1 1. Bangun

Ketika kesadaran menyentuh, An Leo hanya tahu untuk membuka kedua matanya.

Warna putih adalah hal pertama yang terlihat. Terlalu terang. Ia refleks memejamkan mata kembali, lalu mengintip sedikit sebelum akhirnya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Kedua tangan mencoba mengangkat—ingin menutupi cahaya yang membakar mata, tetapi entah bagaimana ... tangannya terasa sangat berat.

Pada akhirnya, setelah beberapa saat berusaha, semua hal di sekitar mulai terlihat jelas.

Sebuah ruangan besar, dengan langit-langit bertahtahkan lampu gantung kristal memenuhi indra pengelihatan. Langit-langit terlihat begitu tinggi. Berwarna kuning dan putih, dengan beberapa ukiran keriting elegan nan mewah. Untuk beberapa saat, Leo tidak mampu memikirkan apapun. Kepalanya kosong, menatap tanpa ekspresi kristal gantung yang menjadi sumber pencahayaan.

Lampu kristal itu begitu berkilau. Ada tiga lapisan kaca di sana, membentuk lingkaran, bertingkat secara berkala dan fokus pada tengah-tengah lingkaran yang menjadi sumber cahaya. Di sana, terdapat benda bulat bercahaya redup. Tidak mencolok, tetapi karena cahaya yang terpantul dan membias pada permukaan kaca, kilau yang berkerlap-kerlip seolah menerangi ruangan. Membuat langit-langit indah yang penuh ukiran rune, terlihat glamor.

Ia berada di Ruang Jiwa miliknya. Hanya itu yang Leo pikirkan begitu menatap langit-langit yang familier. Namun kenapa rasanya agak ... sedikit aneh? Sejak kapan langit-langit di ruangan ini begitu tinggi?

"Tuan, apakah Anda sudah bangun?"

Suara dingin mekanik mengalihkan perhatian Leo. Ia melirik, menatap lebah kecil hitam-kuning yang terbang konstan di sisi kiri. Leo tidak langsung buka suara. Alisnya mengernyit, merasakan kelemahan di seluruh tubuh. Rasanya sangat tidak berenergi hingga membuatnya ... malas untuk melakukan apapun. Bahkan, untuk berbicara.

Leo tahu ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya, tetapi ia tidak sempat untuk memikirkan hal itu. Hanya ada satu yang terpikirkan. Yaitu ... siapa makhluk ini? Perlu beberapa saat untuk Leo mengenali benda hitam-kuning ini. Bagaimanapun, ia tidak merasa familier dengan suara mekanik yang dingin dan datar. Terlebih, benda ini memanggilnya Tuan. Robot lebah ini berarti adalah miliknya—tetapi ... ini percobaan yang mana?

Setelah beberapa detik mengawasi benda kecil hitam-emas yang melayang di udara, sepasang kelereng ocean mendadak membola sempurna. Kejutan luar biasa membahana, meletup di dada dan memberikan euforia yang tak terduga.

Ini Micro—percobaan pertama yang sebenarnya ... berhasil?

Ia benar-benar berhasil?

Benar-benar ... benar-benar berhasil?

Sungguh, benar-benar, benar-benar berhasil?!

BUKANKAH INI SANGAT LUAR BIASA?!

Leo melotot—mencoba untuk lebih memperhatikan benda hitam-kuning. Bibirnya tidak bisa menahan senyum—memperlihatkan gusi merah muda yang belum menumbuhkan gigi. Penampilan bayi kecil itu selayaknya malaikat. Dengan kulit seputih pualam, gemuk nan montok, sosok bayi dengan sepasang iris biru gelap yang cerah tersenyum menyipit. Benar-benar terlihat bahagia hingga menggemaskan.

"Tuan, tubuh Anda saat ini adalah bayi."

Senyuman membeku—syock bukan main mendengar suara mekanik yang menyatakan keadaan fisik Tuannya.

Apa?

Mendadak, Leo merasa tuli. Sungguh, terlalu lama tertidur, apakah pendengarannya memburuk?

Seolah takut Leo tidak percaya, Micro—si lebah hitam-emas—berubah wujud menjadi lebah besar. Salah satu tangan mengeluarkan sebuah cermin, membiarkan sang pemilik, melihat keadaan fisiknya sendiri.

