webnovel

Cengeng

“Bener, tuan?” Dari lemas, Rojab jadi bersemangat lagi.

“Bener atuh.”

“Bonusnya apa?”

“Saya punya banyak uang-uang baru tuh. Baru dapet dari bank. Saya nanti kasih uangnya ke kamu uang baru semua.”

Glk, Rojab mendegut ludah. Bonusnya itu? Uang lembaran baru?

“Rojab, maaf kalo saya sempat marah sama kamuh. Tapi kamu tau hati saya teh baik. Mangkanya tadi saya bilang begitu kamu udah pulang, kamu nanti saya kasih bonus begitu kerjaan saya selesai. Kamu teh udah liat kan saya lagi sibuk kerja? Ngitungin dan susun duit kayak gini bikin lieur. Ngebingungin, tau? Ini udah hampir dua jam saya nyusun begini.”

“Pak Satya memang orangnya rajin. Cermat nyusunnya,” Rojab berdecak kagum ngelihat tumpukan uang yang tersusun rapih. Berlagak memuji dengan tulus, Rojab sebetulnya agak ‘eneg’ ngelihat kegilaan orang itu akan uang.

“Bagi sayah uang itu lebih harum dari parfum mana pun. Mangkanya saya selalu jaga hati-hati. Tiap uang kan ada nomor seri? Nah, saking senangnya saya sama uang, saya urut nomor serinya dari yang kecil ke yang besar. Itu yang bikin saya repot.”

“Perlu dibantu?”

“Nggak, nggak, nggak. Nggak usah.” Pak Satya menjawab cepat.

“Ya udah.”

Pak Satya duduk lagi di bangkunya. “Rojab, saya manggil kamuh sebetulnya untuk nanya. Itu akuarium kura-kura udah dibersihin?”

Akuarium yang dimaksud Pak Satya adalah akuarium ukuran besar berisi empat ekor kura-kura ukuran besar. Ada dua jenis yang beliau punya dimana akuarium lain diisi dua ekor ikan lohan.

“Udah. Udah dibersihin, saya pindahin kura-kuranya.”

“Bagus. Kamu kerja teh kudu kayak gitu.” Ia terhenti sejenak dan berpikir.”Eh, itu dipindah kemana kura-kuranya?”

“Saya cemplungin ke akuarium ikan lohan.”

“Apaaaa???!!” Pak Satya panik, melotot, dan khawatir. Ia berlari dan siap menuruni anak tangga ke lantai dua dimana akuariumnya berada. Tapi ia tidak jadi meneruskan karena teringat meja penuh berisi uangnya. Ia naik lagi ke atas demi menyelamatkan lagi uangnya. Secara seketika dan sekaligus hamparan uang di meja ia masukkan semua ke dalam sebuah dus besar yang ada di bawah meja.

Bruk! Pekerjaan mennyusun dan merapihkan yang dibuat Pak Satya jadi sia-sia seketika.

“Kamu ikutin saya ke sini, buruan!”

Ia menyuruh Rojab berjalan di depan ketika keduanya berlari menuruni anak tangga.

“Kamu koq bisa taruh kura-kura dengan lohan di akuarium yang sama?!”

“Kura-kura kan lelet, tuan.”

“Bego ah. Kura-kura itu, biarpun bergerak lelet kayak kamuh, tapi kalo di air gerakannya cepet. Dan dia….. arrrggghhh!”

Pak Satya mendadak mengaduh kesakitan ketika kakinya kepentok besi pegangan tangga. Rojab yang mau menolong malah ditampik.

“Kamu lihatin ikan lohan saya aja!” teriaknya. Pak Satya nggak bisa lagi melanjutkan turun karena sakit yang ngaujubilah dan karena itu dia minta Rojab aja yang turun.

Rojab memang belum tahu bahwa kura-kura itu, biarpun memang bergerak lambat, tapi mereka bisa jadi predator dan bergerak sangat cepat di dalam air ketika memburu ikan. Dengan jumlah empat ekor kura-kura dan dua ekor ikan lohan sepertinya udah ketebak apa yang terjadi pada lohan kesayangannya.

Pak Satya udah lama nggak berdoa sama Tuhan karena sadar diri akan kepelitannya yang luar biasa. Tapi saat itu ia mendadak jadi rohani banget dan buru-buru berdoa supaya para lohan pembawa rezeki itu tetap dalam kondisi sehat wal afiat. Doanya khusyuk banget dan fokusnya hanya soal lohan, bukan soal tulang keringnya yang sebetulnya masih nyeri minta ampun.

Si kikir pecinta lohan itu merasa bahagia betul ketika dua atau tiga menit kemudian muncul lagi di bawah tangga dengan wajah berseri-seri.

