webnovel

Kasus Ditutup, Hampir

"Mengakhiri taruhannya lebih awal?!" Kata Fiona yang jelas sudah mau protes. "Mana boleh kalian melakukannya tanpa bilang-bilang padaku?!"

"Kau kan sejak awal memang cuma nonton saja." Balas Rei.

"Hei, penonton juga punya hak untuk tahu cerita lengkapnya!"

"Ya ampun sudah, hentikan!" Sela Hana akhirnya. "Lagipula kita juga sudah pasti kalah. Jadi lebih baik kalau taruhannya berhenti sekarang saja." Katanya pada Fiona.

"Dan kenapa begitu??"

"Karena butuh waktu lebih dari seminggu untuk membuatnya." Sahut Ruri kemudian.

Tidak membalas lagi, Fiona pun akhirnya memahami apa yang sudah terjadi selama dia tidak main ke pondok Hazel. Walaupun setelah memikirkannya, ekspresinya malah berubah jadi jijik saat dia menoleh ke arah Rei. "Uwah, jadi kau mengatur taruhannya seperti itu karena sudah tahu itu dari awal? Rei, kukira kau orang baik."

Rei awalnya terdiam karena dia tidak bisa membalas itu, tapi kemudian dia menceletuk pelan. "Kita tahu kau tidak pernah menganggapku baik." Balasnya. "Terus bagaimana? Tetap mau dibatalkan kan?" Tanyanya lagi ke arah Hana dan Ruri. Tapi meski tadi sudah jawab iya, anehnya mereka berdua malah kembali terdiam saat ditanya ulang.

Dan ternyata malah Fiona yang akhirnya menyahut. "Yah, yang akan terjadi biarlah terjadi." Katanya santai, sama sekali tidak menunjukkan perlawanan lagi. Dia bahkan sudah bisa tersenyum seakan itu bukan urusannya juga. "Terserah saja kalau kalian mau membatalkannya." Katanya sambil duduk.

Semua orang bingung untuk satu detik, tapi segera sadar kalau memang begitulah Fiona. Selalu berisik seakan dia peduli, tapi sebenarnya dia tidak pernah peduli pada apapun.

"Tapi kalau begitu matamu akan jadi normal setelah ini?" Kata Fiona, menyapa Arin. "Sayang sekali. Padahal Aku suka melihatmu kesandung batu yang sengaja kubuat." Lanjutnya lagi, yang membuat Arin merapatkan bibirnya dengan getir, karena dia memang sudah mencurigai itu beberapa hari ini.

Selesai dengan masalah Fiona, Ruri pun kembali menoleh ke arah Rei. "Sudah kan? Sekarang mana ramuannya?" Pintanya.

"Tunggu di sini. Akan kuambil dulu."

"Oh! Apa kau akan ke kamarmu? Tadi Aku habis dari sana." Celetuk Fiona lagi tiba-tiba, dan Rei pun spontan menghentikan langkahnya. "Jangan kaget kalau tempatnya berantakan. Tadi Aku makan di sana. Aku suka mi pedasmu."

Merasa kalau udaranya tiba-tiba jadi dingin, semuanya spontan menahan napas saat melihat ekspresi Rei berubah. Bahkan Alisa, Arin, sampai Hazel tanpa sadar juga menggeser kaki mereka menjauh saking takutnya. Mereka mungkin berani sumpah kalau mata Rei benar-benar kelihatan seperti mengeluarkan kilat saat itu.

"Aku tidak punya mi pedas."

"Begitu? Kalau begitu mungkin tadi Aku makan yang kari?"

"Aku benci mi."

"Benarkah? Aku tidak tahu. Mungkin itu sebabnya tadi Aku cari dimana-mana tapi tidak ketemu." Balasnya. "Tapi sebagai gantinya, Aku ketemu ini." Lanjutnya sambil merogoh sakunya, dan dia pun mengeluarkan sebuah kertas kecil yang sudah dilipat-lipat.

Semua orang hanya diam selagi Fiona membuka lipatannya satu-persatu. Dan begitu kertas itu sudah melebar sepenuhnya, di situ cuma terlihat ada gambar kotak kubus. Atau foto mungkin?

