14 Panggilan

"Gimana sih Bu, ini kan sudah jatuh tempo!"

"Iya iya maaf ya Pak"

Ibu dari Laras kini hanya bisa tersenyum dengan penuh rasa malu begitu rumahnya kedatangan dua pria berbadan kekar dengan wajah menyeramkan yang menjadi depkoletor yang bertugas untuk membawa motor yang dirasa sudah jatuh tempo pembayaran.

"Gak bisa Bu, sekarang ibu kasih tau aja dimana motornya, biar kami bawa ke deller, ibu kalau mau ambil silakan ambil di sana, tapi lunasi dulu tunggakannya!"

"Maaf Pak, tapi motornya di bawa anak saya kerja, mungkin nanti sore dia baru pulang"

Rindu, entah kenapa anak pertamanya itu tak pernah bisa membuatnya tenang barang sejenak, selalu menimbulkan masalah yang bukan hanya menyusahkan dirinya, tetapi juga keluarganya, dulu mobil sekarang motor, dia bahkan sudah menyerah menasehati anaknya itu, Rindu bagaikan batu yang sulit untuk di pecahkan, keras kepala dan selalu membuat masalah.

"Ada apa ini ?"

"Bapak siapa ?"

"Saya suaminya"

"Oh kebetulan kalau begitu, anak bapak yang bernama Ibu Rindu ini sudah empat bulan tidak membayar uang cicilan motor yang diambil, kami kesini ditugaskan untuk langsung membawa motor itu, sekalipun bapak punya uang dan mau membayar tetap tidak bisa karena itu bukan wewenang kami, motornya harus kami bawa, semisal bapak atau Ibu Rindu mau menebusnya silakan langsung datang saja ke deller kami"

"Iya, tapi motornya di bawa anak saya Pak, tidak ada di rumah"

"Yasudah kalau begitu nanti sore kami datang lagi, pokoknya hari ini motor harus kami bawa, permisi!"

Kedua Pria itu pun pergi, meninggalkan kedua orang tua itu yang kini hanya bisa terduduk dengan tangan mengusap kening, diwajahnya tampak guratan kesedihan yang coba mereka tahan, rasa kecewa mungkin saat ini yang sangat mereka rasakan.

"Bapak kan sudah bilang jangan hutang kalau gak bisa bayar!" ucap sang suami yang mulai menunjukkan kekesalannya.

"Mana saya tau, Rindu gak pernah bilang sama saya kalau dia punya hutang"

"Gak mungkin kamu gak tau, kamu kan ibunya, anak-anak dekatnya sama kamu!"

Kebiasaan orang tua, terkadang mereka bukan langsung mencari solusi, tetapi menyalahkan satu sama lain.

"Kalau sudah begini, kamu mau apa ? telepon anakmu sekarang, suruh pulang bawa motornya!"

"Sudah dihubungi tapi gak diangkat, mungkin masih kerja"

"Alah! kamu nih... sudah berapa kali kita di kadalin sama anak itu, lagian kerja apa sih bayar hutang kok gak mampu, pergi pagi pulang malam tuh buat apa kalau cuma bisa begini, bantu-bantu di rumah juga enggak, nyusahin aja! pokoknya saya gak mau tau, urus anakmu itu, saya sudah capek!"

Brak!

Pintu dibanting begitu keras, tinggallah ibu dari Laras yang kini hanya bisa menahan tangisnya, mengambil ponselnya dan langsung menghubungi Laras, iya Laras, bukan Rindu.

"Halo Nak"

"Tadi ada depkoletor nemuin Mamah, katanya kakakmu sudah gak bayar cicilan empat bulan, hari ini motornya mau dibawa katanya, kamu bisa gak nak bantuin dulu"

"Iya, kalo kamu punya masih punya uang simpanan mamah pinjam dulu untuk bayar, nanti mamah ganti"

"Iya, kamu pulang kapan ?"

"Oh yasudah, jaga diri ya Nak, jangan lupa transfer ya"

Panggilan pun terputus.

