1 [ ? ]

Tanganmu bergetar, dan kau mengamatinya dengan rasa penasaran selama beberapa menit, kau bertanya-tanya kenapa itu terjadi. Tangan kecilmu seakan-akan tersiksa dengan suatu perasaan yang kelabu, namun kau tidak mengerti perasaan apa itu. Mengamatinya dengan wajah bingung, pada akhirnya itu membuatmu bosan dan kau segera kehilangan minat. Kau bahkan tidak menemukan jawaban apapun dan usahamu berakhir sia-sia. Benar-benar usaha yang mengkhianati hasil.

Lalu apa? Apa kau kesal hanya karena itu?

Tidak, kau bahkan tidak tahu alasan kenapa kau harus kesal karena tidak mendapatkan apa yg kau inginkan.

Namun, otakmu masih terus bertanya-tanya.

Apa ini karena kau kelaparan? Karena kau kedinginan? Atau karena rasa sakit di sekujur tubuhmu? Apapun pertanyaannya, akhirnya benar-benar tak berubah. Kau masih bingung, kau masih tidak tahu jawabannya, rasanya ini seperti teka-teki rumit yang tak memiliki petunjuk sedikitpun, atau memang itulah kenyataannya.

Perutmu tiba-tiba mengeluarkan suara aneh, kulitmu terasa seperti es yang tak akan mencair, dan sekujur tubuhmu terasa seperti tertusuk jarum yang benar-benar menyakitkan. Kau segera pergi ke tempat yang selalu memberikanmu makanan enak, tempat dimana peti harta karun berada. Kaki kecilmu segera berlari dengan langkah yang lemah dan terlihat pincang. Udara dingin yang menyelimuti membuat tubuh kecilmu terasa seakan-akan bisa tumbang begitu saja dan membusuk. Tapi kau berusaha untuk menahannya dengan sekuat tenaga, ini bukan saatnya untuk menyerah.

Baju tipismu berkibar di pagi hari yang membekukan. Tak ada kehangatan yang bisa kau rasakan di sana, bahkan di dalam dirimu sendiri. Kau selalu berjalan di dunia ini dengan dua kaki kecil yang hampir mencapai batasnya. Mata hitammu menerawang jauh, hanya ada tatapan kosong yang terlihat tak akan bisa diisi apapun, tak pernah ada sentuhan lembut yang menggapaimu, tak ada kalimat manis yang pernah kau terima dan tak ada pelukan hangat yang melindungimu. Kau hanyalah keberadaan yang dipenuhi kehampaan abadi.

Dan kau menerima itu sepenuhnya tanpa bisa mengubah apapun, kau tahu batasanmu dan apa yang bisa kau lakukan. Cangkir rusak yang tak bisa diperbaiki, hanya akhir yang menyedihkan yang akan kau terima, sebagai rongsokan dan menghilang begitu saja. Tidak akan ada yang peduli bahkan jika kau membusuk di tengah jalan perkotaan dan menjadi tulang belulang. Semua orang hanya akan melewatimu dan tertawa gembira, iya, itulah yang akan menjadi akhirmu.

Lalu, untuk apa kau hidup?

"Aku tidak tahu."

Kenapa kau tidak mencoba mengakhiri hidupmu?

"Aku … tidak pernah memikirkannya."

Kenapa kau tidak mencobanya sekarang?

"Tapi, aku lapar … aku butuh makanan sekarang."

Apa itu penting sekarang?

"Perutku benar-benar sakit! Aku perlu makan."

Apa kau bahagia, jika perutmu kenyang?

"Aku tidak tahu. Apa itu "bahagia" dan bagaimana rasanya, aku tidak tahu. Semua orang terlihat tersenyum lebar saat berkata mereka bahagia. Aku benar-benar ingin tahu artinya, bagaimana rasanya perasaan itu."

Itu … benar-benar menyedihkan.

***

Kau berjalan-jalan di sudut kota yang kumuh, mencari-cari dan berharap akan menemukan makanan. Dan tak beberapa lama, akhirnya kau sampai ke tempat peti harta karun berada, dan segera membuat matamu bersinar cerah. Dengan semangat, kau mengais-ngais tumpukan sampah, berharap makanan yang akan membuat perutmu diam. Mencakar-cakar kantong plastik sampah yang merepotkan, walau baju kotormu terlihat sudah menyerah untuk melindungimu dari udara dingin yang menyakitkan. 

Ah, itu pasti sangat berat bagi tubuh kecilmu. Tapi apa yang bisa kau lakukan soal itu? Tidak ada! Terimalah dan teruslah mencari makanan!

Dan lihatlah dirimu. Sepotong pacahan kaca memantulkan wajah kotormu yang benar-benar tertutup debu dan kotoran. Itu bukan wajah anak kecil yang diharapkan siapapun dan kau sadar akan hal itu, tapi kau memilih untuk tidak peduli. Iya, tetaplah seperti itu, lagipula siapa yang akan peduli? Siapa yang akan tertarik melihat wujud buruk rupa sepertimu? Tidak perlu kujawab, kau sudah tahu jawabannya.

Kau terlihat masih mengais-ngais tumpukan sampah yang berbau busuk. Dan kali ini, sepertinya usahamu tak mengkhianati hasil, kau tersenyum lebar, matamu berkilau melihat sepotong roti yang masih layak untuk dimakan. Kau menggenggam roti itu dengan kuat, lalu melahapnya seperti kucing liar yang benar-benar akan segera mati. Bukankah itu bagus? Kau akhirnya menemukan makanan dan membuat perutmu kenyang!

Lalu tiba-tiba ... tetesan air keluar dari matamu, kau terkejut dan segera mengamati tetesan air mata yang terjatuh ke tanah.

