1 Lelaki yang Menyebalkan

Menyebalkan!

Itulah satu kata yang terlintas dalam benak Claudia, ketika dia siang ini baru mendapatkan tanda tangan dari kakak kelasnya sebanyak dua puluh tanda tangan.

Masih ada sepuluh lagi yang harus ia dapatkan agar ia dapat terbebas dari pulang sore hari ini.

Hari masa orientasi siswa yang ia alami saat ini sangat berbeda dengan yang ia pikirkan ketika lulus SMP. Di mana akan ada banyak kakak kelas ganteng dan memesona juga menawan.

Karena kebanyakan kakak kelas yang sudah ia datangi dan minta tanda tangan hanyalah kakak kelas yang suka caper dengan adik kelas mereka!

"Capek!" desah Claudia, ia duduk bersandar pada dinding perpustakaan.

Ia melirik ke kiri dan ke kanan agar tidak ketahuan oleh siswa lain apalagi kakak kelasnya.

Dia sudah lelah mengejar kakak kelas yang sok terkenal sejak tadi, padahal setelah MOS mungkin mereka akan balik lagi menjadi "kentang" yang jarang diharapkan.

"Pindah ah," gumam Claudia, ketika dia mendapati beberapa siswa melirik ke arahnya. Ada yang tersenyum karena melihat Claudia tampak lucu.

Ada yang berkata kalau dia akan dilaporkan pada kakak kelas yang sedang membinanya.

Akhirnya Claudia memilih untuk duduk di sebuah kursi yang ada di pinggir lapangan basket. Berteduh di bawah pohon sambil mencari angin segar siang itu.

Namun baru saja dia memejamkan matanya, dia harus mendengar suara tawa yang membuatnya tersadar.

"Suara apa tuh!" Claudia mencari ke arah suara, kemudian bergerak menuju pohon rindang yang terletak tak jauh di sana.

Matanya membulat ketika dia melihat pemandangan yang benar-benar membuat netranya hampir keluar karena terkejut.

"Astaga!" pekik Claudia sambil membungkam mulutnya.

Ia berjalan mundur ke belakang teratur sebelum kedua orang yang tadi hampir ciuman memergokinya.

KRETEEEK!

Suara ranting terinjak membuat kedua orang itu sontak melirik ke arahnya. Claudia membeku, tak ada ruang untuk melarikan diri ketika mata lelaki yang tak lain adalah kakak kelasnya sedang menatap tajam padanya.

"Lo anak baru, ngapain ada di sini?!" tanya lelaki yang bernama Randu. Cukup galak juga saat ini, apalagi perbuatannya tadi ketahuan oleh Claudia.

"Ma—maaf, Kak!" serunya tergagap.

Keringat dingin mengucur dari dahi turun ke pipinya yang putih. Randu mengamatinya sangat dekat sampai membuat Claudia tak nyaman.

"Lo kelas X berapa? Siapa nama pembina lo?" tanya Randu.

"Itu—itu, Kak Fatih," jawabnya.

"Oh dia." Mata Randu mengawasi Claudia dari atas sampai bawah.

Wajahnya yang bulat dengan mata yang sedikit sipit. Hidungnya mancung dengan kulit wajah putih bersih, tapi belang karena hari ini disuruh berpanas-panasan oleh kakak kelasnya.

"Lo belum dapet tanda tangan gue kan?" tanya Randu lagi, ketika dia menarik sebuah buku yang dikalungkan oleh Claudia di lehernya.

Randu membukanya sambil tersenyum sinis. "Lo mau gak tanda tangan gue?"

Claudia tentu saja mengangguk penuh harap. Karena setidaknya dia tak usah repot mengejar-ngejar kakak kelasnya yang satu itu.

"Mau, Kak!" serunya semangat.

"Tapi ada syaratnya."

Claudia menelan ludahnya sendiri. Sudah diduga jika akan ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Lagi pula mana ada zaman sekarang apa-apa masih gratis.

"Ap-apa, Kak?" Claudia suaranya terdengar bergetar.

Selain karena takut pada Randu, dia juga tak bisa menatap wajah itu lama-lama. Jujur saja, Randu sangat tampan, berbeda dengan kakak kelas yang lain sebelumnya yang ia masukan dalam golongan "kentang".

Mata bersih dengan tatapan mata yang tajam. Rambut hitam pekat dan lebat, tak seperti kakak kelas lainnya yang diwarnai agak sedikit kecoklatan. Hanya saja omongannya terdengar sinis dan itu membuat Claudia kalang kabut saat ini.

"Itu kan di sana ada tukang ojek, coba lo liat berapa tahun motor mereka dan lo tulis. Jangan sampai salah soalnya gue udah tahu berapa aja tahun motor mereka."