Kelemahan seorang ibu adalah menutupi kesalahan anaknya dengan dalih "Kasih sayang", membela mati-matian dengan pemikiran "Dia anakku" yang justru bukan semakin membuat anak itu bertanggung jawab, tetapi malah semakin manja.

***

"Laras nanti tolong kamu buat perencanaan sekaligus anggaran dana untuk bulan ini, saya harap semua bisa selesai hari ini."

Ada apa sih dengan hari ini ?

Seakan-akan di hari ini dia sedang uji dengan beberapa ujian yang membuat pusing, sedih dan capek, bukan hanya hanya fisiknya tapi juga hatinya, apalagi ketika mengangkat telepon dari Mamah yang mengatakan hal tidak enak soal masalah depkoletor yang datang ke rumah untuk menagih tunggakan motor kakaknya.

Padahal semua tau kalau Mamah dan Bapak itu bukan orang berada, tapi kenapa kakaknya itu selalu membuat masalah.

"Laras ?"

"Laras!"

Aku tersentak dengan panggilan Rafan yang membuatku kaget, Aku sampai lupa dimana aku berada sekarang dan bisa-bisanya malah melamun bukannya bekerja.

"Kamu dengar tidak apa yang saya katakan ?"

"Hah ? Ap..pa Pak ? maaf saya tadi kurang fokus" jawab Laras dengan targagu.

"Saya suruh kamu buat perencanaan sekaligus anggaran dana yang kita butuhkan bulan ini"

"Oh.. iy iya Pak, nanti akan saya buat"

Keduanya duduk bersebelahan dengan Laras yang duduk tepat di depan komputer kerja milik bosnya itu, tak ada yang berbicara lagi, kini Laras mulai fokus mengetik tugasnya, sementara Rafan diam dengan pandangan kosong sambil tangannya memainkan pulpen.

Canggung, sudah pasti Laras rasakan, bahkan ini sudah hampir berjalan dua hari tapi tetap saja dia merasa canggung saat berada dekat dengan Rafan.

"Tangan sama Kaki kamu gimana ? sudah di obatin ?" tanya Rafan tiba-tiba.

"Sudah Pak" Laras langsung melirik kearah kaki bosnya "Pak Rafan gimana keadaannya ? Bapak yakin gak mau di periksa ke dokter ?"

Rafan itu adalah orang yang paling keras kepala yang pernah ia temui, padahal sebelum berangkat ke kantor berkali-kali orang di rumah membujuk bosnya itu untuk pergi ke dokter tapi Rafan tetap menolak, dia bahkan menolak untuk Bi Inem mengobati kakiknya yang membiru, dia malah dengan pedenya langsung memakai sepatu yang membuat orang khawatir dengan kakinya yang semakin parah.

"Kaki Pak Rafan biru loh, kalau bengkak nanti malah lama sembuhnya" ucap Laras kembali mencoba membujuk bosnya.

"Saya gak apa-apa kok"

"Kalau memang bapak gak mau ke dokter, mau saya kasih salep aja ? pasti sekarang Pak Rafan lagi nahan nyeri kan ?"

Dia yakin sekali kalau pasti rasanya nyeri sekali, karena dia juga pernah merasakan apa yang di rasakan Rafan saat ini.

Rafan berdeham smabil membenarkan duduknya. "Enggak, sok tau kamu" jawabnya berkelit.

"Saya tau Pak,"

"Tau darimana ? memang siapa yang kasih tau ka... Auw!"

Tuhkan!

Laras tersenyum begitu mendengar ringisan Rafan mengeluh sakit, belum kering bibirnya bicara dan ucapannya sudah terbukti benar, bosnya tidak bisa berkelit lagi.

"Saya olesin salep ya Pak"

Laras bangun dan langsung membuat Rafan bingung. "Enggak.. gak usah, sudah kamu kerja la...Auuuw!"

Laras kesal, ia langsung menendang pelan kaki bosnya yang langsung membuat Rafan meringis kesakitan.

"Kamu sengaja ya nyenggol kaki saya ?!" tanya Rafan sambil memegang kakinya yang sakit.

