webnovel

Selamat Datang di Aviara (1)

SMA Aviara, SMA yang sekilas terlihat seperti sekolah asrama biasa ini, seperti yang sudah seharusnya, lagi-lagi tahun ini harus menjalani acara penerimaan murid baru. Yaitu event paling merepotkan di sepanjang tahun karena lebih dari 200 murid baru akan menginjakkan kakinya di lahan sekolah.

Mungkin itu sebabnya ketua Osis kelihatan sangat stres hari ini. "Ugh…" Secara teknis dia selalu menggerutu begitu setiap pagi, tapi hari ini nada kesalnya terdengar lebih jelas seakan dia sedang meniru suara troll.

"Hh… Hh…" Di sisi lain, seorang anak perempuan kelihatan sedang mengatur napasnya sembari jongkok di samping kopernya. Entah tubuhnya yang kecil atau kopernya yang besar, anak itu kelihatan bisa memasuki kopernya sendiri. Ada tag Alisa Arkain di zip-nya.

Di pagi menjelang siang yang cerah begini, rambut panjangnya kelihatan lebih berkilau dari biasanya. Meski itu juga masih kalah kalau dibandingkan dengan mata bening dan bibir kecilnya yang berwarna pink. Bahkan meski sedang berkeringat, tatanan wajah kecil manisnya sama sekali tidak berubah.

Padahal tangga yang menuju ke Aviara sebenarnya tidak begitu panjang. Tapi melangkahkan kakinya ke atas sambil membawa koper besar memang bukan hal yang mudah. Di sekitarnya juga ada banyak murid baru lain yang juga sedang istirahat sepertinya.

Tapi daripada penasaran dengan calon teman-teman barunya, matanya malah kembali terfokus pada gerbang tinggi nan besar yang ada di depannya. "Betulan tinggi banget." Celetuknya. Tidak kelihatan elegan karena tidak ada papan nama apapun, tapi pokoknya itu adalah tembok tertinggi yang pernah dia lihat di hidupnya.

Tapi setelah kagum begitu, tiba-tiba bibirnya malah mulai kembali melengkung dengan senang. Fakta bahwa kehidupan sekolah barunya benar-benar sudah ada di depan mata seketika kembali menyemangatinya. Mungkin itu sebabnya dia buru-buru mengeluarkan handphonenya dan mengambil beberapa foto di sekitar. Dia hampir ingin ambil selfie juga, tapi dengan cepat dia mulai merasa malu sendiri dan akhirnya memutuskan untuk cepat-cepat mengikuti orang-orang yang berjalan memasuki gerbang.

"...WA$#?!!"

Tapi ada yang salah dengan langkah pertamanya.

Kaget, Alisa langsung mundur lagi keluar gerbang seakan dia baru saja menginjak tikus mati di tanah. "Apa yang…?"

'Kenapa ada energi sihir di sana…' Lanjutnya dalam hati.

Kebingungan, dia pun memutuskan untuk kembali merogoh handphonenya dan menelepon bibinya. "Bibi? Bibi, ini sekolah apa? Sekolah sihir?" Ocehnya langsung dengan bisikan yang semangat.

Awalnya hanya ada suara hening, tapi kemudian suara grabak-grubuk mulai terdengar sampai akhirnya ada suara wanita yang menyahut. "Hah? Ah, iya, iya, pokoknya semacam itu. Entahlah." Jawabnya dengan nada buru-buru. "Eh, kututup ya. Soalnya sedang ada kebakaran—bukan ulahku, tentu saja haha. Daah. Oh! Dan jangan panggil Aku bibi!"

"Tunggu bibi--" Tapi teleponnya sudah ditutup. "Kenapa tidak bilang sejak awal…" Keluhnya dengan bibir tertekuk. Ide tentang sekolah sihir mungkin tidak menakutkan, hanya saja Alisa tidak pernah bertemu dengan penyihir lain yang seumuran dengannya sejak kecil, jadi dia agak gelisah memikirkannya.

"Tapi tadi bibi bilang 'semacam'…?" Gumamnya lagi sambil menoleh ke arah gerbang. Karena Alisa sendiri bukan tipe yang sensitif terhadap energi sihir, dia tidak begitu menyadari apakah semua murid yang memasuki gerbang itu juga penyihir sepertinya. Tapi yang dia tahu pasti, aura sihir yang ada di dalam gerbang sekolah tadi benar-benar terasa pekat.

Tidak punya pilihan lain, Alisa memutuskan untuk menelan penjelasan asal bibinya dulu untuk sementara. Jadi walaupun ragu, akhirnya dia pun melangkah masuk ke dalam sekolah yang katanya 'semacam' sekolah sihir itu.

Karena perubahan atmosfer sihir yang drastis, Alisa kembali berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Rasanya seperti pergi ke tempat yang terang setelah dikurung di tempat yang gelap dalam waktu lama. Energi sihir yang berlebihan itu hampir membuatnya asing dengan tubuhnya sendiri. Bahkan saking pekatnya aura itu, Alisa hampir bisa mencium aromanya. Aroma daun.

Meski mungkin itu karena semua pohon yang ada di sekitarnya. Pohon, pohon, dan rumput. Sekolahnya sama sekali tidak kelihatan. Bahkan tidak ada satu bangunan pun yang terlihat sejauh matanya memandang.