Dan Rei jelas tidak menyukai itu. "Perjanjiannya tidak bilang kau boleh mencuri."

"Tidak ada juga yang bilang kalau Aku tidak boleh." Balas Fiona. "Atau mau lihat video taruhannya lagi? Hana, sini handphonemu."

Tapi bukannya menurut, Hana malah kembali memfokuskan pandangannya pada foto kubus itu. "Maksudmu, ramuan untuk Arin ada di situ?" Tanyanya.

"Mungkin, tidak tahu juga sih." Sahut Fiona, yang kemudian menggunakan sihirnya dan mengeluarkan kotak kayu itu dari kertasnya. "Tapi Rei lumayan sering memperhatikan ini semenjak kita buat taruhannya. Nih." Lanjutnya sambil memberikan kotak itu pada Ruri.

Tapi selagi Hana dan Ruri sibuk memeriksa isi kotak yang mirip seperti rubik itu, Alisa yang kaget malah mulai menepuk-nepuk pundak Arin sambil melebarkan mulutnya. "Tadi, itu, itu…!" Teriaknya tanpa suara. 'Sihir dua dimensi!'

"Iya, iya, Aku juga kaget." Sahut Arin sambil menghentikan tangan Alisa. "Tapi berhenti memukulku, kau seperti Mary saja."

"Kau... Jangan bilang kau kagum dengan sihir kak Fiona tadi?" Celetuk Hazel tiba-tiba, entah kapan sudah ada di samping mereka berdua. "Sihir itu adalah sihir yang paling menakutkan di sejagat Aviara. Jadi kalau kalian lihat kak Fiona bawa-bawa kertas, pastikan kalian langsung kabur." Katanya.

Tidak begitu paham, keduanya sempat melirik lagi ke arah Fiona. "Menakutkan? Bukannya keren?"

"Ha-ha…" Tapi Hazel malah terkekeh dengan suara sarkastik. "Coba katakan itu setelah kalian terjebak di dalam gambarnya."

"..."

Di sisi lain, ramuan dengan cairan hijau yang Ruri cari-cari ternyata betulan ada di dalam peti rubik itu. Dilihat dari tekstur dan warnanya, Ruri yakin 99% kalau itu ramuannya.

Tapi tetap saja dia malah kembali menoleh ke arah Rei. "Yang ini kan?"

"...Kalian betulan tidak mau mengembalikan itu padaku?"

Melihat Rei seperti itu, Ruri spontan menggenggam botol itu lebih erat. "Kau mau merebutnya?" Balasnya. Dan seketika itu, suasananya langsung menegang seakan benar-benar akan terjadi perang dunia.

Semua orang bisa lihat Rei menggigiti bibirnya dengan kesal seperti berusaha menahan emosinya. Tapi tepat saat mereka mengira Rei akan mulai melemparkan bola api ke wajah Ruri, tiba-tiba saja Rei malah memutar langkahnya dan diam di sana.

Dilihat dari sosok punggungnya yang gemetar dan kakinya yang gelisah, yah, dia mungkin sedang menggerutu sendiri.

"Agh, bodo amat!" Gumam Rei akhirnya. Aura membunuhnya sudah agak hilang. Tapi Ruri dan yang lain tetap tidak menurunkan waspada mereka saat Rei kembali berbalik dan mulai berjalan mendekat.

Tapi tanpa berkata apa-apa, Rei hanya mengambil kembali kotak miliknya di meja dan membiarkan Ruri menyimpan botol kecil yang daritadi sudah dia pegang.

"Kenapa? Kau tidak jadi cekik Ruri?" Celetuk Fiona yang ternyata sudah siap merekam kejadian itu.

"Diundur!" Sahut Rei kesal, yang setelah itu cuma pergi kembali ke arah tenda.

"Diundur katanya." Celetuk Fiona sambil tertawa ke arah Ruri. "Kalau begitu cepat berikan obatnya." Lanjutnya.

Ruri tidak suka nada bicara Fiona, tapi untuk sekarang dia memang ada di pihaknya, jadi dia pun menurutinya. Meski saat dia baru membuka isi botolnya, matanya malah menangkap tatapan Hana yang masih memandang ke arah tenda dengan rasa bersalah.

