1 PROLOG

Dunia ini panggung sandiwara. Begitu frasa yang diutarakan oleh Jaques, sesosok karakter dalam karya William Shakespeare yang berjudul 'As You Like It'.

Lelaki berkaos hitam yang masih berusia belia itu menghela samar ketika pernyataan tadi melintas di dalam kepalanya yang tengah berkecamuk. Jika ditinjau melalu perspektif pribadinya, pernyataan itu benar adanya bila mengingat segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya sendiri.

Terkadang, hidup memaksa seseorang untuk berada pada posisi yang sama sekali tak diinginkan. Layaknya sebuah seni peran, ada skenario tertulis pasti yang terkadang tak mampu diubah oleh para lakon. Semuanya terikat dengan masing-masing peran. Mereka disanjung bila berperan sebagai protagonis alias disetujui banyak pihak. Namun, bila sial, para lakon diposisikan sebagai peran antagonis yang akan dikecam berbagai pihak.

Sekali lagi, semua itu sekadar perspektifnya belaka. Begitu juga dengan protagonis dan antagonis—kerap dikaitkan dengan baik atau jahat.

Namun, saat ini, situasi rumit disertai dengan angin dingin hutan membuat otak lelaki itu serasa membeku, sehingga akalnya tak mampu menafsirkan dengan pasti peran apa yang sesungguhnya ia lakoni .Entah itu baik ataupun buruk, prioritasnya sekarang adalah sosok bayi yang tengah mereka bawa ke dalam belantara ini. Beserta tiga orang dewasa lain yang mengikuti derap langkahnya melewati jalanan setapak, pandangannya sesekali mengawasi gadis yang tengah berusaha menjaga keseimbangan agar makhluk murni itu tidak terjatuh dari gendongannya.

Ketika keempatnya telah tiba di pinggiran danau, lelaki tadi langsung mengeluarkan segala perlengkapan dari tas merah yang telah disediakan.

"Cepat, cepat! Enggak ada waktu lagi. Bisa-bisa nanti kita ketangkap sama mereka!" Dia berseru dengan nafas terengah-engah dan segera mendorong sebuah sampan kecil itu ke permukaan air danau.

"Aduh, nak, bapak gak sanggup. Lemes banget." Pria yang berusia hampir setengah abad itu menunduk lemas. Sedangkan temannya satu lagi —yang sedikit lebih muda– memandangnya malas, kemudian sibuk sendiri dengan kegiatannya di pinggiran danau. Ia menyoroti sinar senternya ke permukaan air, seperti menunggu kedatangan sesuatu.

"Bobonya anteng gini. Kamu tadi kasih obat tidurnya gak kelebihan, kan?" Ujar sang gadis dengan prihatin. Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, diletakan makhluk mungil tadi ke dalam sampan.

Tentu saja lelaki itu langsung menyangkal pertanyaannya. "Ya enggak lah. Tenang aja, aman lah itu."

Setelah berbincang ringan, atensi mereka bertiga berpindah fokus ke arah sorotan cahaya senter milik teman sepantarannya Bapak tadi. Ada sebuah pergerakan di permukaan air dan terlihat semakin mendekat menuju mereka.

Oh, ternyata, sosok buaya putih yang telah ditunggu-tunggu kini datang juga. Perlahan, pria itu berlutut menghadap hewan ini. Kepalanya perlahan menyembul ke permukaan air yang memantulkan bayangan rembulan. Mereka memperhatikan dengan seksama. Selama beberapa saat terdengar pria itu membisikkan sesuatu –yang tak mereka pahami– kepada sosok dihadapannya. Seperti berkomunikasi.

Lantas, dia melemparkan pandangan ke arah tiga orang tersebut. Dapat dilihatnya bahwa sirat wajah mereka tampak sedikit ragu. Namun, pria itu mengangguk lembut, berusaha meyakinkan agar mereka bisa memberikan seluruh kepercayaan terhadap hewan ini.

