webnovel

Arla (Awal Akhir Hidup Sekolahku)

Alurku yang aku rangkai dengan takdirku, perlahan apapun yang berhasil tetap menjadi akhir, dan dari semua itu aku mengerti. Mau apapun Akhirnya, akhir adalah sesuatu yang membuat hidup ini berharga.

Dandi_Terbang05 · Fantasy
Not enough ratings
8 Chs

Buat Klub Sastra! (1)

Jam dinding masih menunjukkan pukul 5 pagi, aku ini orang yang malas bahkan untuk mandi jam segini. Air dingin dan hawa dingin dikamar mandi yang membuat tubuhku menggigil, membayangkannya saja membuatku serasa tak pernah ingin mandi lagi.

Setelah aku set timer satu jam di HP ku, aku langsung terlelap tidur jatuh kedalam hawa hangat yang entah kenapa aku rasakan dari hangatnya udara yang masuk dari jendela yang kubuka sedikit untuk mendapatkan udara segar pagi yang hangat dan dingin.

**

Setelah sampai tepat didepan sekolah yang sangat besar ini membuatku lagi-lagi ingin kembali kerumah, memang sekolah yang bagus dari hampir semua segi.

Sekolah ini langsung sepi dari pedagang-pedagang yang berjualan kemarin, sepertinya sekolah melarang berjualan disekitar sekolah. Aku tidak terlalu memperhatikan sepertinya, tinggi pagar yang dipasang disekolah ini sekitar 10 meter, tidak mungkin untuk keluar dari pagar, bahkan melompat pun hampir mustahil untuk murid SMA dengan tinggi rata-rata 170 cm.

Aku lupa Sarapan, aku pergi kekantin setelah menaruh Tas ku dikelas, dengan kelas yang masih sepi dan hanya ada 3 orang yang ada dikelas saat itu, Naras laki-laki dengan suara imut dan wajah yang cantik tengah tidur dimejanya, sedangkan Yara yang sedang membaca buku setebal kamus dengan tatapan dingin diwajahnya.

Waktu berjalan cepat saat ini, saat bel masuk kelas jam pertama. Perbincangan dan pendekatan dikelas ini kadang aku perhatikan, mayoritas pembicaraan adalah tentang poin sekolah dan poin ranking. Jika kau berpikir sederhana dalam sistem sekolah yang berpusat pada poin ini kau perlahan akan sadar bahwa ini hanya jebakan sekolah dimana kau akan terus dipaksa mencapai hal yang diinginkan sekolah ini, seperti sapi perah disudut pandang mereka, jika banyak murid yang terus berusaha mencapai tingkatan pertama sekolah ini, tanpa perlu ada paksaan dari sekolah para murid akan berjuang demi diri mereka sendiri. Dengan begitu para murid akan mempunyai standar yang tinggi dan sekolah juga mempunyai reputasi yang baik atas murid-muridnya.

Aku sudah menyadari ini sejak pak Abu mengatakannya di aula bahwa tujuan kalian adalah kehidupan bukan kesuksesan. Kata-katanya sedikit samar, tapi jika dihubung-hubungkan tentang sistem sekolah kau akan dengan mudah menyadarinya. Yah yang terpenting aku ingin menikmati ketenangan hidup di SMA ini.

Lagi-lagi pak Abu masuk dengan baju yang sama seperti kemarin, berjalan dengan malas dan langsung duduk dimeja guru.

"Ya halo-halo, maaf sekali lagi, tapi hari ini silakan kalian belajar mandiri." Ucapanya yang setelah itu langsung tertidur.

Rata-rata murid terlihat senang, tapi separuhnya malah terlihat marah. Mungkin karena mereka ingin tahu lebih lanjut tentang poin sekolah yang membosankan ini menurutku. Apalagi setelah melihat wajah bizard dengan kacamata nya yang sangat terlihat marah tapi setelah itu diam dan perlahan ia membuka buku dan langsung belajar dengan sangat serius.

Yang aku lakukan hanya duduk dan merebahkan tubuhku ke meja setelah melihat Awan tertidur nyenyak didepanku dan Roy yang membaca buku kisah-kisah inspiratif disamping ku membuatku semakin mengantuk. Sesekali aku melihat kebelakang, Nadla yara nainun namanya, wanita ini juga terlihat bersemangat dan serius saat sedang belajar pelajaran yang harusnya hari ini dipelajari.

Aku tak terlalu memikirkan tentang nilai, jika terlalu fokus pada satu nilai pelajaran mungkin kau akan hancur dengan nilai terendah mu, tapi jika kau menyeimbangkan nilai mu di semua mata pelajaran mungkin kau akan mendapatkan rangking pertama dengan mudah. Bahkan peringkat rangking satu tak selalu ditentukan oleh nilai tapi banyak juga aspek yang  melengkapi. Tapi anehnya sesuatu yang menentukan rangking 1 sekolah itu belum ditentukan.