Lalu dengan desahan berat, Hana menoleh ke arah Ruri. "Kalau sudah begitu, Rei bisa tidak bicara padaku selama berminggu-minggu, kau tahu." Kata Hana dan akhirnya Ruri pun jadi ikut merasa bersalah juga.

"...Kalian benar-benar!" Tapi Fiona yang melihat itu pun akhirnya muak dan memutuskan untuk merebut botol itu dari tangan Ruri. "Mencuri ini tidak mudah tahu. Enak saja kalian mau menyia-nyiakannya." Protesnya.

"Nih, buruan minum sebelum mereka benar-benar berubah pikiran." Lanjutnya pada Arin.

"Tapi betulan tidak apa—"

"Minum!" Potong Fiona tidak sabar seakan dia sudah ingin menenggak langsung ramuan itu ke tenggorokan Arin.

Jadi sebelum Fiona benar-benar melakukannya, Arin pun meminum ramuan itu.

"Geh, rasanya bikin mual. Aku mau muntah."

"Telan terus!"

Dan setelah memaksakan diri untuk menelan ramuan bau itu, Arin kelihatan melebarkan matanya. "Oh! Kabutnya mulai berkurang… Eh, tapi kembali lagi…"

"Eh, apa? Tidak langsung sembuh?" Tanya Fiona sambil menggoyang-goyangkan kepala Arin. "Sekarang bagaimana? Sekarang?"

"Masih ada! Lepas--" Balas Arin sambil berusaha melepaskan diri dari Fiona.

Hening sejenak, semua orang pun akhirnya menoleh ke arah tenda untuk protes pada pemilik asli ramuannya. Tapi tidak perlu dipanggil, ternyata Rei memang sudah melongokkan kepalanya dari tenda dengan ekspresi yang agak kaget juga.

"Tidak berhasil? Benarkah?" Tanyanya dengan wajah yang mulai kembali cerah. "Benarkah? Wah."

"Eh apa? Rei, kau menipuku?" Protes Fiona yang menyeringai dengan kesal. "Tapi kau tahu Aku tidak suka ditipu!"

"Kau yakin kau sudah ambil ramuan yang benar tadi?" Protesnya juga pada Ruri.

"Harusnya…"

"Lalu kenapa—" Fiona sudah akan teriak, tapi tiba-tiba saja dia kembali menenangkan dirinya. "Yah, tapi tidak masalah."

"Setidaknya tadi ramuannya sudah bekerja walaupun sebentar. Jadi kita sudah menang taruhannya kan? Tidak ada yang bilang kalau efeknya harus permanen."

"Apa? Mana bisa?" Protes Rei yang akhirnya kembali mendekat ke meja. "Bahkan tadi efeknya juga tidak sampai satu detik! Lagipula Aku dengar tadi dia bilang kabutnya berkurang, bukan menghilang! Kau sendiri tadi merekamnya kan, coba lihat lagi!" Tuntut Rei sambil menunjuk kamera yang dipegang Fiona.

Tapi Fiona yang kesal malah langsung melempar kameranya ke luar pagar. "Kau kan menipuku. Jadi setidaknya biarkan Aku merubah peraturannya sebanyak itu."

"Orang yang sudah mencuri dari kamarku mana bisa protes begitu?!"

"Hmph, kamarmu kan memang sudah biasa diterobos orang. Berlebihan sekali--"

Keduanya sudah kelihatan ingin saling cekik, tapi untungnya Ruri sempat menahannya. "Hentikan, ya ampun!" Katanya sambil mencoba untuk mendorong Rei menjauh, selagi Hana juga berusaha menutup mulut ember Fiona.

Ruri berusaha untuk tidak mengatakan apapun dulu, tapi Rei tentu saja menyadari pandangannya. "Apa? Aku tidak punya ramuan lain lagi." Katanya tidak tahan. "Karena kupikir itu pasti akan bekerja, Aku tidak menyiapkan yang lain." Tambahnya.

Dan semua orang pun mendesah, terduduk, lalu mendesah lebih panjang.