webnovel

Baby's Dragon

Leo, Penyihir berusia ribuan tahun terbangun dalam wujud bayi setelah lama tertidur demi memulihkan tubuhnya pasca perang yang tak berkesudahan. Namun ketika ia keluar dari Ruang Jiwa ... "Baby ... ," Seekor Naga jantan, menatap batita kecil di depannya dengan mata yang berkilau cerah. Iris emas itu penuh kebahagiaan dengan sentuhan kejutan yang tak tertahankan. "Baby, panggil Papa." " ... ." Sebentar ... BUKANKAH MEREKA BEDA SPESIES?! BAGAIMANA BISA NAGA INI MENGANGGAPNYA ANAK?! Leo sakit kepala. Degan tubuh bayi dan bahasa Naga yang terdengar cadel, pada akhirnya ia mendidik Ayah angkatnya dari Naga Primitif yang konyol dan idiot, menjadi seekor Naga berdarah murni yang berwibawa. Oh, ini Papanya! Leo bangga. Namun sayang, masa depan selalu tidak terduga. Art Cover by: Fai

AoiTheCielo · LGBT+
Not enough ratings
65 Chs

11. Pagi Di Negeri Ion (IV)

"Kau dengar? Penyihir dari Academy Ruby sudah sampai tadi malam!" suara seorang perempuan terdengar memekik, penuh semangat meraih temannya yang lain. "Seperti biasa, mereka yang pertama datang dan membawa sedikit sekali Guardian."

"Apakah akan ada barang sihir lagi?"

"Tidak tahu, tetapi semoga saja ada."

"Kenapa tidak kita hampiri saja?"

Helaan napas dari satu-satunya pria di group itu terdengar. "Jangan bodoh, Kastil tempat menginap para pertukaran pelajar sudah jauh lebih diperketat. Kudengar, sekarang bahkan memakai sistem scanning jarak jauh."

4 pasang mata langsung memandang pria itu dengan penasaran.

"Yah … mereka sudah mendata siapa-siapa saja yang berhak keluar-masuk lingkungan--"

"Oke, oke, tetapi setidaknya kita sudah melihat di siaran langsung," tiba-tiba, yang lain menyela. "Intinya, kita tidak perlu mengganggu mereka di Kastil, toh mereka akan memasuki kelas kita."

"Ah … benar juga."

"Tetapi siaran langsung tidak menunjukkan wajah mereka!"

"Ugh … mereka semua mengenakan tudung, tahun ini sepertinya jadi lebih misterius."

"Tetapi malam ini adalah malam penyambutan," gadis Orc terkikik senang. "Semua kelas diliburkan dan kita geratis bisa memasuki venue tanpa membayar tiket sama sekali."

"Fokusmu hanya di sana?"

"Tentu saja tidak!" Gadis Orc buru-buru menyangkal. "Menurutmu kenapa aku masih ke sekolah? Ya karena menunggu Siswa dari Negara Yuron dan Mole! Bukankah sudah diumumkan bahwa semua orang harus menyambut mereka?"

Alis si perak terangkat saat ia tengah asik duduk di pinggir jalan seraya memakan apel di tangannya. Mendadak, ia teringat saat sampai dan disambut oleh banyak orang … Oh, ternyata memang dipersiapkan untuk menyambut.

Kedua sosok biru dan perak duduk berdampingan. Di bawah rindang pepohonan di mana sebuah kursi kayu untuk beristirahat ditempatkan, sosok yang benar-benar santai dan terlihat menikmati pagi terlihat tidak mencolok sama sekali.

Beberapa Siswa-Siswi berkeliaran di sepanjang jalan trotoar bebas hambatan. Mereka mengenakan jubah hitam, dengan bordir mahkota emas di dada kiri dan tulisan Academy Royal Ion yang dicetak indah. Namun sayang, ketimbang jumlah sosok yang mengenakan jubah, jumlah Guardian yang mengikuti mereka jauh lebih banyak.

Satu Penyihir bisa membawa dua hingga lima Guardian bersama mereka. Jadi, ketika Leo melihat sekelompok penyihir yang berjalan bersama, ia lebih memperhatikan parade panjang yang disebabkan di belakang kelompok penyihir itu. Terlebih, selain mengekori Penyihir Mereka, para Guardian jelas terlihat mengobrol seolah membentuk grup sendiri.

"Siang nanti, Academy Sains dan Academy Penyihir Yuron akan sampai, menurutmu, nanti malam akan sangat ramai?"

"Pasti," Merci menjawab langsung.

Alis Leo terangkat mendengarnya. "Benarkah?"

"Um," sosok Naga masih sibuk mengunyah apel. Lalu ia menelannya. "Kau tidak percaya?"

Si perak terkekeh. "Kita lihat saja nanti." Lagi pula informasi yang mereka dapatkan hanyalah dari ucapan-ucapan semua orang yang lalu-lalang di hadapan mereka.

"Hanya duduk seperti ini, kita sudah mendengar banyak informasi," Merci agak kagum. Tidak menyangka hal sederhana seperti ini sangat … informatif.

"Tidak semuanya benar."

