1 Bagian 1 (Reuni)

.

.

Semua orang punya kecemasannya masing-masing.

Yang berbeda hanya bentuk dari kecemasan itu sendiri.

.

.

***

Anxi secara istilah bahasa Latin berarti tercekik, tersumbat, terhambat. Dalam bahasa Inggris, Anxiety mengacu pada kecemasan.

Semua orang punya kecemasannya masing-masing.

Orang tua merasa cemas saat melepas anaknya merantau.

Pelajar merasa cemas dengan nilai ujiannya.

Seorang istri merasa cemas saat suaminya pergi ke luar kota dalam waktu lama.

Seorang suami cemas saat harus membayar tagihan Rumah Sakit untuk istrinya yang baru melahirkan.

Pedagang kelontong merasa cemas saat jualannya sedang tidak laku.

Pegawai cemas saat saldo di ATM-nya bahkan belum setara dengan sepuluh persen total tagihan kartu kreditnya.

Bos perusahaan cemas saat laba perusahaan turun drastis, dan tidak sanggup membayar gaji sebagian karyawannya.

Semua orang pasti memiliki kecemasan dalam hidupnya. Tak peduli tua-muda. Miskin-menengah-kaya. Yang berbeda hanya bentuk dari kecemasan itu sendiri.

Seperti yang tengah dialami oleh salah satu pemeran utama cerita kita, Erika.

*****************************************************

Erika mengamati wajahnya sekali lagi di cermin mobilnya. Wajah cantiknya diusik dengan alis berkerut dan perut melilit.

Duh....kenapa sih aku? batinnya. Tangan Erika menyentuh blouse putih yang melapisi dadanya. Denyut dan ritme jantungnya terlalu cepat.

Dia sudah seperti ini sejak tadi sore saat berangkat dari kantor ke restoran ikan. Padahal ini cuma acara ketemuan reuni biasa. Semestinya begitu.

Ini semua dimulai dari sebuah pesan singkat dari Ratih. Pesan singkat dalam arti denotatif. Benar-benar singkat :

Reuni Sma. 23jul jam1 d ged sma. catet.

Erika masih ingat reaksi pertamanya adalah menghela nafas. Ratih tahu kalau Erika malas mengecek isi milis. Dan isi pesan yang teramat singkat itu seperti biasa menunjukkan kalau Ratih sedang dibuat repot dengan dua anak laki-lakinya, Prio dan Sasta. Ratih adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Belum ada satupun yang sekolah TK atau pre-school. Dan poin yang perlu digarisbawahi adalah, Ratih tidak punya pembantu di rumahnya. Ya. Dia mengerjakan semuanya sendirian. Jadi Ratih bukanlah tipe ibu-ibu muda yang punya waktu untuk upload foto-foto lucu anaknya di medsos. Paling poll foto anaknya menjadi profile picture di beberapa aplikasi chat-nya. Itu pun syukur-syukur kalau sempat ganti profile picture.

Aslinya, Ratih adalah anak yang sangat ceriwis. Dia seperti 'bola bekel' yang melompat ke sana kemari. Dan image 'bola bekel' itu melekat kuat, karena pas dengan bentuk tubuhnya yang agak pendek dan sedikit chubby. Ratih adalah salah satu teman baik Erika di SMA. Selain Ratih, ada Esti yang tinggi, anggun dan hitam manis. Esti punya karakter yang lebih feminin ketimbang Erika dan Ratih.

Erika membalas pesan itu.

Ok thx Tih. InsyaAllah diusahain dtg.

Ternyata takdir berkata lain. Sabtu pagi pas hari H, Erika kembali mengirim pesan pada Ratih.

Tih, sori banget...aku stuck di kantor. Ada laporan kudu slesai buat Senin. Kayanya sore baru kelar nih :(

Pesan itu segera dibalas Ratih.

WHATTT?? Oh come on, Ka! Ini hari Sabtu, gitu. Tega bener sih kantormu :( Kita udh lama ga ktmuan nih.. Kita2 kan udh pd ribet semua. Kamu Sabtu Minggu kan biasanya jalan-jalan sm Farhan. Kamu JAHAT sama aku, Ka! :( :(

Erika cemberut melihat pesan panjang yang ngasal itu. Kumat lagi nih drama queen-nya Ratih, pikirnya. Melihat pesan sepanjang ini, ini artinya Ratih sekarang sudah menitipkan kedua anaknya di rumah orang tuanya.

Sori banget ya. Salam buat anak-anak. Aku kebut dulu kerjaan. Kali aja sempet kelar sblm sore. Hiks T___T

Agak lama Ratih tidak membalas lagi pesannya. Erika berpikir mungkin Ratih benar-benar marah. Tak lama ponselnya bergetar.