Kalo iya, kenapa ?! rasanya Laras ingin bicara begitu, tapi dia sadar kalau itu terlalu berbahaya. "En.. enggak kok Pak, saya mau jalan ambil salepnya, gak sengaja nyenggol kaki Bapak, maaf ya pak"

"Bohong! kamu pasti sengaja kan"

Iya memang sengaja.

"Laras! saya bilang gak usah!"

Laras tak menggubris ucapan Rafan, dia tetap berjalan kearah laci meja yang ada di dalam ruangan Rafan, dimana ada kotak P3K yang ia simpan.

****

Rafan menunggu dengan kaki yang semakin terasa nyeri, Dia sudah sengaja sok kuat dan mengabaikan rasa sakit yang dia rasakan, tapi Laras menghancurkan pertahanannya.

"Saya bilang gak usah, Laras" ucapku, masih mencoba terlihat sok kuat.

Aku mendengar suara langkah kaki wanita berheels itu semakin mendekat, Laras pasti sudah membawa kotak P3K di tangannya, hancur sudah pertahanannya.

"Laras... saya..."

Bibirku kelu, aku menahan sakit ketika Laras mulai mengangkat sebelah kakiku dan mulai membuka sepatu yang aku pakai.

"Pelan-pelan Laras!"

Kakiku mulai terasa dingin, itu artinya Laras sudah membuka semua yang menutupi kakiku, aku merasakan tangannya meraba tepat dimana rasa sakit itu berasal.

"Tuhkan, kaki bapak jadi bengkak, biru lagi"

Benarkah ? masa iya segitu parahanya cuma dalam beberapa jam.

"Kalau bapak gak mau diobatin, bisa tambah parah, kalau parah takutnya nanti dokter nyuruh kaki bapak untuk diamputasi aja"

Apa ?! Masa iya sampai begitu ? sampai harus diamputasi ?! Hey... Dia kira aku bodoh ya.

"Jangan berlebihan ya Laras, mana ada sampai begitu, ngarang." jawabku jelas tidak percaya.

Laras tak menjawab, namun aku merasakan tangannya menyentuh kakiku, kali ini terasa dingin dan ada bertekstur, mungkin itu salep yang Laras pakaikan saat ini untuk mengobati kakinya.

Lembut, itulah yang aku rasakan saat ini, aku bisa merasakan kalau gerakan Laras sangat lembut dan hati-hati, mungkin karena dia takut dengan ancamanku nanti, bukan hanya lembut, dia juga menyelingi sesekali pijatan kecil sambil terus mengoles salepnya.

"Kamu sendiri gimana ? Luka kamu udah di kasih salep ? saya gak mau soalnya tangan kamu diamputasi" ucapku dengan senyum geli yang kutahan.

"Sudah Pak, bapak jangan takut, tangan saya gak bakal diamputasi kok" jawabnya, aku membayangkan kalau Dia bicara sambil tersenyum sekarang.

"Hmmm... Pak Rafan..."

"Ya ?"

Suaranya berubah, hingga membuat keningku terlipat dengan penuh pertanyaan, kenapa nada suaranya jadi begini.

"Saya boleh tidak hari ini izin pulang ke rumah"

"Ke Rumahmu ?"

"Iya, ada hal yang harus saya bicarakan dengan orang tua saya"

"Hal Apa ?"

Sial! kenapa aku bertanya seperti itu, kenapa aku terlihat ingin tau urusan orang begini.

"Hmmm... Maksud saya, memang gak bisa kamu bicarakan lewat telepon saja" ucapku mencoba mengoreksi.

Dia tidak menjawab, apa berarti hal ini sangat penting dan sangat privasi.

"Yasudah kalau memang kamu mau pulang, tapi bisa gak besok paginya saya minta kamu sudah harus ada di rumah saya lagi ?"

"Bisa Pak Bisa!" jawab Laras dengan penuh keyakinan.

"Yasudah kalau memang kamu mau pulang, kamu boleh pulang ke rumah kamu nanti"

Meski berat tapi mungkin ini memang harus di lakukan, dia merasa berat bukan karena di tinggal pulang oleh Laras, jangan salah paham! Dia cuma tidak mau semua urusannya terganggu, iya begitu.