Sialan! Kalau udah tahu kenapa disuruh nulis, emangnya gue tempat pegadaian BPKB! Dan tentu saja itu dikatakan Claudia di dalam hatinya saja. Mana berani dia mengatakan kalimat itu di depan Randu secara langsung, yang ada dia tak akan selamat sama MOS berakhir.

"Baik, Kak." Claudia hendak membalikkan badannya, tapi kalung bawang merah dan bawang putihnya ditarik oleh Randu dari belakang membuat tubuhnya tertarik.

"Eit, tunggu dulu."

Claudia memutar bola matanya.

"Lo—gak bakalan bilang sama apa yang lo lihat tadi kan?"

"Tentu saja, Kak! Tenang aja." Claudia meringis padahal dalam hatinya ingin mengutuk lelaki yang namanya Randu itu.

"Bilang aja suruh jangan bilang, kenapa pakai nyuruh-nyuruh. Lagian kan harusnya gue yang ngancem dia. Bukan dia yang ngancem gue," gerutu Claudia sambil beringsut dari depan Randu.

Dan Claudia mau tak mau pergi ke pangkalan ojek yang ada di depan sekolah. Perlu perjuangan agar bisa keluar dari sekolah sebab dia masih anak baru. Dan ketika di pangkalan tukang ojek pun, dia masih dikerjai oleh para tukang ojek online yang sedang nangkring asik di sebuah warung kopi.

"Tahun 2010," gumam Claudia sambil menulis.

"Tahun 2020. Wah bisa nih dijual," gumamnya lagi.

Sebelumnya dia sudah izin dulu pada tukang ojek, jadi dia bisa dengan leluasa menulisnya meskipun terlihat aneh jika ada yang melihat dirinya saat ini.

Dengan mahkota yang terbuat dari pohon singkong yang sudah kering lantaran kepanasan bertengger di atas kepalanya. Rambutnya di kuncir tiga dengan pita berwarna merah kuning hijau. Lalu sebuah kertas kardus bertuliskan "aku anak sekolah rajin dan pandai" membuat Claudia lebih mirip seperti gembel yang sedang berkeliaran.

"Udah Neng?" tanya seorang ojek. "Dapet orderan nih," lanjutnya.

"Udah, Bang," jawabnya dengan senyum kecut.

Kalau saja bukan karena Randu, dia tak akan mau untuk capek-capek ke pangkalan ojek saat ini.

Dan sejam berlalu, akhirnya Claudia mencari di mana Randu berada. Dan dari kejauhan, terlihat dia sedang berdiri dengan tangan bersilang di depan dada sambil melihat anak-anak baru.

Claudia menghela napasnya sebelum dia membawa catatan seperti itu pada Randu. Karena bertemu denganya tak lebih buruk daripada bertemu dengan orang gila newbie.

"Kak, ini. Aku udah nulisin tahun motor mereka." Dengan napas terengah-engah, Claudia memberikan bukunya pada Randu.

Namun Randu hanya meliriknya dengan ekor matanya.

"Kak," panggil Claudia lagi.

"Gue gak budeg," sahutnya pelan.

Nyahut dong makanya! Geram Claudia dalam hati.

Randu akhirnya menerima buku dari Claudia. Dia memeriksanya dengan teliti seakan itu adalah tugas penting dari negara. Ia tersenyum tipis tapi masih tak mau menandatangani buku milik Claudia.

"Lho, kok?" protes Claudia.

"Masih kurang, punya mang Ujang gak ada."

"Tapi—Kak. Udah semua kok."

"Mang Ujang gak ada, jadi gue gak bisa ngasih tanda tangan. Tanda tangan gue mahal."

"Lha kok gitu sih." Claudia hampir menangis, usahanya mencatat tahun motor tukang ojek sia-sia.

"Lo masih kurang sepuluh tanda tangan lagi, kan?"

Claudia mengangguk dengan bibir mencebik.

"Ya udah, gue kasih punya mereka semua tapi ada satu syaratnya."

"Ntar bohong lagi," dengus Claudia.

"Kalo lo gak percaya ya udah. Gue juga gak rugi kok, paling yang rugi lo. Pulang sore sambil bersihin lapangan sekolah." Randu ngeloyor begitu saja tanpa memikirkan perasaan dari Claudia.

Claudia menatap buku catatannya, kurang sepuluh lagi itu sangat berat apalagi dia belum tahu semua kakak kelas yang belum ia mintai tanda tangan.

"Kak! Oke, aku mau!"

Randu tersenyum samar tanpa Claudia tahu. Ia membalikkan tubuhnya ketika Claudia sudah ada di belakangnya dengan wajah yang sangat lesu.

"Apa syaratnya, Kak?"

"Sini gue bisikin," kata Randu. Dan mau tak mau Claudia mendekatkan telinganya ke dekat bibir Randu.

Gadis itu membulatkan matanya lalu hampir saja mau menangis.

"Gue tunggu ya, acaranya jam tiga," kata Randu acuh. 

avataravatar
Next chapter