webnovel

99 Persen Saja Tidak Boleh, Apalagi 70!

Karena anaknya bilang tidak mau pakai obat bius, Hana pun terpaksa mengobatinya dengan sihir dan ramuan oles yang biasa. Hanya saja saat melihat Alisa yang selalu berjingit setiap tulangnya bergeser ke tempat semula, jantung Hana yang justru terasa mencelos terus.

"...A-Aku coba sembuhkan sekaligus saja ya. Tapi rasanya akan sangat sakit." Kata Hana kemudian.

Merapatkan bibirnya, Alisa pun mengangguk. Meski tidak seperti sebelumnya, Hana perlu waktu beberapa detik tambahan untuk mengumpulkan semua sihirnya dulu. Baru setelah dirasa cukup, dia pun mulai menyentuh lengan Alisa yang remuk tadi.

"Ack!!" Rasanya agak mirip saat Fiona memukulnya tadi, tapi untungnya semua rasa sakit itu mulai memudar dengan cepat. "Te-Terima kasih..." Ucap Alisa yang seperti sudah maraton seharian.

Setengah lega dan setengah sakit hati, Hana pun kembali menguatkan dirinya. "Lecet-lecetnya juga kuobati ya." Katanya sambil mulai mengoleskan ramuannya lagi ke wajah Alisa. Dengan tanah dan goresan luka yang banyak itu, sejujurnya Alisa lebih mirip seperti gembel sekarang.

Tapi saat melihatnya dari dekat seperti itu, Alisa jadi sadar kalau garis mata Hana yang daritadi kelihatan stres ternyata sudah semakin memerah lagi. Seakan dia sedang menahan tangis atau semacamnya.

"..." Alisa sudah ingin bertanya kenapa Hana membuat wajah seperti itu meski semuanya sudah selesai. Tapi kemudian dia menyadari kalau ada bekas luka membiru di sekitar kerah baju Hana, yang kemungkinan merupakan luka lebam, entah terbentur apa.

Jadi Alisa pun langsung mengulurkan tangannya untuk mengobati itu juga. "Bahu kakak—"

"Apa? Tidak usah." Kata Hana yang langsung mengelak dan menjauhkan tangan Alisa. "Aku baik-baik saja."

Tapi Alisa tetap mengulurkan tangannya kembali. "Tidak apa. Aku juga bisa menyembuhkan—"

"Kubilang tidak usah!" Balasnya, tanpa sadar menaikkan suaranya.

Hana segera menyesali itu. Tapi karena emosinya tetap saja belum mereda, suaranya jelas kedengaran gemetar saat dia membalas lagi, "Aku… Aku benar-benar menyesal untuk semuanya. Jadi biar Aku saja yang mengobatimu, ya?"

"...Tapi Aku juga sudah tidak apa-apa." Balas Alisa lagi.

Keduanya sempat terdiam setelah itu, tapi Hana akhirnya menutup wajahnya karena tidak bisa menahan tangisnya lagi.

"..." Melihat itu, Alisa jadi bingung harus bagaimana. Tapi kemudian dia mencoba untuk kembali menyembuhkan bahu Hana, dan untungnya kali ini dia tidak melawan.

Hanya saja Rei yang daritadi melihat itu dari samping pun tidak bisa menelan komentarnya lagi. "Ya ampun, kau menyedihkan sekali…"

"Berisik!" Balas Hana yang masih menutupi wajahnya.

Tapi tidak beberapa lama kemudian, muncul suara seseorang lagi dari arah lain. "Alisa!" Teriaknya, yang ternyata adalah Mary.

Dia kelihatan datang dengan sapu tangan terbang bersama seorang kakak kelas perempuan yang dulu pernah dia lihat di briefing Osis. Kalau tidak salah namanya Erika.

"Alisa, kau tidak apa-apa? Aku kaget sekali dengarnya tadi." Oceh Mary yang langsung lompat duluan meski mereka belum mendarat sepenuhnya.

