webnovel

Antariksa

Bumi Cakrawala yang biasanya berpusat pada keteraturan alam mulai hari ini berbelok pada keteraturan Sekolah. Berjibaku dengan dunia penuh Aksara yang di kelilingi Bintang Auriga yang menakjubkan. Hidupnya emang gak sembarangan, seolah dia ada untuk memeluk mereka, melindungi saat musim pancaroba yang kerap kali datang. Selain nama keren yang kebetulan, bertemu dengan generasi homosapiens membuat hidupnya menyenangkan sekaligus menyebalkan. Ditambah generasi milenial yang katanya anak micin malah membawa badai, ikut memporak-porandakan literatur dunianya. Bumi juga manusia kalau kalian lupa. Tapi semangatnya untuk Antariksa gak usah ditanyakan lagi. Antariksa itu napasnya, tanpa mereka dia gak bakalan menjadi Bumi yang keren. Eh definisi Antariksa yang bener itu apa sih?

Ninaf · Realistic
Not enough ratings
3 Chs

Awal rotasi

Keras kepala hanya akan membuat lo jadi mahkluk Alien yang diacuhkan

-Aksara

°

Akhirnya masa-masa penindasan itu  berakhir. Ternyata jadi manusia bebas itu emang anugerah yang patut disyukuri.

Gue jadi ngerti satu hal, gak semua manusia suka dengan peraturan, gak semua bakalan senang diatur ini itu, meskipun itu demi sebuah tujuan atau masa depan. Yah apapun itu.

Pantas saja gue sering nemuin anak remaja yang santai banget bentak-bentak ibunya. Dikasus ini, mungkin keliatan banget kalau si anak yang salah dan keterlaluan, setuju banget gue dengan opini semacam itu. Tapi gak bisa dong kita hanya menilai dari satu sudut pandang saja.

Bagaimana kalau ternyata si Ibu sumber dari ke-tidaksopannannya? Naif memang ya?

Gue cuma berkesimpulan, dari hasil riset yang gue lakukan terhadap anak-anak yang menyambangi  rumah singgah Bunda. Dimana mereka gak cuma berasal dari latar belakang hidup yang monoton tapi juga cukup kompleks.

Hari itu seperti biasa, tiap sore gue pasti keliling diantara deretan rumah penduduk. Selain nyalurin hobi ngumpulin bibit tanaman, gue juga mencoba mengenali dunia mereka yang serba pas-pasan. Setiap gue berjalan dari gang ke gang lainnya, warna-warni lingkungannya beda-beda, bahkan gue pernah shock melihat anak seusia gue lagi dibentak-bentak anak kecil yang umurnya  ditaksir dua tahun di bawah gue.

Lagi-lagi soal pergaulan. Lagi-lagi perihal didikan orang tua yang terlalu keras. Menjadi sosok otoriter itu dampaknya nyeremin. Salah-salah si anak bisa mengalami kerusakan mental.

Setelah gue berhasil mendapat lima bibit pohon yang berbeda, gue gak langsung pulang kayak biasanya. Gue duduk sebentar memperhatikan Cakrawala yang berwarna orange kemerahan. Gak berselang lama gue denger orang yang lagi ngebentak-bentak, suaranya lumayan kenceng padahal dari tempat gue agak jauh.

Gue kaget, ternyata yang dia bentak itu usianya udah tua. Wanita paruh baya itu menunduk, raut wajahnya nampak pasrah, tidak ada kemarahan yang tersirat di wajahnya yang mulai berkerut. Gue yang melihatnya tertegun, sebegitu sayangnya dia sampai balik menegur pun gak mampu. Disini gue berasumsi sama, anak itu keterlaluan!

Gue yang tak tahan segera menghampiri keduanya, membuat anak seusia gue menoleh tak suka.

" Bisa gak, ngomongnya gak pake bentak-bentak?" Gue agak mendorong cowok itu, menatapnya tajam.

" Ibu gak papa?" Ibu itu menggeleng.