Tapi tidak jauh dari situ, ternyata sudah ada beberapa bis bermotif grafiti yang menunggunya dan murid-murid lain. Meski saat memperhatikan itu, Alisa jadi sadar kalau semua orang di sekitarnya tidak kelihatan kebingungan sepertinya. Daritadi juga begitu. Dengan santai mereka cuma masuk ke bisnya dan mulai mengobrol satu sama lain.

Yah, walaupun mungkin itu karena mereka tidak punya bibi yang terlalu sibuk mengurus kebakaran di rumahnya sampai-sampai dia tidak sempat memberitahu keponakannya sendiri tentang sekolah yang akan dimasukinya. Lagipula karena aura sihir yang pekat itu, Alisa jadi semakin tidak bisa membedakan yang mana yang penyihir atau bukan, mengingat yang bisa dia rasakan cuma aura sihir yang bau daun ini.

Merasa beda sendiri Alisa sempat jadi gerogi. Tapi kemudian dia mulai memberanikan dirinya dan kembali mengikuti arus murid yang berjalan ke arah bis itu. Dan saat dia melihat ada gadis yang juga berjalan sendiri, Alisa sudah ingin mencoleknya untuk bilang 'halo' dengan canggung lalu mengajaknya masuk ke bis bersama.

Tapi belum sempat melakukannya, pak sopir di bis paling depan kedengaran bicara duluan. "Aku duluan ya!" Teriaknya dan dia pun mulai memacu bisnya. Kelihatannya kalau bisnya sudah penuh, mereka akan langsung pergi ke asrama duluan. Melihat itu Alisa jadi penasaran sudah berapa banyak bis yang berangkat sebelum dia datang.

Meski sebelum memikirkan itu, ada hal lain yang membuatnya kagum. Alisa hanya melihatnya sekilas, tapi pak sopir tadi kelihatan pakai seragam sekolah. Jadi kemungkinan itu kakak kelas. Tapi walaupun kakak kelas, bukankah umur mereka masih di bawah 18? Sebagai orang yang belum pernah mengendarai mobil, Alisa agak terkesan melihatnya.

Walaupun fakta bahwa sekolah ini bisa membiarkan muridnya mengendarai bis begitu, dalam arti yang baik sekaligus buruk, sekolah ini kelihatannya keren.

Lalu laki-laki lain berseragam yang memegang megaphone juga mulai bicara. "Koper dan bawaan lainnya tinggalkan saja di sana ya." Katanya sambil menunjuk ke area yang sudah ditandai dengan papan 'transport'. Koper lain juga sudah bertumpuk di sana. "Nanti kalian tinggal cari di halaman asrama." Tambahnya.

Kembali mengikuti arus murid lain, Alisa pun menyeret kopernya ke tempat yang disebutkan. Meski saat melakukannya, Alisa tidak sengaja mendengar percakapan di antara dua kakak kelas yang ada di situ. "Ini masih lama banget? Aku belum sarapan!" Keluh perempuan itu, meski laki-laki yang memegang megaphone tadi cuma mengernyit kecil dan mengabaikannya.

Alisa spontan tertawa pelan melihat itu, tapi dia segera berjalan ke bis yang sudah setengah penuh di depannya. "Nama?" Tanya seorang perempuan di pintu bis. Mungkin karena dasinya yang longgar atau mungkin karena tingginya yang menjulang atau mungkin karena bibirnya yang merah gelap, kakak kelas itu kelihatan agak menyeramkan di mata Alisa.

"A-Alisa Arkain." Jawabnya gagap.

"Alisa…" Ulangnya sambil kelihatan memeriksa tablet komputernya. Dan setelah beberapa saat, dia pun membalas. "Oke. Masuk." Katanya dan Alisa pun akhirnya bisa menginjakkan kakinya ke dalam bis.

"Hai, hai!" Sapa pak sopir muda itu ramah. "Kalau kau mau, cupcake-nya gratis." Katanya sambil menunjuk keranjang kecil yang ada di dekatnya.

"Benarkah?"

"Tentu."

Rasanya entahlah, tapi cupcake-cupcake itu memang kelihatan cantik. "Kalau begitu…" Dan Alisa pun mengambil cupcake dengan hiasan Minnie Mouse di atasnya. "Terima kasih." Katanya sebelum mulai mencari tempat duduk.

Kalau bisa Alisa ingin duduk dengan seseorang. Tapi sayangnya saat itu tidak ada bangku kosong di sebelah siapapun. Sehingga akhirnya dia terpaksa duduk sendiri dulu di bangku belakang sambil menunggu orang lain.

Tapi saat dia baru menaruh pantatnya di bangku, orang-orang di depannya kedengaran sudah asik bergosip. "Kau lihat tadi? Kakak itu menggunakan sihir teleportasi gitu!" Seru seseorang.

Hm? Tertarik dengan topik itu, Alisa pun mendekatkan kepalanya untuk menguping. "Lihat! Sepertinya rumornya memang benar ya?" Sahut yang lain. "Kalau masuk sekolah ini, kita jadi bisa menggunakan sihir!"

"...?!" Tidak percaya dengan yang didengarnya, Alisa cuma bisa melebarkan mulutnya kaget. Jadi itu maksudnya 'semacam'?? Bahkan keterkejutannya juga langsung dikonfirmasi begitu di luar jendela terlihat ada cahaya sihir yang muncul. Dan detik setelahnya semua tumpukan koper tadi pun menghilang ke dalam sebuah portal hitam.