1 Doa Sepertiga Malam

Berdoa dalam sepertiga malam, ketika semua makhluk dunia tertidur pulas. Namun, suara lantunan ayat-ayat suci mengema begitu syahdu.

Allah takkan pernah tidur, bahkan dia selalu menerbangkan ribuan doa-doa hingga ke langit ke tujuh.

"Astaghfirullahaladzim," suara tasbih yang mengema setiap malam-malamnya. Air mata mengalir hingga jatuh ke dalam sebuah sajadah. Doa penguat setiap hati manusia.

Setiap sujudnya selalu merapal sebuah nama yang dia idamkan selama ini. Ia hanya ingin mendapatkan seorang wanita berhati bak bidadari surga tanpa sebuah sayap.

Suasana cukup dalam kesunyian malam. Hanya hembusan angin yang begitu menenangkan sebuah hati.

Ribuan-ribuan doa melayang di udara, ia tidak akan menyerah dalam sebuah kehidupan yang cukup rumit seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Ia takkan pernah menyerah dengan sebuah kehidupannya.

--

Cahaya mentari pagi telah menyapa, sebuah kerinduan akan sosok keluarga. Terlempar di jalanan membuatnya tidak pernah mengenal kata lelah. Air matanya sudah lama mengering.

Waktu berjalan tanpa sebuah isyarat.

"Sungguh tidak berguna!"

Mengusap air mata berkali-kali, hidup di jalanan yang hampir membuat dirinya mempunyai pondasi batu bangunan.

Perasaan itu bak berkecamuk seperti awan yang mulai menghitam.Senja tidak lagi menyapanya, ia bahkan sudah lupa akan dirinya siapa terhempas dalam sebuah kehidupan yang membuatnya bak debu jalananan.

Plakkkk!

Tamparan melesat ke pipi kanannya, ia merasakan perutnya terbentur sudut meja.

"Tenanglah, kamu pasti kuat!!!"

Berulang kali perempuan berparas cantik menahan siksaan sewaktu ia tinggal di rumah yang berhias seperti istana, tapi seperti neraka.

Sebuah kontrakan kecil tempat tinggal perempuan itu, ia masih bersyukur, karena Allah masih memberikan tempat berteduh.

Hujan mulai datang, ia merasakan kebocoran dari atas. Ia pun terpaksa mengambil beberapa baskom untuk menampung air tetesan dari atas.

"KEJAM!"

"SUNGGUH KEJAM!"

"AKU HARUS BISA BANGKIT!"

Perempuan itu berusaha mengusap air matanya yang terlalu deras membasahi pipinya.

"Kenapa aku harus mendapatkan takdir cukup rumit?" tanya hati perempuan malang itu, ia berusaha menahan penderitaannya berulang kalinya.

Perempuan itu bernama Lara Sarasvati, nama yang membuatnya cukup dalam duka menyelimutinya.

"Kenapa takdir tidak berpihak kepadaku? Apa Allah memang sengaja membuatku dalam skenario ujian yang tiada habisnya?"

Lara pun sejenak duduk di atas kasur,ia merasakan kalau kehidupan selalu saja tidak berpihak terhadap dirinya.

Lara pun berpikir,"Seandainya aku masih punya ibu dan ayah, mungkin hidupku jauh lebih bahagia. Sebatang kara tanpa siapapun, kecuali Mita dan Erlan."

Lara pun segera memulai harinya, ia mulai melamar pekerjaan di sebuah kedai kopi. Lalu, ia pun menerima panggilan interview.

Lara mulai merubah penampilannya, ia pun menggunakan pakaian hem putih panjang dan rok hitam panjang. Ia membelinya di pasar.

"Setidaknya baju ini akan layak ku pakai, meskipun satu stel baju ini ku dapat dengan harga yang murah sekali. Cukup mengeluarkan uang tiga puluh ribu rupiah."

Lara mulai menguncir rambutnya seperti ekor kuda, lalu ia menggunakan hijab. Ia pun memoleskan make up natural di wajahnya.

"Semangat Lara! Cahyooo! Kamu pasti akan diterima kerja," ucap Lara berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Lara pun langsung melangkah keluar dari kontrakan sepetak.

----

Kehidupan bak Sultan, pria itu menggunakan satu stel pakaian dengan gaya maskulin. Matanya berwarna coklat.

"SINTA!!!"

Sekertaris itu langsung saja beranjak menemui direktur muda yang sikap otoriter sekali. Haslan memang pria yang terkenal dengan kegigihannya, ia bahkan memiliki sikap disiplin.

Sekertaris itu terlihat memilin-milin ujung roknya. Ia measakan kalau hatinya seperti naik wahana roller coster.