Gue menelisik cowok itu, gak salah lagi ini pasti anak-anaknya Bunda, dengan kasar gue seret cowok itu menjauh, dan gue gak nerima protesan. 

Sekalipun Ibunya berteriak  meminta kami kembali.

Gue menghempasnya di tempat pertama tadi duduk. Cowok itu tersungkur ke depan, ringisannya membuat telinga gue tuli sementara.

" Bisa lo jelasin?" Tanya gue datar.

Gue menatapnya geram. Dia-yang tak lain adalah Dion memalingkan wajahnya. Menunduk dengan raut wajah sendu.

Kenapa lagi dah?

" Pasti lo nganggap gue brengsek, kan setelah liat yang tadi?" Dion balik bertanya membuat gue mencibir.

Jelas aja! Malah gue ikutan marah dengan kelakuan dia yang tak punya etika itu.

" Malah tanya balik, tinggal jawab aja apa susahnya sih?" Sentak gue.

" Gue kabur lagi. Gue balik lagi ke jalanan, gue-"

" LO! APAA?" Gue memotong ucapannya menatap Dion marah.

Semudah itu dia balik tanpa berpikir bagaimana perjuangan Bunda dan Ibunya selama ini. Gue menetralkan emosi yang hampir meledak. Sialan!

" Dengerin gue dulu bisa!" Dion menatap gue kesal. Dan gue gak suka dengan sikapnya yang ke kanakkan tanpa pikir panjang kayak gini.

" Ibu sama Bapak berantem lagi, Ibu keukeuh  kalo gue harus masuk sekolah favorit, dan Bapak mau gue masuk sekolah Taruna. Gue marah, nilai gue gak bakal mungkin tembus dan gue gak suka kalo Ibu harus keluarin uangnya hanya buat ini. Gue juga gak setuju dengan keputusan Bapak yang mendadak, sebelumnya dia gak pernah bahas ini…" Dion menjeda ucapannya, menarik napas berat. Hidungnya kembang kempis menahan emosi.

" Gue yang selama ini nurut dengan ucapan mereka, lama-lama muak. Gue juga ingin bebas, punya cita-cita sendiri, bakat sendiri bahkan buat hobi pun mereka harus repot  ikut campur. Kehidupan gue dibatasi Bang, padahal mereka tahu kalau anaknya sudah besar bukan balita lagi yang musti diperhatikan 24 jam full."

Gue yang tidak tahu sepenuhnya tentang Dion, mengerjap kaget. Emang sih Dion anak satu-satunya yang secara gak langsung  kasih sayang sepenuhnya terlimpah ke dia. Tapi meskipun begitu sikap dia terhadap Ibunya tetep gak bisa seenaknya gitu lah!

" Tapi, sikap lo seharusnya gak kayak tadi. Lo gak tahu kalo itu nyakitin!"

Kadang gue gak habis pikir, sekuat-kuatnya seorang Ibu dia juga punya hati kan? Apalagi ini yang berani membentaknya adalah anaknya sendiri yang dibesarkan dengan penuh kasih.

" Terus apa mereka juga pernah berpikir sama kalo gue juga sakit disini, tersiksa dengan keotoriteran mereka yang tak mau dibantah?" Dion memandang sinis.

Gue terdiam dengan ucapannya barusan. Menurut isi otak gue yang kadang eror gue nyalahin semuanya. Gue gak punya alasan buat membela salah satunya. Orang tua Dion keliru dalam mendidik anaknya, meski semua orang tua berkeinginan sama ingin memberikan yang terbaik. Tetap jika mereka tak mampu memahami karakter si anak, semua kebaikan itu akan menjadi boomerang ke depannya, dan orang tua Dion gagal dalam memahami  karakter anak tersayangnya. Dion sendiri keliru dengan eforia yang dia ciptakan. Dia tak mampu menolak segala keinginannya, ambisinya terlalu meledak-ledak hingga akhirnya semua itu bebenturan dengan didikan orang tuanya.