“Gimana? Lohannya masih ada?”

“Ada tuan.”

“Alhamdullilaaah. Untung banget mereka masih hidup.”

“Hidup?””

Pak Satya yang mulanya berseri-seri jadi kaget sewaktu mendengar respon Rojab.

“Hidup kan?”

“Udah mati, tuan.”

“Gimana teh kamu ini,” Pak Satya marah lagi. “Tadi kamu bilang alhamdullilah itu karena apa?”

“Masih ada sisa sirip sama ekor. Kepala juga ada tuh, masih tinggal setengahnya biarpun matanya satu biji udah cop….”

Rojab tak bisa meneruskan ucapan karena Pak Satya keburu berteriak sekeras yang dia bisa.

“Wuaaaaahhhh, lohanku mati…. huuu…. huuuu…. !!!!” Pak Satya mendadak stress. Bagi Pak Satya, ikan lohan itu ikan keberuntungan. Kehilangan keduanya ia yakini akan membuat ekonominya terpuruk. Beliau menangis sambil terpuruk di lantai dengan kedua kaki menyambar kesana-kemari persis seperti tangis seorang bocah kecil.

Kalau Pak Satya stress, Rojab malah bingung dimana dalam kebingungannya ia bertanya.

“Kenapa nangis pak? Kan bapak tadi bilang kalo ikan mati masih bisa di-kloning?”

“Whuaaaaa!!!!” pak Satya tetap dalam tangisnya.

“ Lah, itu bola matanya masih ada pak. Masih ada!”

“Whuaaaaaaaaaa!!!!” Tak peduli sifatnya jadi kelihatan cengeng dan kekanak-kanakan pak Satya terus menangis meraung-raung.

“Walah koq nangisnya makin keras. Nih buktinya ada di tangan saya. Coba deh bapak perhatiin. Ini bener mata lohan, bukan mata sapi. Udah ah, ceup, ceup…. Jangan nangis lagi. Malu kedengeran sama orang lain…”

*

Setelah sekian hari lebih banyak merenung dan terdiam karena musibah yang dialami, Apih kini mulai semakin banyak berbicara. Apih malah udah bisa negur juga. Seperti pagi itu waktu dirinya menegur terlebih dulu karena ngelihat rona kesedihan pada diri puterinya.

“Kamu kurang tidur ya? Insomnia lagi?”

Dinda yang emang belum lama bangun dari tidur, mengangguk. “Ketauan ya, Pih?”

“Ketauan banget. Mata kamu merah.”

Dinda tersenyum kecil. Waktu melangkah ke kamar kecil, Apih manggil.

“Kamu nguping omongan Apih sama Amih kemarin ya?”

Dinda berhenti melangkah. “Soal rencana Apih sama Amih mau ngelego barang buat ngeganti motor yang ilang?”

“I-iya,” Apih menjawab ragu. "Maafin Apih ya, nak."

Ngelihat Apih berucap dengan nada berat Dinda jadi nggak tahan untuk nggak nguatin bokapnya. Ia berbalik badan dan kemudian memeluk Apih dengan kasih sayang.

“Tenang aja, Apih. Dinda gak keberatan sama rencana Apih yang mana pun. Termasuk kemungkinan laptop Dinda dilepas,” cetus Dinda setelah melepas pelukan.

"Apih janji untuk beli lagi yang baru kalo dapet rejeki."

Apih berbicara terbata-bata. Sedih betul dirinya karena harus mengambil keputusan yang sangat membebankan anak tunggalnya. Di usia yang udah 17 tahun, Dinda itu kadang-kadang masih muncul sifat kekanak-kanakannya yang sering membuatnya pusing. Atau tertawa. Tapi ajaibnya, di lain pihak Dinda punya IQ tinggi yang membuatnya memiliki kepintaran dengan kategori jenius. Apih bersyukur anak tunggalnya itu, seingatnya, nggak pernah meminta sesuai dengan hasrat keinginannya semata. Dinda itu cuma meminta apa yang emang betul-betul dibutuhkan. Nggak pernah dia itu minta yang aneh-aneh. Kalo punya uang sedikit yang biasanya adalah tabungan selama beberapa hari, Dinda lebih suka Apih beliin sesuatu yang berbau pengetahuan. Kalo nggak komputer ya minimal buku tentang teknik informatika yang terkadang Apih saja bingung membaca judulnya. Buku-buku semacam itu udah banyak banget ngisi dus-dus yang bertebaran dalam kamarnya. Dengan kepintaran semacam itu, Dinda juga nggak pernah bermasalah dalam mengejar prestasi terbaik di sekolah.