1 Chapter 1

Dua orang pasangan dewasa saat ini tengah berhadapan dengan tatapan yang sama-sama menyendu, suara riak air di hadapan seolah memecahkan keheningan beberapa saat sebelum mereka mulai membuka suara. Desiran angin menyapu badan mereka berdua, menambah kesyahduan dari tempat tersebut.

"Apa untuk kita menyatu terlalu sulit, Vin?" tanya Ilona dengan tatapan kosong, menatap riak air yang ada di hadapannya saat ini.

Membahas tentang kisah yang saat ini ada di penghujung jurang perpisahan, membuat Ilona berusaha sebisa mungkin untuk tidak menumpahkan air mata. Namun, tetap saja tak akan mampu, seiring hati merasakan sesak mendalam karena mengingat keputusan sang kekasih yang tak ia duga sebelumnya.

Delvin menggelengkan kepala, dengan tangan yang terulur untuk menangkup pipi dari Ilona. "Aku sayang sama kamu, dan kamu tau itu. Aku berusaha sangat keras untuk mempertahankan hubungan kita ...." Menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengucapkan satu kalimat yang membuat buliran bening meluncur bebas dari pelupuk mata Ilona. "Namun, takdir hanya mempertemukan, bukan lagi untuk menyatukan."

Daun-daun jatuh berguguran, seperti merasakan bagaimana kesedihan paling dalam dari wanita yang menatap sang pujaan hati, seiring buliran bening jatuh meluruh ke pipi.

Ilona kini tidak dapat lagi membendung air mata yang sedari tadi ia tahan. "Vin! Katakan kalau ini, prank! Katakan Vin, katakan!" teriak Ilona frustasi. Kenapa dengan cinta? Kenapa harus berakhir dengan air mata?

Delvin memeluk tubuh gadisnya yang terguncang hebat sebab tangis tersebut. "Maaf! Aku gak bisa melanjutkan ini semua, aku bahkan gak bisa memutuskan sama sekali. Semua sudah digaris dan aku ... gak bisa mengelak sama sekali pada takdir dan juga keputusan mereka."

Ilona mendongak dan berusaha untuk menangkap tatapan teduh milik lelaki yang selama ini mengisi sebagian kisah hidupnya. "Vin! Pilar aku selama ini kamu, tapi jika kamu menghilang a--aku ... akan hancur!"

"Apa aku sanggup bertahan seorang diri? Apa aku sanggup melihat kamu dimiliki sosok lain? Apa aku sanggup melihat kamu tertawa dan itu bukan lagi bersama aku?" tanya Ilona bertubi. Air mata terus menerus berjatuhan tanpa henti dan sorot mata yang menanti sebuah jawaban.

Ilona merasakan ada suatu hal yang patah di bagian terdalam. Semua kejadian ini terlalu cepat untuk dilalui, dan lagi ia tak bisa dengan mudah menerima semuanya begitu cepat. Ia sudah menempatkan diri untuk senantiasa jatuh pada orang yang sama, tapi apa ini? Kenapa semuanya terjadi?

Delvin kembali menggelengkan kepalanya, satu bulir air mata kini lolos dari pelupuk. "Kamu istirahat dulu yah sekarang! Jangan terlalu dipikirkan, dan kuharap kamu bisa menerima semua ini dengan ikhlas."

Ilona menatap Delvin dengan air mata yang tak henti untuk mengalir. "Kamu pikir aku bisa beristirahat, hah?" Membentak Delvin dengan suara yang sengau. Hancur sudah semua harapan yang selalu ia bangun, kenapa harus ada kata harapan jika akhirnya harus dibuat berantakan?

Delvin membungkam dan tak bisa berkata-kata sama sekali. Terlalu bingung untuk dipikirkan, dan terlalu sulit untuk dijalani. Tentang hubungan ini akan selalu menemukan kata rumit di setiap perjalanan yang akan terlukis nanti.

Angin dengan setia berhembus, seolah tengah berusaha untuk memberikan ketenangan pada dua jiwa yang sama-sama merasakan kehancuran. Ilona kehilangan pilar, dan Delvin kehilangan sosok yang sentiasa mendukung di setiap kesulitan hidup.