"Ah, Aku sudah tidak apa-apa." Sahut Alisa. "Tapi memangnya kau dengar dari mana—"

"Dari mana apanya? Semuanya sudah tersebar di forum Osis, kalau kak Fiona berusaha membunuhmu tadi!" Balasnya.

Meski saat sedang berapi-api seperti itu, dia akhirnya sadar kalau sosok Hana yang ada di sebelahnya ternyata kelihatan sedang mengucek-ngucek matanya sendiri. "...Kak Hana terluka juga?" Bisiknya tanpa suara, meski Alisa cuma bisa diam tanpa menjawab.

"Kau bisa mengantarnya pulang ke asrama kan?" Tanya Rei kemudian.

"Eh? Ah, tentu saja." Sahut Mary yang awalnya tidak yakin kalau Rei bicara padanya. "Alisa biar Aku saja yang antar." Tambahnya.

Hana yang mendengar itu kelihatan sudah akan mengatakan sesuatu, tapi Rei keburu menarik tangannya untuk berdiri. "Kalau begitu tolong ya. Soalnya Aku dan Hana perlu kembali ke gedung Osis dulu." Kata Rei lagi.

"Ta-Tapi, tapi Aku masih harus mengobati Alisa—"

"Kau sudah melakukannya tadi." Potong Rei. "Lagipula dia juga bisa menyembuhkan dirinya sendiri."

"Tapi…!"

"Wakil ketua, pekerjaan yang menunggumu ada banyak, oke?" Timpal Erika yang juga mulai ikutan menarik tangan Hana.

"Aku tidak mau jadi wakil ketua lagi!" Keluh Hana terus, meski Erika sudah menyeretnya untuk naik ke atas sapu tangan.

Rei juga tadinya sudah akan ikut naik. Tapi sebelum menapakkan kakinya, tiba-tiba saja suara Alisa malah kedengaran lagi.

"A-Anu, tunggu, kak Rei." Panggilnya. "Itu…"

Mengikuti arah tunjukannya, Rei pun menoleh ke bola kaca yang masih tergeletak di rumput basah. "Ah…" Celetuknya seakan tadinya dia memang hampir lupa tentang itu.

Rei kelihatan ragu, tapi akhirnya dia tetap mengambilnya, dan mulai memasang ancang-ancang ala pitcher.

"ASDJKS--Ap-Apa yang kakak mau lakukan?" Celetuk Alisa yang panik saat Rei kelihatan akan melemparkan bola kaca itu ke danau.

"Apalagi? Aku tidak mau kelihatan mengantongi Fiona saat meladeni protes semua orang."

"Me-Meski begitu…"

"Dia tidak akan mati, ya ampun. Kalau sudah selesai juga Aku akan memungutnya lagi." Balas Rei. Tapi karena Alisa masih saja kelihatan tidak senang dengan ide itu, justru jadi Rei yang mulai kelihatan kesal melihatnya. 'Merepotkan'.

Tapi untungnya dia juga bukannya tidak punya pemikiran lain. "...Kalau begitu mau kau saja yang pegang?"

"Apa?! Rei—" Hana yang mendengar itu sudah akan lompat turun lagi, tapi ternyata Rei masih melanjutkan kalimatnya.

"Aku jamin, mm, 70 persen dia tidak akan bisa keluar dan melukaimu--setidaknya selama beberapa hari. Jadi kau cuma perlu menaruhnya di pojok kamarmu atau di mana saja, terserah." Jelas Rei.

"Tidak boleh!" Erika masih menahannya di atas sapu tangan, tapi Hana terus saja melancarkan protesnya. "99 persen saja tidak boleh, apalagi 70!"

Alisa sendiri juga tidak langsung membalasnya. Tapi dilihat dari ekspresinya, Rei pikir dia cuma perlu bujukan lain. Jadi Rei pun kembali mengulurkan bola kaca itu ke pinggir danau. "Tidak mau tidak masalah—"

"Tu-Tu-Tunggu!"