"Yah … aku tahu."

Naga Biru itu turut memakan apelnya, memperhatikan jalan sama seperti Penyihirnya. Sepasang Perak dan Biru terlihat tidak mencolok dengan pakaian bebas mereka. Mengingat jumlah Guardian yang banyak dan memang kerap berkeliaran di lingkungan Academy. Lagi pula, mereka hanya sedikit beristirahat sebelum kembali berjalan.

Ini sudah jam 10 pagi, kesibukan mulai terlihat. Mereka sudah menghampiri gedung di mana acara penyambutan akan diadakan dan kesibukan di sana, melebihi jalan ini. Mengingatnya membuat Leo agak kagum. Pasalnya, hampir semua yang bergerak adalah robot dan orang-orang hanya perlu mengendalikan mesin-mesin dari jarak jauh. Bukan berarti di zamannya tidak ada robot, tetapi kebanyakan orang memanfaatkan robot untuk keperluan perang dan bukan hal-hal rumah tangga seperti ini.

Krak.

Mengambil gigitan terakhir, tangan putih tanpa ragu melempar sisa apel ke udara. Lengkungan lembut tercipta, sebelum akhirnya 'Tang!' benda organik itu masuk ke dalam mulut tong sampah.

Alis Naga Biru terpaut melihatnya. "Untuk apa melempar jauh? Tong sampah ada di sebelahku."

Mereka duduk berdampingan dan tong sampah ditempatkan di samping Guardiannya sendiri. Namun Leo memilih melemparkan apelnya ke tong sampah yang berjarak 2 meter darinya.

Leo terkekeh. "Iseng," jawabnya jenaka. "Menurutku--"

"Menurutku itu sangat tidak sopan."

Suara yang mengintrupsi sukses membuat Leo dan Merci menoleh. Sepasang kelereng emas vertikal memperhatikan beberapa sosok yang berdiri tepat di samping kursi mereka. Ada total 3 orang, tetapi sosok remaja dengan helai merah berantakan dan iris vertikal jelas adalah Bossnya. Ia mengenakan jubah pelajar Academy Royal Ion, dengan bibir yang ditekan hingga menjadi garis lurus dan iris emas yang memicing tajam. Sepasang tanduk dan ekor merah terlihat mengintip di rambut dan juga ujung jubah.

Seekor Naga? Darah bangsawan?

Alis si perak terangkat. "Tidak sopan?"

"Melemparkan sampah tepat di depan kami, kau ingin menghina Tuan Red?!" Sosok tinggi yang mengenakan seragam merah memandang galak. Wajahnya memerah, jelas terlihat marah.

Leo berkedip. Ia melempar apel yang bukan berada di seberangnya, tetapi di kursi yang masih satu barisan dengannya. Sama sekali tidak menghalangi pejalan kaki atau bahkan membuat mereka terluka.

Namun kesan yang keluar dari mulut itu jelas tidak akan menerima penjelasannya.

"Kami tidak bermaksud seperti itu," alis Naga Biru terpaut. Ia refleks berdiri, berjalan ke depan dan melindungi Penyihirnya di belakang. "Dia hanya iseng, ingin bermain melempar dan tidak ada maksud untuk menghina sama sekali."

Salah satu Guardian wanita mencibir begitu mendengarnya. "Berapa umurnya untuk bermain seperti itu? Tidakkah ada yang mengajari kalau melempar seperti itu sangat tidak sopan? Terutama di depan Bangsawan?"

Yah … umurnya sudah 8000 tahun lebih. Leo menghela napas di dalam hati. Mendadak merasa sudah sangat tua dan reyot. Oh, generasi muda sekarang benar-benar galak. Apa yang salah dengan orang tua yang ingin sedikit bermain? Kenapa mereka sangat marah?

Merci mengerutkan alis. Ucapan kasar itu membuatnya merasa sangat kesal. "Kami tidak melihat kalian lewat, lagi pula, dia melempar bukan tepat di depan kalian, bukan? Tetapi di samping."

"KAU TIDAK MENGERTI BAHASA PERSATUAN?!"

Sepasang netra emas menatap dingin pria Orc yang berseru kasar.

"Cepat minta Maaf! Minta maaf sekarang juga!"

Merci mencibir. Apa yang dilakukan Leo tidak salah, kenapa mereka harus meminta maaf?

"KAU!" Guardian Orc tidak tahan lagi. Sebelah tangannya terangkat, menarik baju bagian depan remaja yang lebih pendek. "Minta maaf sekarang juga atau kau akan habis kuhajar!"

"Oy, oy, jangan gunakan kekerasan di sini," sosok Guardian yang lain refleks menahan temannya. Begitu juga dengan yang wanita. Ia refleks mencegah rekannya untuk membuat keributan.

"Gerald, ini masih di lingkungan Academy, jangan membuat masalah."

Guardian yang dipanggil Gerald, berdecak. Ia melepaskan tangannya, tetapi sepasang iris jelas masih menatap tajam remaja yang lebih pendek. Oh, wajah sombong itu benar-benar minta kena pukul. "Cepat minta maaf! Setelah itu kami akan menganggap masalah ini selesai."