" Gue gak punya hak buat ikut campur. Ya, sekalipun gue bisa tetap saja ini adalah kehidupan orang lain. Seharusnya lo yang bertanggung jawab mengenai semua yang terjadi. Mempertanggung jawabkan  tujuan lo ada di dunia ini misalnya. Dengan karakter orang tua lo yang kayak gitu, seharusnya lo bisa paham. Ketika orang tua lo gak bisa memahami lo sepenuhnya, berarti lo gak harus seegois itu menyalahkan kekurangan mereka mengenai lo." Gue menarik napas. Sentimen juga lama-lama.

" Gue akan tetep nyalahin lo, kalo seandainya lo balik lagi ke jalanan," hue menjeda, membasahi tenggorokan yang terasa kering.

" Lo bisa mengabaikan  Bunda tapi lo gak pernah bisa mengabaikan Ibu lo sendiri!

" Gue balik."

Gue menepuk bahunya. Dion butuh sendiri untuk merenungi semuanya. Pilhan dia yang terbaik. Sekalipun harus pergi dari Bumi Cakrawala gue yang cuma anak kemaren sore bisa apa? Gue gak bisa menjamin masa depan dia. Kadang gue cuma bisa ngebacot doang. Pilihan emang berat, karena kadang bisa nyakitin juga.

Gue jadi ngerti satu hal, bahwa segala sesuatunya gak cukup untuk dihakimi dari satu sudut pandang saja. Karena terkadang bisa jadi yang menurut kita benar justru itu salah di mata orang lain. Dan terkadang peraturan ada untuk ditentang, karena kenyamanan perindividu itu berbeda. Yang lebih parah ini, menghapus karakter hanya karena peraturan tidak memasukkan kriteria itu dalam kinerjanya. Kejam ya? Ya, sekalipun kita hapal bahwa peraturan dibuat untuk membatasi setiap tingkah manusia yang kadang kelewat batas akal.

Menurut pemikiran gue, kebebasan itu ibarat pedang. Salah-salah memanfaatkan bisa celaka. Ya, sekalipun semuanya balik lagi ke manusia itu sendiri.

Manusia akan musnah, jika berperang dengan keegoisan saja masih belum bisa.

Sore itu menjadi aktivitas yang paling melelahkan bagi otak gue, banyak hal yang masih belum gue pahami. Bumi ini beneran luas, baru selangkah aja nafas gue udah senin ketemu kamis. Gimana besok-besok ya? Apa gue masih bisa berdiri? Gue harap cuma lelah doang sih. Soalnya gue musuhan sama si Menyerah!

✳✳✳

Hari senin, emang paling bikin males. Dari dua puluh menit yang lalu, gue masih belum beranjak. Padahal upacara gak pernah absen dan Bunda udah dua kali mengetuk pintu kamar.

" Ko, lama sih Dek? Bunda kira tidur lagi."

Bunda menyodorkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi saat kursi hitam itu gue tarik.

" Kalo tidur lagi, entar diomelin Bunda. Rusak dong hari Senin, Bumi," ujar gue dengan tatapan menggoda yang dihadiahi geplakan langsung dari Ayah.

"Sakit Yah! Gitu aja marah!" Gue pun mendengkus kesal. Entahlah, tiap pulang, Ayah pasti mendadak jadi orang sensian.

Bunda hanya tertawa tanpa ada niatan membantu.

" Kamu, mulai banyak tingkah ya. Tadi pagi Bunda kamu kedatangan Ibunya Dion. Kamu gangguin mereka, lagi?"

Gue tersedak. Baru tahu kalau nasi goreng bisa mendadak nyakitin gini.

" Pelan-pelan Dek, ini masih pagi. Gak usah buru-buru." Bunda memijat  tengkuk gue dan menyodorkan segelas air.

Bukan soal itu Bun, tapi gara-gara ucapan Ayah! Rese.

"Bumi cuma gak suka liat orang yang dibentak-bentak apalagi yang di bentak udah tua. Maaf Yah, entar akuariumnya Bumi bersihin deh. Bumi berangkat ya, jemput Aksara dulu." Gue berucap cepat. Tanpa nunggu lama gue pun langsung menyalami tangan mereka dan buru-buru keluar.