Ilona dan Delvin adalah dua orang yang sama. Mereka berdua saat ini sama-sama merasakan kepedihan yang luar biasa, mungkin jika ada satu doa yang 'kan langsung dikabulkan, percayalah! Mereka akan mengucapkan kalimat yang sama, 'jangan biarkan terpisah dengan jalan yang seperti ini.'

Ilona menghapus kasar air mata yang dengan kurang ajar jatuh meluruh tanpa bisa ditahan sama sekali itu. "Okey, aku berusaha untuk ikhlas asal jaminannya adalah kamu bahagia, dan senyum itu ... aku harap akan selalu mengembang sempurna," ucap Ilona dengan penuh ketegaran dalam hati.

Ilona sadar untuk tidak terlalu memaksa semua ekpektasi sesuai dengan keinginan yang selalu ia langitkan, terkadang ada beberapa hal yang terhapus karena kita sebenarnya tidak terlalu membutuhkan.

Delvin menggelengkan kepala, tangan terulur untuk mengambil jemari Ilona. "Aku gak janji untuk mengembangkan bibir ini, dan aku mungkin gak akan pernah mengenal kata senyum lagi."

Ilona tidak percaya dengan ucapan Delvin saat ini, kenapa bisa berbicara seperti itu, bukankah perpisahan ini adalah hal yang ia inginkan? Lalu, kenapa harus mengambil tindakan yang sangat tak ia sukai seperti ini.

"Jangan konyol Vin! Bibir ini ...." Tangan Ilona mulai menyentuh bibir milik Delvin dan membelai lembut menggunakan jempolnya. "Gak akan pantas jika tidak dipasang seutas senyum. Kamu jangan pernah berubah, cukup hubungan kita berdua saja yang kini ... tak akan lagi pernah sama," ucap Ilona. Satu butir air mata kembali lolos begitu saja.

Delvin mengambil jemari Ilona yang masih terus membelai bibir berwarna merah miilknya. "Semua akan berubah, dan itu tidak berlaku untuk hubungan kita saja tapi ... semuanya!" tegas Delvin dengan suara yang terdengar berat.

Ilona menarik jemari yang saat ini tengah dicium lembut oleh Delvin, membuang tatapan ke arah lain. Ia tidak akan pernah sanggup jika melihat Delvin kembali ke sikapnya yang terdahulu, kesedihan kini berjalan dua kali lipat rasanya.

"Kamu gak perlu melakukan semua itu, Vin." Ilona tidak kuat meski hanya bersitatap dengan Delvin. hati cukup rapuh dan entah bagaimana caranya ia akan melanjutkan hidup tanpa kehadiran sang kekasih hati.

Ikhlas itu adalah kata yang terpaksa. Semua hanya butuh kalimat keterbiasaan, untuk benar-benar merasa biasa dengan keadaan yang di luar dugaan seperti ini. Ilona sendiri merasa kelimpungan untuk menguatkan hati, ingin berteriak kencang pada takdir jika ia tak cukup mampu untuk menjalani semua ini.

Ilona tidak mengetahui jika saat ini Delvin merasakan kehancuran yang jauh lebih menyakitkan. Kehilangan sosok yang bisa mengubah dirinya penuh, dan sosok yang selalu mendukung ketika masa-masa sulit. Ia jauh tidak akan rela jika melihat wanita yang sangat dicintai jatuh ke tangan lelaki lain.

Delvin berusaha menegarkan hati, dan kini kembali berucap. "Aku harus melakukannya kembali, Ilona. Kita berdua sekarang sudah sama-sama hancur, dan aku meminta maaf sama kamu," lirih Delvin dengan kepala yang tertunduk.

Ilona kembali menjatuhkan air mata, menggigit bibir bawah agar tak terdengar suara isak tangis dan menggiringnya untuk mereda. Mau bagaimanapun ia menangis atau berteriak untuk menolak perpisahan ini, tetap tidak akan pernah bisa. Menerima dan ikhlas adalah jalan satu-satunya yang paling tepat untuk mereka berdua.

Ilona menatap wajah Delvin yang sudah memerah, dan itu tandanya tengah menahan tangis. "Aku, kamu, dan kita sekarang .... sudah menjadi dua orang yang kembali asing ternyata."

avataravatar
Next chapter