Erika Destriana Putri! Kamu beruntung. Ada acara lanjutan stl reuni. Ruang VIP Restoran Ikan Terbang di daerah Pecenongan. Tau kan? jam 7 mlm, tp anak2 mungkin ud smp sana stgh jam sblmnya. KAMU HARUS DTG ! :)

Erika menatap layar ponselnya dengan heran. Ide siapa ya? Kok enggak seperti biasanya? Dia membalas pesan Ratih.

Ok bos!

Sekarang dia sudah sampai di sini, tapi kenapa detak jantungnya seperti ini? Dia bisa merasakan telapak tangannya berkeringat dingin. Erika memejamkan mata. Berusaha mengusir pikiran itu, tapi sulit.

Sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang tidak mengenakkan.

Dengan segenap keberanian yang susah payah dikumpulkan, Erika keluar dari mobilnya. Hak sepatu setinggi lima senti beradu dengan permukaan lantai paving block di area parkir. Erika berdiri menghadap pintu masuk restoran yang di depannya ada sebuah icon berbentuk ikan terbang, yang dibentuk dengan lampu LED. Langit mulai gelap, dan lampu berbentuk ikan terbang itu menyala. Warna sinar merah menyentuh wajahnya, menambah rona merah di pipinya yang baru saja di-touch up di dalam mobil.

Tubuh Erika masuk kategori bertinggi sedang untuk ukuran wanita. Wajahnya oval, berkulit putih cerah. Matanya tidak sipit, tapi juga tidak terlalu lebar. Alis tebalnya membuat dia tidak perlu memakai pinsil alis, dia hanya merapikannya sedikit di bagian ujung. Bibirnya tipis tapi sensual, dipoles lipstik merah muda. Rambutnya terurai sedada, dan bagian bawahnya berombak. Blouse putih dengan motif batik biru tua di bagian tengah, dan rok abu-abu muda dibawah lutut, dipadukan dengan sepatu dan tas silver, membuat dia terlihat sangat cantik. Teman-teman kantornya sering memanggilnya dengan sebutan Natasya Wilona, seorang pemain sinetron nusantara.

Sekalipun selama sejarah per-sekolahan hingga perkuliahan, Erika tidak pernah tampil menonjol, tidak pernah jadi bagian geng anak-anak perempuan yang populer, namun anak-anak laki-laki biasanya membicarakan dia secara diam-diam. Laki-laki yang berani menyatakan perasaan pada Erika, sangat langka. Karena Erika dikenal agak jutek ke lawan jenis. Kenapa begitu? Yang jelas, Erika punya alasan yang melatari sikapnya itu.

Erika menutup pintu mobil. Kakinya melangkah menuju pintu masuk.

Aku enggak mau lama-lama di sini. Farhan mungkin sudah menungguku di rumah. Aku mau makan malam dengannya.

Jantungnya masih berdegup kencang, dengan alasan yang dia sendiri tidak mengerti.

Tenang, Erika. Kemungkinan terburuk apa sih yang mungkin terjadi? hibur Erika pada dirinya sendiri.

*****************************************************

Kecemasan Erika mungkin terkesan berlebihan. Tapi jika kita telaah kembali, untuk orang yang belum punya keturunan dalam waktu lama, bersosialisasi dengan orang-orang di masa lalu, bukanlah hal yang mudah. Coba tebak apa rentetan pertanyaan yang umumnya akan ditanyakan? :

1. Gimana kabarnya?

2. Kerja di mana sekarang?

3. Sudah nikah? Sama siapa? Kerjaan suaminya apa?

4. Sudah punya anak berapa? Umur anaknya berapa tahun? Anaknya sudah sekolah? Sekolah di mana? Ranking berapa di kelas?

dan seterusnya ... dan seterusnya.

Itu pertanyaan umum dan wajar sebenarnya. Diberondong pertanyaan mulai dari yang umum hingga mengerucut ke pertanyaan yang sifatnya pribadi.

Jika dua orang yang terputus jeda waktu sekian lama, bertemu kembali, maka mereka akan mencari bahan pembicaraan yang diharapkan bisa menjembatani keterpisahan mereka. Itu adalah intuisi normal dalam interaksi manusia.

Namun kondisi Erika saat ini, biasa dipandang tidak normal untuk orang kebanyakan. Dia sudah lima tahun belum punya anak. Lima tahun bukan waktu yang terlalu lama, tapi juga tidak bisa dibilang sebentar. Jadi Erika sebenarnya sudah terlatih menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Lantas di mana letak permasalahannya? Masalahnya, tidak semua orang punya kepekaan sama. Orang-orang yang cukup sensitif, akan cenderung untuk berhenti menggali lebih dalam mengenai permasalahan 'belum kunjung hamil'. Tapi ada saja yang kurang peka. Ada dua kemungkinan sebenarnya. Antara kurang peka, atau terlalu peduli. Saking tinggi kepeduliannya, komentar mereka seringkali mengejutkan. Berikut hanya sedikit dari contoh komentar mereka :

1. Sudah periksa? Gimana kata dokter? Yang punya 'masalah' siapa? Kamu atau suamimu? --> Tipe kepo 'ini salah siapa?'. Mereka tidak peduli. Pokoknya, harus ada yang disalahkan. HARUS!

