pemiliknya. [Lagipula--]

DEG.

Jantung Leo terasa mencelos. Refleks, ia menoleh ke mulut gua. Merci seolah merasakan hal yang serupa. Naga Biru tanpa ragu langsung melompat keluar dari dalam gua, melangkahi kedua penyihir yang masih terlelap.

"BANGUN!" membangunkan kedua penyihir yang masih tidur, Leo tanpa ragu mengeluarkan jubah penyihirnya. Bastian langsung melompat bangun. Ia dengan panik menatap sekitar, tetapi Amerta dengan linglung hanya duduk. Menatap kosong ke arah Leo yang tanpa ragu melemparkan sebuah jubah ke arah remaja Arya.

"Ada monster! Kita harus segera pergi!"

"Apa?!" rasa kantuk sang Elf langsung tersingkir. Ia refleks langsung bangkit berdiri. Jantungnya melompat-lompat. Tanpa bisa memikirkan apa pun, sosok pirang dengan panik mengenakan sepatunya. "Monster apa? kenapa mendadak ada monster?!"

Leo sudah memakai sepatunya. Remaja perak itu berdiri di mulut gua, menatap kedua penyihir yang dengan panik mengenakan sepatunya. Saat melihat pantat keduanya tidak lagi menyentuh selimut, remaja An tanpa ragu menyimpan selimutnya ke dalam ruang.

"Di mana Merci? Dia--"

"GRAAAAWWWWWW!"

Amerta dan Bastian refleks menutup telinga mereka. Wajah keduanya memucat sempurna, menatap ngeri ke luar gua di mana dinding kegelapan menyelimuti. Diiringi dengan teriakan besar yang menggetarkan ketenangan malam, ras Elf dan Campuran itu bisa merasakan merinding yang menyelimuti tubuh mereka.

"Merci sedang mengalihkan perhatian Monster itu," Leo tanpa ragu menjawab. "Kita harus segera pergi, tidak boleh menghidupkan mutiara malam sama sekali."

Saat kata-kata itu jatuh, Leo tanpa ragu meraih salah satu tangan Bastian dan Amerta. Kedua remaja itu tersentak, sebelum akhirnya dengan ngeri mendapati bahwa mutiara malam menghilang dan kegelapan kini menyerbu penglihatan. Bila bukan karena tangan kecil Leo yang menuntun, kedua remaja yakin mereka pasti akan tetap di tempat dan tidak mampu untuk bergerak karena kedua kaki yang terasa selemah jel.

"Mo-monster apa itu?" Elf pirang benar-benar ketakutan. Suara gemetar, tetapi tangannya yang sudah sedingin es, mencengkram erat tangan yang menuntun di dalam kegelapan. "Me-Merci … apakah dia akan baik-baik saja?"

Leo mengerucutkan bibirnya. Sepasang iris emas berubah kembali menjadi biru. Tidak ada yang menyadari bahwa warna mata dan rambut sang remaja berubah kembali ke warna aslinya di dalam kegelapan. Bagaimanapun, dengan sihir yang menyelimuti, hal ini sedikit mengganggu inderanya. Terutama, di dalam kegelapan.

"Aku tidak tahu monster apa itu," Leo menjawab dengan tenang. Kakinya melangkah dengan cepat, diam-diam menyingkirkan tanah yang tidak rata sehingga kedua penyihir di kanan dan kirinya tidak akan tersandung. "Tetapi Merci tidak lemah … satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang adalah bersembunyi dan tidak mengganggunya."

Leo berbohong. Bagaimanapun, dari suaranya, sosok kelabu tahu bahwa itu adalah Monster Dua Kepala Naga. Kemungkinan, itu adalah Monster Dewasa. Namun Monster itu bukan makhluk nokturnal … tidak mungkin untuk aktif di malam hari. Satu-satunya alasan yang membuat Monster itu dengan agresif mendekat adalah …

Ini musim kawin.

Dua Kepala Naga meninggalkan wilayah mereka dan mencari pasangan. Namun efek buruk dari musim kawin ini adalah birahi yang membuat Monster Dua Kepala Naga menjadi sangat sensitif dan … agresif.

Alis Leo terpaut.

Merci tidak akan baik-baik saja.

Okay~ upload 2 chapter, selanjutnya kita akan bertemu setelah lebaran!

Jaaaaa~ sampai jumpa di chapter selanjutnya!

AoiTheCielocreators' thoughts
Next chapter