"Saya perban ya kaki Pak Rafan"

"Ya.. ya Terserah kamu lah" jawabku, karena aku yakin sekalipun aku menolak dia pasti akan melakukannya juga.

Aku memutuskan semakin menyeder pada kursi kerjaku, gerakan Laras pada kakiku entah kenapa membuatku semakin nyaman, mataku mulai berat kerana sangking nyamannya, beberapa kali aku mengedipkan mataku agar tidak merasa larut dalam kantukku, tapi aku semakin tidak bisa menahannya.

***

Beberapa Jam kemudian.

"Gua denger kakak lu kerja disini ya ?"

Aldi hanya mengangguk dengan senyum tipis menjawab pertanyaan teman kerjanya.

"Jadi apaan dia ? bukannya kakak lu lulusan sarjana pendidikan, bukannya harusnya jadi guru, kenapa malah kerja di kantor ?"

"Ya katanya dapat kerjanya di kantor, yaudah kerja itu aja"

"Oh yaudah, lu mau balik sekarang apa gimana ?"

"Enggak, gua nungguin kakak gua, katanya mau balik bareng"

"Oh okedeh, duluan ya"

"Yo! hari-hati"

Aldi melihat jam tangan yang dipakai menunjukkan pukul setengah lima sore, beberapa jam yang lalu dia mendapat kabar dari kakaknya yang bertanya perihal dia ada di mana, karena kebetulan tadi pagi dia mendapat perintah bosnya untuk kembali ke kantor ini untuk memperbaiki listrik yang konslet di lantai paling atas, jadilah kakaknya itu memintanya untuk sekalian menunggu dirinya agar bisa balik bersama, jadilah dia menunggu disini, diparkiran motor kantor ini.

Aldi duduk diatas motornya sambil memegang helm hitam, menunggu kedatangan kakaknya yang sepertinya akan membuatnya menunggu lama. Ditengah lamunannya, ponsel Aldi tiba-tiba bergetar.

Laras Calling...

"Halo ?"

"Gue di parkiran nih, lo dimana ? masih lama ya ?"

"Enggak, gua udah selesai sekarang gua ada di parkiran"

"Oh oke, bentar gua kesana"

Aldi menyimpan ponselnya begitu ia memutuskan sambungannya, memakai helmnya dan mulai menyalakan mesin motornya, Kata kakaknya, saat ini dia menunggu di lobi kantornya.

"Lama gak nunggunya ?" tanya Laras begitu melihat adiknya sampai di depan lobi kantor.

Aldi memberikan helm yang ada pada Laras. "Enggak, gua juga baru selesai" jawab Aldi yang menunggu Laras naik ke jok motornya sambil memakai helm.

"Udah ?" tanya Aldi begitu Laras duduk di jok belakang.

"Udah"

Aldi melihat kearah satpam yang berjaga, tersenyum ramah kearahnya. "Permisi Pak" ucap Aldi.

"Oh iya iya Mas, hati-hati"

Aldi mulai menjalankan motornya begitu meninggalkan kontar tempatnya dan kakanya bekerja.

"Loh Kok... Laras pulang sendiri ?"

Rafan dan Seno yang kini tengah berdiri tak jauh dari tempat satpam itu berada, menatap penuh tanya begitu melihat Laras yang pulang di bonceng oleh orang lain.

"Iya gak apa-apa, dia sudah ijin tadi sama saya" sahut Rafan yang membuat Seno hanya mengangguk-angguk paham.

"Karena Laras pulang, kamu gantiin dia lembur ya, bantuin saya juga"

Hah... Dia sudah menduga ini pasti terjadi, padahal malam ini dia sudah punya rencana makan malam dengan gebetannya. Kenapa Bosnya gak langsung pulang juga, malah mau lembur.

Seno dan Rafan kembali berjalan, memasuki lift menuju ruangan kerja bosnya berada.

avataravatar
Next chapter