webnovel

Chapter 3 Bagaimana rasanya Kesialan?

Chapter 3

Bagaimana rasanya Kesialan?

Dua pembunuh bayaran lainnya tergeletak tak berdaya di tanah, tak sadarkan diri akibat cengkeraman akar-akar kekar milik Lily yang mencekik mereka hingga hampir kehabisan napas.

Lily menatap ke arah Raia yang tengah menyunggingkan senyum angkuh sembari memandangi tubuh pembunuh yang jatuh terkapar dari atap rumah. Matanya tak luput menangkap gambar bintang yang menembus dada mayat itu.

Lily bertanya-tanya dalam hati, 'Siapakah sosok di sampingnya ini? Seorang penyihir kuat yang menyamar?' Namun, pikirannya langsung terganggu dengan pertanyaan lain mengenai misteri sihir bintang yang baru saja dilihatnya.

"Aku ingin bertanya," Raia berujar, menatap lurus ke mata Lily. "Apa yang dimaksud dengan pasar gelap di sini?"

Entah mengapa, tatapan Raia yang intens membuat Lily merasa tidak nyaman. Ia mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya.

"Ehm... Pasar gelap adalah tempat transaksi barang-barang terlarang di kerajaan ini," jelas Lily akhirnya. "Meskipun Kerajaan Aredia begitu makmur dan indah, namun manusia tetaplah manusia. Selalu ada yang melakukan hal-hal terlarang. Belakangan, sedang marak peredaran Euphoria, sejenis daun dari hutan entah berantah."

"Euphoria? Nama itu tidak asing bagiku. Apa efek dari daun itu? Dan dampaknya bagi manusia?" tanya Raia menyelidik.

"Orang yang mengonsumsi Euphoria akan mengalami halusinasi akan kebahagiaan yang selama ini mereka dambakan. Namun, harganya tidak murah. Daun itu dapat merusak jantung dan menghapus energi sihir seseorang secara permanen jika dikonsumsi berlebihan. Sudah banyak warga Kerajaan Aredia yang menderita akibat kecanduan Euphoria."

Raia tampak berpikir sejenak, mencerna informasi berharga yang didapatnya secara gratis. Euphoria mulai membangkitkan rasa ingin tahunya yang mendalam.

Secara mengejutkan, sebuah bola hitam pekat melesat cepat menuju Raia dan Lily. Refleks, Raia menangkapnya. Namun begitu menyentuh telapak tangannya, rasa sakit menghunjam bak ribuan jarum menusuk kulitnya. Memaksanya melepaskan bola misterius itu ke sembarang arah. Darah segar menetes dari luka menganga di telapak tangannya yang mulai membengkak.

"Efek tubuh manusia?" gumam Raia dalam hati, menyadari rasa sakitnya yang tak seperti dulu. Tapi ia segera mengeyahkan pemikiran itu. Mereka berhadapan dengan musuh yang tak bisa diremehkan - siapa pun yang dapat melepaskan proyektil hitam melukainya.

Lily tampak terkejut panik, menyaksikan Raia menahan serangan tak terduga lainnya. "Masih ada kekuatan terpendam sekuat ini yang belum terungkap di kerajaan?" batinnya cemas, peluh mulai membasahi pelipisnya.

Raia menduga bola hitam tadi hanya gertakan lawannya, tak mendeteksi keberadaan lain di sekeliling area itu. Sebuah kesalahan besar.

"Lily, ayo ce--" Ucapannya terhenti, tercekat melihat darah merembes dari dada Lily. Sebilah pedang panjang hitam kelam menembus tubuhnya, memuncratkan darah bak air tancur dari mulut Lily yang menganga kesakitan.

"Terlalu banyak bicara, keturunan Celestlave," suara feminin mengalun dingin dari balik tubuh Lily yang mulai ambruk. Sesosok perempuan rupawan berdiri angkuh di sana, kulit pualamnya berkilau dalam terpaan sinar rembulan. Tangannya yang putih menggenggam bilah pedang hitam yang masih menancap di punggung Lily.