"Mampus dech!" keluh Sinta dalam hatinya. "Apa dia bakalan tanya proposal kerjasama dengan Cantik Magazine?" pikirnya dalam kepalanya.

"Laporan bulanan dan proposal aku mau cek sekarang," ujar Haslan.

"Sudah ku duga, kalau pasti menanyakan proposal dan laporan bulanan. OH OMG, aku harus apa?!" batin Sinta seakan menjerit. "Apa aku bilang,-"

Sinta pun tahu sikap dari Haslan, ia akan menggunakan berbagai cara.

TOK! TOK! TOK!

"Di mana sich kamu, sayang?!"

Kara terlihat kesal di balik pintu, karena Haslan sengaja tidak ingin bertemu dengan Kara. Perempuan manja dan terlalu posesif.

"Bos, mau ke mana?"

"Tolong kamu handle Kara, karena saya sudah malas dengan perempuan itu."

Sinta sebenarnya malas, jika berhubungan dengan nenek sihir yang berstatus pacar bosnya.

"Masyaallah, dosa apa yang merasukiku," dumel Sinta, ia merasa juga ogah sebenarnya menemui Kara, pasti dia akan tanya hingga bagian-bagian terkecil.

"Anjir, bos. Sumpah aku nggak sanggup menemuinya."

Sinta menoleh, tapi ia tidak melihat bosnya, ia sudah menduga kalau bosnya menggunakan lift VIP yang berada di balik sebuah ruangan tersembunyi.

Sinta pun tangannya mengapai daur pintu ruangan Haslan. Ia merasa kalau mau bertemu dengan nenek sihir super bawel bikin sakit kepala hingga ubun-ubun.

"Sumpah aku paling nggak suka bagian ini, pasti nggak enak kena semprot pacar bos. Sabar, Sinta kamu harus bayangin yang indah-indah saja," batin Sinta.

Cklek!

Pintu terbuka. Sinta melihat Kara dengan muka jutek sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Mana bosmu?!" bentak Kara.

"Aduh, biasa aja mbak kalau nanya nggak usah ngebentak juga!" protes Sinta dengan kesal.

"Eh, kamu di sini cuman bawahan aja, mau aku bicara seperti ini seperti itu yang jelas aku akan segera menjadi nyonya Haslan. Jadi, suka-suka aku."

Sinta sangat gemas dengan Kara, ia ingin kremes-kremes muka perempuan itu menjadi ayam kremes. Ia kesal dengan bosnya yang malahan kabur lewat jalan pintas.

"MINGGIR!"

Kara pun mendorong Sinta hingga tersungkur di lantai depan ruangan bosnya.

"Wooooeee! sialan kamu! mentang-mentang pacar bos! awas kamu!" omel Sinta, ia merasa kesakitan, karena pantatnya telah mencium lantai ruangan. Rasanya sakit. "Sumpah ini perempuan memang pengen aku kulitin!"

Sinta berusaha berdiri, ia merasakan pantatnya sakit sekali.

"Ishhhh! Sialan! Ngeselin!" dengus kesal Sinta, ia pun berjalan di tempat meja kerjanya, lalu dia duduk dengan kesakitan. "Muka malaikat, tapi hati memang iblis tuch perempuan."

Sinta merasa masih kesal meradang, lalu ia pun duduk di meja kerjanya. Ia merasa tidak mood buat ngerjain proposal. Ia hanya ingin pulang cepat saja, karena Kara sudah merusak moodnya hari ini.

"Ah, bodoh aku mau pulang ajalah, daripada berjamur. Lagian bos pasti nggak bakalan balik!"

*

Haslan keluar dari lift VIP, ia sudah malas menghadapi makhluk bernama Kara. Ia selalu menghantui bak setan.

"Akhirnya, bisa bebas dari tuch makhluk!" kekeh kecil Haslan.

Haslan melangkah keluar dari kantornya menuju ke parkiran. Ia merasa bisa napas lega, setelah aksi kaburnya.

"Ehem."

Haslan menoleh ke belakang.

"Sialan," umpat Haslan mengumam.

"Oh, gitu mau kabur dariku? Haslan Santoso, kamu nggak akan bisa kabur dari Kara Wulansari yang akan menjadi belahan hidupmu," cengir Kara. "Kalau enggak aku beberkan ke media soal,-"

"Tutup mulutmu Kara," potong Haslan, lalu ia melempar masuk Kara ke dalam mobilnya.

"Yes, ternyata punya kartumu bikin aku beruntung," batin Kara yang menghela napas dalam mobil Haslan yang super mewah.

"Ingat, kamu adalah calon suamiku!"

*

avataravatar
Next chapter