1 Prologue

Hujan turun di bagian North Suisse. Di sela-sela hujan deras itu, sebuah pemakaman berlangsung. Banyak payung hitam yang ditegakkan, senada dengan semua jas dan baju hitam di sana. Seorang pastor berbicara panjang lebar mengenai ayat alkitab.

Aku tidak terlalu mendengarkan. Suara hujan menutup rapat telingaku. Isak tangis semua orang menutup inderaku. Di depan, sebuah peti mati dengan kayu ek yang dipernis tertidur rapi, lengkap dengan semua pernak-perniknya. Sebuah penghormatan terakhir yang cukup. Mungkin itu saja yang kuingat hari itu, tidak banyak yang terlintas di benakku tentang kejadian kala itu. Sudah lama aku menjalani hidup sendiri, dengan jalanku sendiri, dengan caraku sendiri. Aku ingat, tidak seorangpun yang menyalami tanganku bersusah payah mencoba mengenali aku sekarang. Mungkin mereka tidak peduli. Mungkin aku terlalu apatis pada mereka. Entahlah. Aku membalikkan badanku, menutup payungku dan merasakan guyuran hujan yang deras di sekujur badanku. Aku tidak merasakan apa-apa. Mungkin selain jiwaku, badanku pun sudah lama terkujur beku di dunia ini. Cih. Berada di pemakaman seseorang yang berarti bagiku, pun tidak sedetik pun aku jua mengeluarkan air mataku. Miris sekali.

"Tuan William?" sebuah suara berat menyapaku dari belakang. Aku menoleh.

"Ya?" balasku dengan pandangan tajam. Sesosok putih rapi, lengkap dengan jas dan rompinya yang hitam. Dia menutup payungnya, menghampiriku dengan langkahnya yang tegap.

"Saya Mr. Christ." Katanya mengulurkan tangannya. Aku melihat wajahnya dalam-dalam.

"Well, Mr. Christ," kataku dengan pelan, "Sekarang bukan waktunya untuk berkenalan, bukan? Selalu ada waktu lain, saya rasa."

Dia tersenyum. "Maybe, Tuan William. Tapi bahkan Anda pun tidak memperdulikan orang yang telah meninggal ini." Katanya mengeluarkan sebuah kacamata hitam. Aku tertegun sejenak. Orang ini bisa membaca pikiranku. Tangan kiriku perlahan meraih bagian belakang jasku, mengambil pistolku untuk berjaga-jaga.

"Sia-sia saja, Tuan William." Kata Mr. Christ dengan secepat kilat mengeluarkan revolver dari saku bajunya. Arah selongsong pelurunya menarget tepat bagian jantungku. Orang ini bukan orang biasa, pikirku hati-hati. Aku sedikit menaikkan kedua tanganku, mencari damai di situasi ini. Toh, memang bukan saatnya aku baku tembak di saat orang lain sedang berbelasungkawa.

"Anda boleh turunkan tangan Anda, Tuan William." Kata Mr.Christ sembari mengembalikan revolver ke saku bajunya. Aku semakin penasaran dengan orang ini. "Saya mempunyai sebuah tawaran," katanya mengeluarkan sebuah kantong plastik berisikan pistol dengan silencer, pisau taktis, dan sebuah rompi antipeluru. "Dan Anda akan menerimanya." Aku melihat dengan baik ujung kantong plastik itu. Ada bercak darah lama yang sepertinya dicuci bersih.

"Okay," kataku menghilangkan rasa tegangku sepenuhnya dan mengambil napas panjang. "Saya akan mendengarkan." Kataku mendekat padanya.

Mr. Christ tersenyum. Hujan deras dan kilat yang menyambar berkali-kali ini menambah misteri sosok ini. Sosok yang akan mendikte hidupku nantinya. Sosok yang akan mengontrol hidupku sepenuhnya.

avataravatar
Next chapter