2. Memangnya usahanya sudah maksimal? Sudah ngapain aja? Sudah coba berobat ke si Anu belum? Hah?? Belum? Ya pantesan aja belum hamil. Usahanya kurang sih.. --> Tipe menghakimi usaha orang lain, padahal orang berusaha sesuai kadar kemampuannya.

3. Anak itu 'kan titipan Tuhan. Mungkin Tuhan belum percaya sama kamu. Kamu masih dianggap belum pantas untuk dititipkan anak. --> Tipe ... (isi sendiri titik-titik di samping).

4. Kamu pernah punya dosa besar mungkin di masa lalu. Jadi ini mungkin hukuman Tuhan atas dosa-dosamu yang banyak betul itu. Coba direnungi. --> Tipe ... entahlah.

Itu cuma sedikit contoh saja. Special case lah itu. Jarang terjadi. Tapi sekalinya terjadi, pertanyaan yang dirasa menyakitkan untuk yang ditanya, sedikit banyak bisa merusak mood hari itu, dan kalau dampaknya cukup besar, bisa merusak mood beberapa hari atau beberapa minggu kedepan.

Back to Erika. Dia berusaha sebenarnya, untuk menerima kenyataan yang tidak mudah ini. Di tahun pertama dia bisa santai saja. Karena wajar 'kan ya, orang yang baru menikah setahun belum hamil. Tahun kedua, dia mulai cemas sebenarnya. Tapi berusaha terlihat tenang. Tahun ketiga, dia mulai percaya perkataan orang-orang. Bahwa ada yang SALAH. Ada yang BENAR-BENAR SALAH di sini. Lalu mulailah dia mengkonsumsi apapun itu yang 'kata orang' bisa mempermulus kehamilan. Ibunya tentunya ikut serta membantunya. Mengiriminya beragam herbal. Mulai dari dedaunan, rerumputan, madu, kurma muda dan lain sebagainya. You name it. Dia telan semuanya.

Dalam hatinya, Erika tetap percaya keturunan itu titipan Tuhan. Yang punya kuasa sebenarnya cuma Tuhan. Beragam ikhtiar itu cuma pilihan jalan. Itu sebabnya dia tidak pernah lupa membaca bismillah di setiap usahanya.

Tiga tahun. Empat tahun. Lima tahun. 'Kapan hamil?' adalah pertanyaan 'favorit'nya. Setiap tahun.

*****************************************************

Erika memasuki pintu restoran. Dia disambut oleh dua orang staf berseragam batik. Mereka tersenyum dan membungkuk ramah. Erika membalas senyum mereka dan memasuki ruangan semacam foyer yang di kiri kanannya ada lemari pendek kayu bernuansa Jawa Klasik, yang di atasnya diletakkan rangkaian bunga anggrek putih. Sebuah lukisan impressionist bergambar ikan yang bergerak lincah, menghiasi bidang dinding.

Suara entakan hak sepatu Erika yang beradu dengan lantai keramik berwarna tanah terracotta, hanya terdengar sebentar. Begitu memasuki area duduk yang dipenuhi dengan jejeran meja kursi, suara itu segera tertutupi dengan riuh kegembiraan pengunjung yang datang bersama keluarga atau teman-teman mereka.

Beberapa pelayan hilir mudik membawakan nampan dengan tumpukan hidangan di atasnya. Aroma ikan goreng dan ikan bakar, serta masakan laut yang menggugah tercium di udara.

Lampu-lampu gantung berwarna kuning di atas meja-meja, menambah suasana hangat dan intim. Erika berjalan di antara deretan meja. Di samping kiri ada kolam ikan yang posisinya lebih rendah dari lantai restoran. Di tepi kolam disediakan dek kayu. Orang bisa duduk-duduk di sana melihat ikan berenang yang diterangi lampu kolam. Sembari menunggu makanan pesanan mereka diantar.

Erika melewati area makan dan memasuki koridor yang diterangi dengan lampu dinding berwarna kuning. Di samping kirinya masih terdapat kolam ikan. Tak lama, sebuah papan bertuliskan VIP terlihat di ujung koridor. Erika berbelok ke kiri, mengikuti papan petunjuk arah. Menyeberangi jembatan kayu, melewati terowongan busur kawat yang dililit tanaman jalar. Lampu sorot ke arah tanaman jalar membuat terowongan ini terlihat cantik.

