webnovel

Luna, si gadis kecil (1)

"Brengsek, keluar dari kamar Mama!" Teriakan seorang pemuda mengagetkanku yang baru duduk di sofa kuning. Netraku membulat melihat pria yang menuruni tangga diseret pemuda tadi. Dia tidak berdaya, disusul suara tangis seorang bocah tepat di belakang seorang wanita.

"Sandi, tenang Nak!" Kedua telapak tangan menghadap ke arah kedua laki-laki. Sementara bocah kecil terus menangis, langkahku langsung menuju anak perempuan lalu menggendong serta menenangkan. Tangannya erat melingkar di leher, diiringi tangis yang sedikit mereda.

Aku hanya memandang ketiga orang dewasa. Pikiranku cuma satu saat ini, bocah perempuan ini harus ditenangkan terlebih dahulu. Tahu apa dia persoalan orang-orang di sekitarnya, setelah berpamitan aku membawanya ke sebuah taman. "Nama kamu siapa?" tanyaku perlahan. "Kamu yang dipenitipan tadi?" Rambut hitam lurus kubelai, wajah bulatnya menoleh, wajah milik ibunya, kupikir karena memang mirip dengan kepala editor.

Mata gadis cilik ini masih berlinang air, kepalanya menyender pada pelukan, dan dia melanjutkan tangis yang terjeda. Semakin tenggelam, dia meluapkan dalam dekapan diri ini. Tanganku mengusap rambut, hanya itu yang bisa kulakukan, memeluknya.

Dua anak perempuan menyusul kami, mereka memanggil nama, "Luunnaaaa!!!". Di belakangnya ada pemuda yang disebut Sandi oleh kepala editor tadi.

"Maafin kakak, kita ke dalam," bujuk pemuda itu, dia mencoba meraih tangan Luna. Gadis imut itu hanya menatap kami satu persatu, hingga tangan kecilnya meraih pergelanganku, dan berbisik, "Gendong." Dengan senang hati aku memenuhi permintaannya. Kami kembali ke ruang tamu, di dalam sudah terlihat kepala editor sedang mengobati lebam di bibir Natha.

"Luna." Natha ingin mendekat pada anak perempuan tapi dia malah bersembunyi dalam pelukanku, tanpa mau melepaskan. "Maafin Papa, kita ke kamar, yuk!" rayu sang papa, tetap saja gadis kecil ini hanya mau dalam dekapan. Wajahnya makin hilang dalam dada.

Sementara tangan dua bocah perempuan yang sepertinya kembar, mereka mirip satu sama lain, menarik ujung kain kemeja yang kukenakan hingga kepala ini menoleh ke bawah, "Ada apa?"

"Ayo, ke kamar!" Dengan satu tarikan pada kemeja, aku mengikuti dua pasang kaki kecil menuju sebuah ruangan dekat tangga. Pintu dibanting salah satu dari mereka, sebuah ekspresi seorang anak kecil yang membuatku mengusap dada. "Kamu Miss Aruna, kan? Kita belajar di sini aja. Luna biar tidur," cerocos anak perempuan yang berbaju pink.

Dalam hitungan detik, mereka sudah siap belajar dengan buku sains dan social di meja masing-masing. "Aku Dita dia Dela," kata salah satu berbaju kuning. Kepalaku miring sedikit ke kanan, "Kamu bingung, kok kepalanya sampai miring. Luna cepetan tidur di kasur." Seketika gadis berambut panjang itu memeluk guling dan menatap kami. "Ayo, kami mau main setelah ini," ucap Dela yang disetujui anggukan kepala kembarannya.

"Oiya, kamu kenal dengan Natha?" tanya Dita sambil membuka buku sains. Dia lalu menunggu jawaban dengan menatap tajam ke arahku, ya ampun mirip banget ibunya. "Kami dan Luna satu ibu, sama bang Sandi satu bapak. Ngerti nggak?" Untuk usia kelas tiga, tekanan pada setiap kalimat terdengar dewasa sebelum waktunya.

"Iya," jawabku. "Mari kita belajar!"

Ketika hendak mendekat pada mereka, terdengar suara teriakan Sandi dari luar, "Semua karena lu, Tha. Dasar orang tidak tahu terima kasih! Lu penyebab papa lumpuh, adik-adik gue jadi nggak punya ibu, dan Luna hah lu bisa apa membesarkan dia dengan cara kotor lu itu."