Sosok bayi mungil yang gemuk nan putih berbaring telanjang di atas kasur yang luas. Sepasang iris sewarna laut dalam yang bulat menatap fokus ke arahnya, terlihat cerdas tetapi juga menyimpan keterkejutan hingga membuatnya terlihat ... lucu. Alis tipis bersulam melengkung lembut—nyaris tak terlihat saking tipisnya—rambut kelabu nan tebal membingkai wajah bulat sang bayi. Kedua pipi chuby terlihat kemerahan—seperti dioles oleh perona. Dengan bibir merah muda yang basah nan penuh, Leo bisa melihat bayi kecil ini benar-benar seperti boneka manusia yang terlalu ... menggemaskan.

Tetapi ... bagaimana mungkin ...

Syock bukan main, sepasang iris biru yang indah masih melotot menatap cermin—tidak berani bergerak atau bernapas secara sembarang seolah takut bahwa semua ini adalah kenyataan. Namun sayangnya ini memang nyata, apa yang ada di hadapannya memang ... tubuhnya saat ini.

Mendapati bahwa tubuh bayi di dalam cermin kaku—selayaknya boneka yang tergeletak di atas kasur mewah nan indah—Leo langsung bergerak memalingkan wajah. Ia enggan melihat dirinya sendiri. Sosok itu terlalu lucu dan imut, tetapi sayang itu adalah tubuhnya. Leo tidak suka menggambarkan dirinya sendiri dengan kata Lucu dan Imut. Ini ... ini terlalu memalukan dan menyakitkan.

Memilih untuk menerima segala hal dengan perlahan, bayi kecil itu memejamkan kedua mata. Ia mencoba untuk mengingat hal-hal terakhir apa yang dilakukan seraya menenangkan diri. Ini hanya sementara Leo ... ini hanya sementara ... ini tidak permanen ... Leo mencoba menghipnotis dirinya sendiri. Namun sayang, jantungnya berdebar sangat kuat—tidak bisa benar-benar yakin dengan pemikirannya sendiri.

Oh, sungguh, mengapa ia bisa memiliki tubuh bayi seperti ini ...

Leo tetap menutup kedua mata. Berbagai macam ingatan masuk dengan mudah di dalam kepala-tersusun selayaknya kaset yang dengan jelas merekam, lalu memutar ulang semua adegan.

Namun saat akhirnya bayi itu membuka mata kembali, perasaan sakit seolah menghantam. Mencengkram jantung, menekan pernapasan. Perasaan ini sangat tidak menyenangkan hingga membuat sepasang shappire mulai memanas dan menghasilkan kristal cair yang menetes membasahi iris seindah laut dalam.

Leo tidak bisa menahan tangisnya.

Mungkin karena tubuhnya saat ini adalah bayi, atau mungkin ia sudah terlalu lelah menahan segalanya, kini dengan bebas sosok itu melampiaskan semuanya dalam bentuk air mata. Pertama, itu hanya isakan, tetapi lama-lama suara bayi mulai berteriak memenuhi ruangan besar. Namun, meski ia menjerit dan menangis hingga wajah dan seluruh tubuhnya merah menyala, tidak ada orang lain yang datang. Bayi itu hanya bisa terus menangis—mengeluhkan prihal kehidupannya, mengeluhkan tentang perjuangannya, mengeluhkan tentang segala hal hingga pada akhirnya, ia kelelahan.

Semuanya sudah berakhir ...

Pada akhirnya, inilah jalan yang dipilih ...

Semua akan baik-baik saja ... Semua hal akan kembali berjalan sebagaimana mestinya ...

Leo memejamkan kedua mata. Ia lelah, sangat. Namun keputusan yang diambil telah terlaksana. Pilihan yang dipetik harus ditanggung. Sekarang, menggunakan tubuh bayi yang jelas tidak berdaya dan lemah, ia hanya bisa tertidur—mencoba menenangkan diri dan mengalihkan segala hal yang mencekik tenggorokannya ke dalam mimpi yang gelap dan suram.

Semuanya ... kini berakhir. Ia berhasil membalaskan dendam, atas semua darah yang telah tumpah. Lalu yang terpenting ... ia masih sanggup menggenggam janji untuk kembali dalam keadaan hidup dan utuh.

avataravatar
Next chapter