Kenapa kau menangis? Apa karena kau sedih? Bahagia? Ketakutan? 

Kau tak bisa menghentikan tangisan itu, apapun usahamu untuk menghentikannya, air matamu tetap tak mau berhenti. Kau bingung, benar-benar tidak mengerti. Kau terus-menerus bertanya,

Kenapa, kenapa dan kenapa.

Jantungmu berdegup kencang, napasmu tersengal-sengal, matamu memerah dan … tubuhmu bergetar dengan kuat hingga kau kehilangan selera pada roti yang mengerikan itu. Lagi-lagi otakmu terbebani dengan pertanyaan yang tak punya jawaban, dan kau menggaruk-garuk rambut kusutmu dengan liar, apa kau sedang marah? Tidak, kau tidak mungkin tahu jawabannya. Tangisanmu, tubuhmu yang bergetar dan jantungmu yang berdegup kencang, apa artinya itu bagimu, kau tidak akan mengerti. Perasaan adalah hal rumit yang selalu membuatmu mual dan menggerogoti jiwamu yang miskin.

Kau segera melempar sisa roti ke tumpukan sampah, lalu segera berlari kencang, kau terus berlari tanpa peduli rasa sakit pada kaki yang tak beralas itu. Dadamu terasa sesak, dan kau terus menangis tanpa tahu apapun. 

Kenapa kau melarikan diri? 

"Aku tidak tahu!"

Kenapa kau membuang makananmu yang berharga? 

"Hentikan!"

Apa kau mulai muak dengan hidupmu?

"Berisik!"

Kenapa kau mengatakannya sekeras itu? Kau terlihat seperti orang gila, kau tahu?

"...."

Sakit, itu benar-benar menyakitkan. Kau ingin berteriak tapi tak ada suara yang keluar, lalu apa yang bisa kau lakukan? Kau tidak mengerti apapun, semuanya menjadi tanda tanya, kau berpikir tentang apa kau segitu bodohnya untuk mengerti dirimu sendiri.

Lalu kau terjatuh. Kepalamu mengeluarkan darah hangat, dan kau menggenggam tanah kotor dengan tangan kecilmu yang penuh luka. Sungguh malang, kau bertanya-tanya kenapa kau dilahirkan, kenapa kau berbeda dari orang lain, kau mulai mempertanyakan segalanya hingga otakmu terasa ingin meledak dan mengeluarkan isinya yang menjijikkan. 

Tapi, itu adalah akhir yang buruk jika kau terus terdiam di tanah yang kotor itu sampai hari kematianmu tiba.

Kau pun segera bangkit, kerumunan orang yang melihatmu dan segera mengalihkan tatapannya benar-benar menunjukkan ekspresi jijik ke arahmu, dan kau paham kenapa mereka melihatmu seperti itu. Kau kembali berjalan dengan langkah lemah, kakimu seperti akan patah jika kau terjatuh lagi, jadi kau mulai berhati-hati dengan langkahmu. Hingga kau menemukan sebuah tempat yang benar-benar menarik perhatianmu.

Itu benar-benar jembatan yang indah bukan? Sungai di bawahnya seakan menarikmu untuk terjatuh ke pelukannya yang hangat. Kau mengamati sungai itu dengan ekspresi polosmu, pantulan cahaya matahari membuat permukan sungai begitu berkilau dan menghipnosis. Hatimu seakan terasa ringan dan beban pikiranmu seperti mengalir menjauh dan tenggelam sepenuhnya.

'Inilah jawabannya.'

Yaa, kau menyadarinya, satu-satunya jalan agar kau bisa terbebas dari penderitaan dan kekosongan ini. Wajahmu terlihat begitu berseri-seri, apa kau merasa bahagia sekarang? Walau kau masih tidak mengerti, tapi kau merasa jika inilah kebahagiaan yang selama ini orang lain katakan. Kau merasa itulah jawaban dari perasaan yang tidak pernah kau tahu apa artinya.

Kau akhirnya bisa melihat dirimu sebagai manusia lagi. Sensasi nyaman yang menghanyutkan itu benar-benar rasa sepi yang damai. Orang lain selalu melihatmu dengan pandangan jijik, menertawakanmu dan memanggilmu sebagai sampah, monster dan makhluk paling menyedihkan di dunia ini. Tapi hatimu seakan tak berat lagi mengingat hinaan itu, kau merasa jika itu tidak penting lagi sekarang, kau tak perlu memikirkan apapun sekarang dan hanya ingin melepaskan segalanya.

Kau berjalan mendekat, satu ... dua ... tiga, yaa, selangkah lagi dan kau akan segera terbebas. 

Terjatuhlah.

Tenggelam lah.

Bebaskan dirimu.

Bisikan itu seperti mantra penyelamatmu dan lagu merdu yang memabukkan, air yang melumatmu hingga ke dasarnya mengukir senyuman tulus yang tak pernah ada sebelumnya. Kau menyatu dengannya dan tenggelam di dalamnya, kau menutup matamu dengan tenang karena kau tidak perlu membukanya lagi. Tak ada lagi yang perlu dilihat dari dunia busuk ini, tak ada lagi rasa lapar yang menyakitkan, dan tak ada lagi rasa sakit karena pukulan, tendangan dan lemparan batu tajam ke tubuhmu yang rapuh.

Kau tak perlu menderita lagi. 

Kau hanya perlu melepasnya dan tertidur. Karena ....

Karena itu adalah jawabannya.

Apa kau bahagia sekarang?

Kau tersenyum lebar. "Iya, aku … bahagia."

•‿•

avataravatar
Next chapter