Alis remaja Diandra terpaut mendengarnya. Kedua tangan putih bergerak memperbaiki bagian depan jaketnya yang kusut. "Tidak," ujarnya dingin. "Aku tidak akan meminta maaf."

"KAU--"

"Aku yang melempar," Leo menyela, sukses menarik perhatian empat pasang mata yang berbeda. Sosok perak yang masih duduk manis di kursinya itu tersenyum, terlihat tidak bersalah sama sekali. "Karena aku yang melempar, jadi aku yang harus meminta maaf, bukan?"

"Leo--"

"Yak, kalau begitu," bangkit berdiri, sosok cantik berjalan mengitari Guardiannya dan berdiri tepat di samping sang Naga Biru. "Maafkan aku karena melempar apel yang sudah kumakan. Oh, aku tidak tahu kalau melempar sampah ke tong sampah itu tidak sopan."

Pada awalnya, semua orang merasa baik mendengar apa yang bocah perak katakan. Namun saat mendengar kata terakhir, ekspresi semua orang berubah. Terutama sosok yang sejak tadi diam dan seolah-olah hanya sebagai penonton.

"Apa maksudmu?" suara remaja yang serak dan dalam terdengar. Sosok ras Naga dengan helai merah itu menatap remaja perak dengan tajam.

Alis Leo terangkat. "Aku hanya melemparkan sampah ke tong sampah tanpa membuat siapa pun terhalangi jalannya atau bahkan membahayakan siapa pun," sepasang netra emas berkedip, ekspresi si perak berubah polos. "Jadi, bisakah Tuan Muda Red menjelaskan kenapa aku yang membuang sampah ke tong sampah merupakan tindakan yang tidak sopan?"

Seringai merekah, sepasang netra emas menyipit memandang sosok merah. "Padahal kita semua tahu bahwa sampah … memang sepantasnya dibuang ke tempat sampah."

"KAU!"

"Gerald!"

"Jangan!"

DASH!

Tubuh besar yang semula ingin menyerang, mendadak terlempar ke udara dan menabrak tong sampah. Beruntung, tempat sampah sangat kuat sehingga benturan keras tidak membuat kotak penampungan itu jatuh atau bahkan penyok. Namun tubuh besar yang menghantam, merintih kesakitan, memegang punggung yang terasa berdenyut-denyut.

Dua orang rekannya refleks berlari mendekati Gerald. Membantu Orc yang kesakitan. Bahkan Penyihir merah tanpa ragu berbalik, menghampiri sosok yang tidak henti merintih memegang tulang punggungnya.

Leo menghela napas, menatap Merci yang jelas terlihat sangat kesal. "Jangan kasar, dilarang melakukan kekerasan di lingkungan sekolah," ujarnya. "Lihat sekelilingmu, mereka pasti sekarang sudah melapor ke penjaga keamanan."

Dalam seketika, sepasang netra emas menyadari bahwa mereka menjadi pusat perhatian. Beberapa pasang mata memandang mereka, menjaga jarak dan membuat lingkaran jarak seolah tengah menonton pertunjukan …

"Aku hanya membela diri," si biru mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Lagi pula, salahnya sendiri kenapa memulai duluan. Kita tidak melakukan kesalahan apa pun."

Si perak terkekeh, tetapi tidak mengatakan apa pun. Tanpa ragu, remaja pendek berjalan mendekati kerumunan yang menghampiri Gerald. Sukses membuat empat pasang mata memandang sosok perak dengan waspada.

"Siapa namamu? Dari mana asalmu?" sosok penyihir merah tanpa ragu berdiri. Punggungnya lurus, melindungi tiga sosok yang berada di belakangnya. Sepasang netra emas menatap dingin kedua remaja yang memiliki warna iris sama sepertinya.

Tunggu.

Sama?

Remaja itu membeku kaku. Kelerengnya membola sempurna seolah menyadari sesuatu.

"Maaf, temanku agak … kasar," Leo tersenyum canggung. Bersikap seolah tidak menyadari pandangan Naga Merah itu. "Yah, aku tidak mau membuat keributan apalagi memiliki musuh hanya karena hal sepele seperti ini. Jadi … bagaimana bila kita saling memaafkan saja?"

Remaja merah menyipitkan matanya. "Kalian berdua bukan ras manusia."

Leo tersenyum, tidak menanggapi tuduhan itu sama sekali. Irisnya justru menatap sosok yang tidak henti merintih kesakitan di tanah. "Sepertinya dia patah tulang."

Ekspresi Naga Merah berubah. Ia refleks memalingkan wajah, langsung berjongkok kembali dan memeriksa rekannya. Orang-orang yang menonton semakin ramai dan padat, sukses membuat kemacetan arus di area sekitarnya. Namun, hingga Petugas Keamanan datang dan melihat kedua belah pihak telah berdamai dengan sendirinya, mereka hanya membubarkan kerumunan. Membiarkan kedua belah pihak yang bertengkar, kini berlari menuju Rumah Sakit terdekat begitu petugas Kesehatan datang.