Bel istirahat berbunyi setelah itu dan akhirnya pun bel jam terakhir berbunyi. Pak Abu yang keluar dan masuk cuman tidur membawa kasur lantainya dan menyuruh kami belajar mandiri. Bel pulang berbunyi, tapi hari ini aku tidak akab pulang terlebih dahulu karna ingin gabung klub sastra.

Setelah berpisah dari Roy dan Awan, aku pergi kekantor menuju ruangan pak Abu. Tepat setelah sampai disana aku melihat Yara dan pak Abu yang saling berbincang.

"Maaf mengganggu pak." Ucapku datar.

"Oh ya ada apa?" Ucapa pak abu.

"Saya mau minta formulir masuk klub pak." Ucapku datar.

"Boleh, kau mau masuk klub apa?"

"Klub sastra pak."

Wajah pak Abu yang tiba-tiba tersenyum membuatku bertanya-tanya, kali ini apa yang dia rencanakan lagi.

"Sangat pas sekali ya. Tapi sayang sekarang klub sastra ditutup sejak tahun lalu, dan bahkan hanya kalian berdua yang akan mendaftar klub ini. Bagaimana? Apa kalian ingin tetap membuat klub ini?" Pak Abu yang sudah siap-siap dengan pulpen nya dihadapan formulir kami berdua.

"Tentu saja pak. Bahkan jika hanya saya sendiri anggotanya, saya tetap ingin klub ini ada."

Wahh perempuan ini sedikit agak berlebihan tentang klub sastra, tapi jika tekadnya sudah seperti ini tak bisa aku abaikan. Aku akan membantu sebisaku.

"Bagusss, bapak suka semangatmu itu. Tapi untuk minimal anggota klub itu 5 orang dan juga ruangan klub sudah ditinggalkan selama setahun. Bagaimana masih yakin?"

Pak Abu yang sepertinya masih ragu-ragu tentangku. Wajahku yang seperti tak ingin melakukan apapun sepertiku pasti diragukan, bahkan wanita yang bernama Yara ini terus menatapku.

"Yakin pak. Tolong bantu kami." Ucapa Yara semangat demi meyakinkan pak Abu.

"Ok, bapak bantu. Tapi bagaimana dengan temanmu yang satunya?"

Mereka berdua langsung menatapku tajam, situasi ini pernah aku rasakan dulu. Daripada aku tak punya kegiatan disekolah ini setelah pulang, lebih baik aku bergabung dengan klub yang punya harapan kecil ini.

"Saya juga pak, tolong bantu kami." Ucapku datar.

"Baiklah, bapak suka semangat anak-anak muda seperti kalian. Tapi untuk saat ini pak Abu belum bisa jadi guru pembimbing kalian sampai anggota klub nya mencapai lima orang. Bagaimana?"

Pak Abu yang bangun dari duduk terlentang nya dengan semangat setelah menyetujui pembuatan klub ini. Dan kala itu aku melihat senyumnya, senyum seorang perempuan berkacamata -4 setelah itu.

"Jadi tunggu dulu disini, bapak akan ambil ruangan kuncinya."

Setelah pak Abu keluar, kami berdua sesekali saling bertatap muka. Seraya menunggu pak Abu, aku berusaha ingin bersosialisasi dengannya. Tingkat pertama sosialisasi, yaitu individu dengan individu.

"Kau Arla kan?" Tanya Yara

Sebelum aku dia sudah memulainya. Jujur aku ini tidak terlalu bisa bersosialisasi dengan baik, dan untungnya dia mungkin tau aku ini tak bisa bersosialisasi.

"Iya, ada apa ya?"

"Enggak, hanya saja aku heran orang seperti mu ingin bergabung dengan klub sastra."

Jujur saja ucapannya sedikit menyakitkan bagiku. Orang berkacamata sepertiku dan wajah malas ini sepertinya tidak terlalu cocok diklub seni.

"Yah mungkin kau benar. Aku hanya menginginkan ketenangan diklub sastra ini, jadi jangan hiraukan aku." Ucapku datar.

"Aku tidak terlalu peduli denganmu, hanya saja aku minta tolong untuk membantuku dalam kegiatan klub."

Yara yang menatapku tajam ini, sepertinya tetap akan merasa kesepian jika hanya dia seorang yang melakukan kegiatan klub.

"Baik, untuk hal yang berkaitan tentang klub aku akan membantu sebisaku."

"Kalau begitu terimakasih, dan aku mohon kerjasamanya."

"Ya." ucapku datar.

Pak Abu pun datang dengan wajah kelelahan sambil memegang kunci ditangannya.

"I-ini, ini kuncinya. Bapak bagi dua bagi kalian, satu untuk yara sang ketua klub dan satu lagi untuk Arla sang wakil ketua."

"Terimakasih pak. Untuk letak ruangan klub nya dimana ya?" Tanya Yara.

"Di-digedung lama dilantai tiga, ruangan kelima dari kanan. Sepertinya ruangannya kotor, kalau bisa tolong dibersihkan. Bapak mau tidur dulu."

Pak Abu pun tergeletak tidur dikasur lantai disamping mejanya. Yara yang telah menerima kunci langsung keluar seraya mengajakku.

"Ayo." Ucapnya tak semangat.

"Ok."