"Nggak usah didengerin, udah biasa abang maki-maki Natha," ucap Dita sambil menulis jawaban di buku tulis, "Semenjak papa sakit, Natha jadi nggak tahu diri." Penjelasan singkat gadis berkucir dua di depanku menghentak dada, ada kebencian yang tertanam tapi tidak bisa terlampiaskan. "Lun, ntar lu bersihin kamar ya!" perintah Dela yang disambut anggukan oleh Luna.

Ya Tuhan, bocah lima tahun itu mungkin menjadi sasaran kekesalan kedua kakaknya, walau satu ibu tapi jelas dari cara penyampaian bocah kembar itu ingin membalas dendam.

"Ntar kamu ambil minum sendiri, Bu Inah sedang merawat papa di belakang," kata Dela, aku mengangguk sambil tersenyum. Kulihat Luna yang menghisap ibu jari tanpa henti, apa dia ketakutan? Karena Fani sering melakukan hal itu bila takut, tapi mungkin juga kebiasaan dia.

Ketokan pintu tidak dihiraukan oleh kedua bocah yang asyik dengan buku mereka, "Sebentar Miss Aruna lihat dulu." Tubuhku beranjak dari karpet bergambar princess Cinderella. Tampak dari luar kepala editor tersenyum tapi aku tahu cemas yang terlihat dari pancaran kedua mata.

"Run, kamu bisa menginap nanti, saya ada keperluan bersama Bapak. Anak-anak tidak ada yang menunggu. Bu Inah pulang kalau malam sementara Sandi ada tugas ke luar," pinta Bu kepala editor.

"Tapi kedua anak saya di kos, tadi ikut Widya pulang. Sampai malam, Bu?" jelasku sambil menutup pintu.

"Iya sampai malam, karena dokternya terkenal dan antrean pasti banyak. Habis liburan," jelas kepala editor.

"Biar gue yang antar." Natha membuka mulut dan memotong perkataan tante eh pacarnya.

"Lu yakin, Tha?" Mungkin tidak terima, atau memang hanya ingin memastikan.

"Heem." Pria berkacamata itu kemudian pergi ke arah belakang.

"Ya, nanti kamu diantar sama Natha, lagian kalian sudah saling kenal, kan?" Lagi-lagi goresan di bibir merah merona itu terlalu kentara, dipaksakan ada.

Santai dong ibu kepala editor, aku tidak akan mencampuri urusan kalian yang bagaikan cerita sinetron dalam TV, mungkin kalau difilimkan akan meraih rating tinggi. Pintu terbuka, Luna merengek minta minum. Kami berdua menuju dapur. Lengkungan manis mulai terbit di bibir mungil bocah itu, dan kami mendapati papanya duduk di kursi.

"Luna sayang." Tangan papanya ingin menggapai badan anak perempuan itu tapi dia mundur tepat di belakangku. "Maafin, Papa, Nak. Nanti ikut ngantar Tante Aruna, naik mobil." Rayuan terakhir menjadi senjata ampuh untuk membuat satu anggukan dari Luna. Si papa yang sedari tadi melancarkan bujukan bisa tersenyum.

"Tante, ibunya Fani dan Jiyo, kan?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Dia minta dibuatkan susu cokelat, saat mulutnya mau mencecap dari bibir gelas, Dita datang, "Lun, bisa nggak sih nggak gangguin Miss Aruna? Kita mau belajar, lu minum susu kami?" bentak salah satu kakak kembarnya.

"Ng ... Ng ... Nggak, ini susu dari Papa." Sayang penjelasan dari gadis kecil itu tidak diterima. Dita mengambil gelas yang berisi cairan cokelat manis. Luna hanya bisa menahan bulir bening keluar, dia menahan sekuat tenaga, bibir atas bawah bergetar, serta bola mata cepat bergerak.

Aku di samping kanan bocah sementara papanya di samping kiri, "Dit, Om yang beliin." Penjelasan Natha bahkan diacuhkan oleh Dita, aku tahu mereka juga korban, tapi kalau Luna yang menjadi incaran kemarahan itu juga cara yang salah untuk mengungkapkan. Natha, kamu gila mengorbankan anak sendiri.

Dita berhenti sebentar, "Lu nggak pergi aja Nat, bawa sekalian Luna. Biar kami bahagia. Kami benci kalian." Aku menutup mulut dengan tangan kanan, seakan tidak percaya kalimat yang dilontarkan oleh bocah kelas tiga SD. Sebelum dia berlalu, "Miss Aruna, lesnya besok lagi ya. Kami capek."