Dari belakang tubuh Lily, tampak sesosok misterius berjubah dan bertudung hitam melangkah perlahan. Jubah panjang itu menyapu hamparan tanah, sementara tudungnya menutupi sebagian wajah.

Namun sesekali, angin menyibakkan jubahnya, memperlihatkan rambut putih bercampur helai-helai ungu yang memukau. Warna unik rambutnya itu serasi dengan sebuah gelang antik melingkar di pergelangan tangannya. Dari gelang itu, tergantung sebuah bandul berbentuk jam pasir yang bergoyang anggun mengikuti setiap langkahnya.

Siapakah wanita misterius ini? Apakah dia makhluk supranatural atau komplotan dari pembunuh bayaran tadi? Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, kehadirannya membawa aura penuh teka-teki dan kisah yang mungkin tersembunyi di balik pakaian serba tertutupnya.

Jam pasir di gelangnya seolah menjadi lambang waktu yang terus berjalan. Berpasir di atas dan kosong di bawah, seakan mengingatkan bahwa masa lalu dan masa depan adalah dua hal yang selalu terhubung. Rambut putih ungunya yang indah pun seakan menyiratkan kearifan dan pengalaman hidup yang tak terhitung jumlahnya.

Sosoknya yang misterius namun mempesona itu terus melangkah, meninggalkan jejak tak terbaca di tanah tempatnya berpijak. Kehadirannya seakan membawa sejuta pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah terjawab sepenuhnya.

Raia melesatkan bintang kecil ke arah perempuan misterius itu dari belakang. Namun, reaksi yang didapat sungguh di luar dugaan. Pedang di tangan sang perempuan bereaksi, mencabut diri dari tubuh Lily lalu membelokkan bintang Raia.

Raia kembali menyerang dengan hujan bintang kecil dalam skala lebih besar. Sementara itu, ia melesat menuju tubuh Lily yang sekarat, berniat membopongnya sebelum kehabisan darah.

Namun, sesosok lain muncul di sisi Lily lebih dulu. Orang berjubah serupa pembunuh bayaran sebelumnya itu menyentuh tubuh Lily, dan dalam sekejap, mereka menghilang entah ke mana.

Kini hanya menyisakan Raia dan perempuan misterius yang masih menangkis hujan bintangnya. Tetesan keringat di pipi sang perempuan menandakan ia mulai terdesak.

"Sihir bintang... Mustahil ada di dunia ini," gumamnya, menatap Raia yang menghentikan serangannya sesaat.

Ia membuat keputusan untuk melesat menyerang Raia lebih dulu. Jika Raia terbunuh, bintang-bintang itu pasti akan lenyap, pikirnya. Namun sayangnya, Raia justru melaju menyongsongnya dengan tangan kosong, membuatnya mengurungkan niat.

"Terlambat satu detik bisa berarti kematian, lho?" Raia lebih dulu melayangkan pukulan telak ke wajah sang perempuan.

Ketika tubuh lawannya melayang di udara, Raia kembali melesat. Ia menghentakkan kaki ke tubuh si perempuan, membanting keras ke lantai berbatu hingga retakan menganga. Raia hampir saja menginjak kepalanya, namun sang perempuan berhasil berpindah ke belakang dengan memegangi perutnya yang kesakitan.

"Ugh... Akan kubayar rasa sakit ini suatu saat nanti," desisnya di sela napas tersengal, sebelum menghilang bersama sesosok lain yang muncul tiba-tiba untuk menyentuhnya.

"Benar-benar hari sial. Kehilangan informan dan bersinggungan dengan pasar gelap. Ini akan melelahkan," keluh Raia menghela napas, menerima kenyataan hari ini. Bulir-bulir hujan mulai membasahi tubuhnya dalam gelapnya langit malam.