Setelah setuju, pria tadi beranjak dari tempatnya dan hewan itu pun juga berenang ke arah sampan.

Untuk terakhir kalinya, si lelaki berkaos hitam mendorong perlahan benda yang ditumpangi bayi itu, agar mempermudah buaya yang mendorong sampan dengan moncongnya.

Semakin lama, keduanya —bayi dan buaya putih— tampak semakin jauh dan mengecil dari pandangan mata mereka. Keempatnya memandang kepergian mereka dengan perasaan nelangsa. Ada rasa sesak menggelora di ruang dada mereka. Bahkan air mata gadis itu menetes.

Si Bapak ikut terisak, tubuhnya seketika lunglai di atas tanah. Dipijitnya perlahan kedua matanya yang telah berkaca-kaca. Batinnya meratap. Bukan hanya meratapi soal perpisahan untuk waktu yang lama, melainkan juga tentang nasib kehidupan bayi itu.

"Dia masih sangat kecil, tapi harus mengalami semua ini. Belum lagi kita gak tau gimana yang dia jalani nanti sekejam apa..." Bibirnya gemetar. Gadis muda di sebelahnya itu pun ikut terisak. "Lagian kenapa sih, ngirimnya harus pakai cara kayak gini segala? Kenapa gak langsung kita antar saja ke sana?" sambungnya lagi.

Mendengar penuturan Bapak itu, kakinya langsung ditendang oleh temannya sendiri dan dihardik habis-habisan. "Kau gila? Mau cari mati? Atau kau mau bayi itu dan kita semua dalam bahaya terus mati konyol, hah?!"

Mendengar ucapan temannya, ia hanya bisa pasrah dan semakin terisak parah. Tentu bukan hanya dia seorang yang merasakan sedih disini. Namun, tentu dia lebih terbawa perasaan karena di masa lalu, Bapak itu pernah kehilangan sosok anak.

"Ingat, kita enggak boleh melanggar perintah Datuk. Jangan merusak strategi yang udah dirancang sedemikian rupa," kata lelaki berkaos hitam itu yang kembali angkat bicara. "Oke. Ini saatnya."

Perlahan, lelaki itu mengangkat senjata api yang dipegangnya, kemudian mengarahkannya sejurus pada sebuah titik objek yang telah ditujunya. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembusnya dengan berat.

"Sampai jumpa lagi, little lion," gumamnya samar.

Dia meneguk ludahnya, kemudian menarik pelatuk senjata itu sebanyak tiga kali. Suara tembakan menggema seisi hutan pun membuat hewan-hewan merasa ketakutan. Bahkan, dapat dilihatnya burung hantu yang sedari tadi bertengger di dahan, kini malah terbang menjauh dengan bersuara khas diiringi dengan pekikan hewan lainnya.

Misi di malam ini hampir selesai. Tanpa menunggu waktu lagi, setelah menghabiskan jejak tanpa sisa, keempat orang tadi bergegas meninggalkan belantara ini atau mereka tertangkap basah oleh komplotan itu dan berakhir naas.

Untuk terakhir kalinya, lelaki berkaos hitam itu menoleh kembali buat memastikan perahu tadi sudah tak terlihat lagi di matanya. Dia pun tersenyum lega. Ada begitu banyak kalimat yang ingin disampaikan namun semuanya terbelenggu. Kalimat-kalimat itu hanya mampu diucapkan sebatas dalam benaknya. Harus diakui pula, menahan rindu untuk bertahun-tahun nanti rasanya begitu sulit. Mau tidak mau harus bersabar menunggu hingga suatu hari nanti, sebuah tembok penghalang diantara mereka telah roboh.

Di awal permulaan ini, masih ada banyak hal lagi yang harus dituntaskan. Semuanya berharap untuk malam yang panjang ini tak berujung sia-sia. Selebihnya, mereka serahkan kepada Sang Pemilik Takdir.

avataravatar
Next chapter