Aneh, pikir Erika. Dia merasa seperti mengalami dejavu. Bukan karena dia pernah ke sini sebelumnya. Selama ini dia hanya pernah mendengar tentang restoran ini. Banyak review positif tentang restoran ini di medsos. Testimoni positif pun tersebar dari mulut ke mulut. Tapi walaupun baru kali ini dia menginjakkan kakinya di sini, sejak dia melihat kolam ikan luas di samping area makan, lalu sekarang melihat jembatan kayu yang dililit tanaman jalar, dia seperti pernah membayangkan suasana persis seperti ini. Mungkin cuma perasaannya saja.

Sebuah pintu kayu besar terlihat di ujung terowongan. Tulisan VIP tertulis menempel di pintu.

Seorang wanita dengan baju berenda dan rok megar serba putih, sedang berdiri di samping pintu. Bersandar pada dinding. Wanita itu tersenyum melihat Erika datang.

"Ratiiihhh!" jerit Erika yang segera mengenali wanita itu sekalipun Ratih ternyata telah memangkas rambutnya hingga tak bisa lagi dikuncir kuda seperti biasanya.

Mereka berpelukan bagai teletubbies. Ratih melepas pelukannya dan mengamati Erika. "Ya Allah, makin cantik kamu, Ka!" puji Ratih kagum.

"Aduh udah, deh. Jangan berlebihan gitu, Tih," ujar Erika malu.

"Ih beneran, tau!" tegas Ratih mendelik.

"Kamu potong rambut, Tih?" tanya Erika mengalihkan percakapan.

Ratih menyentuh bagian belakang rambutnya yang jatuh di pertengahan leher belakang. "Iya. Sambil ngurus dua anak hiperaktif itu, rasanya rambut panjang malah bikin nambah rempong. Akhirnya aku gak tahan. Kupotong pendek aja sekalian," jelas Ratih.

"Prio dan Sasta ikut ke sini?" tanya Erika lagi.

Pertanyaan itu disambut pelototan Ratih. "Hedeuuhh! Yang bener aja deh, Erika! Mereka lagi dititip di rumah Neneknya. Bahaya kalo kubawa ke sini, bisa-bisa mereka lari-larian di atas meja makan!" kata Ratih dengan bola mata mengerling.

Erika tertawa. Kedua anak Ratih memang persis ibu mereka. Lincah seperti bola bekel.

Mendadak Ratih berhenti tertawa, teringat sesuatu. "OH! 'Dia' pasti terpesona kalo liat kamu secantik ini sekarang," ujar Ratih dengan senyum dikulum.

"Dia? Siapa?" tanya Erika dengan alis berkerut.

Ratih tersenyum. "Yoga!" Nama itu dibisikkan perlahan, walaupun di sekitar mereka sekarang tidak ada siapa-siapa.

"YOGA?? DIA DATANG??" jerit Erika tertahan.

Ratih terkejut melihat reaksi Erika. "Ya. Yoga yang ngundang anak-anak kemari. Restoran ini 'kan punya Ayahnya," kata Ratih.

Erika menepuk keningnya. Dia tiba-tiba berbalik badan. "Kalo gitu, mungkin sebaiknya aku pulang aja sekarang. Bye, Tih. Maaf, ya," ucap Erika yang mendadak pamit.

Ratih menahan tangan Erika. "JANGAN, KA! GIMANA SIH? Kamu 'kan baru aja dateng!" sergah Ratih tak rela.

Erika menatapnya dengan ekspresi datar. "Aku gak tau kalau dia akan ada di acara ini. Kalo aku tau, aku lebih baik gak datang," kata Erika.

Ratih memeluk Erika dari belakang. "JANGAN PERGIII! Aku dan Esti k'an udah niat betul ke acara ini supaya bisa ngumpul sama kamu, Ka! Susah tau cari waktu yang pas buat ketemuan!"

Erika menghela nafas.

"Ayolah Ka. Dalam sepuluh tahun, semua orang bisa berubah, 'kan? Termasuk Yoga," pinta Ratih memelas.

Erika nampak ragu. Tapi dia juga jadi merasa bersalah karena Ratih dan Esti rela ikut acara tambahan ini demi dirinya. Acara ini juga pastinya ikut menyita waktu mereka.

"Oke," sahut Erika berwajah pasrah. Dia kembali berbalik ke arah pintu VIP.

Ratih memeluknya dari samping. "Nahhh!! Gitu dooong! Yuk masuk!" ajak Ratih dengan semangat empat lima.

Tangan Erika menggenggam gagang pintu besi yang panjang, di samping tulisan VIP yang menempel di pintu kayu. Dia bisa melihat pantulan wajahnya yang cemas di permukaan gagang pintu.

Ayolah Erika. Memangnya pertemuan dengan Yoga bisa jadi seburuk apa sih? batin Erika, berusaha menenangkan dirinya sendiri.

*****************************************************

avataravatar
Next chapter