" Bumiiiiiiii…."

Gue pun terkekeh mendengar teriakan Ayah.

Senin pagi yang menyenangkan. Ha ha...

Satu-satunya manusia yang paling gue takutin itu Ayah, satu-satunya hero yang jadi idola gue itu, Ayah. Satu-satunya temen curhat gue itu, Ayah juga. Bunda? Dia segalanya buat gue, cinta pertama gue pada manusia bernama perempuan. Gue bukan orang yang hobi tebar gombal sembarangan, karena hobi gue tebar bibit pohon. Ho ho

Soalnya cinta gue udah mati. Males juga gue hidupinnya, ribet!

So? Masih mengira gue playboy? Yo, sini biar gue kasih tau apa itu playboy versi Bumi Cakrawala.

Gue bukan manusia idealis, karena realistis-pun menurut gue perlu. Gue, cowok membosankan yang kata Binar musti banget di upgrade. Ente kira gue komputer!

Jingga nih yang paling eror.

" Bumi, masuk teater sana! Cape gue liat ekspresi lo yang mirip kenebo kering! Atau lo beli dimana kek, biar tiap liat wajah lo, gue gak sawan mulu,"

" Ngaco, lo. Ekspresi gue banyak!"

" Ini nih, contoh manusia yang gak pernah nyadar diri. Kalo diibaratkan ekspresi lo itu mirip jalan tol, lempeng, lurus sekali tikungan langsung tajam."

Dan gue gak paham dengan obrolan si Bintang.

" Semenit ketawa, sejam muka setannya jadi. Temen lo ituh!" Tunjuk Jingga pada Binar.

Gue menggeleng takjub.

Kolaborasi antara Homosapiens sama kaum millenials mah emang beda, beda juga pinternya. Kalo bukan karena nama mereka yang keren- keren dan anti kesosialitaan. Dari awal gue resign jadi Bumi mereka. Soalnya hidup gue makin gak berbentuk. Lebay sih mereka. Padahal gue orangnya humble, itu pun kalo lagi mood sih. He, he.

Ya, gimana sih kalo human apa-apa dikomentarin, habis dinyiyirin malah diikutin. Gak nyadar kalau hidupnya perlu banyak intropeksi. Heuh!

Gue sama Aksara hampir telat. Hampir di hukum berdiri di depan nemenin pak pembina dan diliatin anak satu sekolah. Sebabnya ya itu. Gue bantuin anak-anak Bunda yang lagi-lagi diganggu para preman.

Heran, kapan kapoknya? Emang bogeman gue candu, ya? Masa dua hari sekali gue musti adu jotos, udah mirip jadwal  terapinya Oma aja, bedanya ini terapi tangan sih.

" Lo gak takut, berurusan sama mereka mulu? Kalau mereka dendam gimana?" Aksara menyenggol tangan kiri gue. Gue menatapnya sekilas.

" Gue cuma takut sama Ayah, dan paling takut sama Allooh. Gue gak bisa ngebiarin siapapun berbuat seenaknya terlebih itu di zona gue."

"Dan anak-anak tadi, Bumi Cakrawala lain yang diurus Bunda. "

Aksara terdiam. Gue gak peduli dengan responnya.

" Anak-anak lo suguhi tatapan gitu? Yakin gak pada kabur?"

Lagi-lagi Aksara bersuara, sebetulnya gue paling males kalo pas upacara diajak ngobrol. Terlebih yang diobrolin gak mutu gini. Gue gak mau aja dicap kualat karena gak bisa khidmat dalam mengenang para pahlawan. Upacara diadakan buat menghormati mereka, kan? Bukan ngomentarin orang?

Dan kenapa Aksara musti pusing sama ekspresi gue. Mereka lagi ngadain chalange ya?

Gue gak mendengar suara Aksara lagi, karena selanjutnya suara itu malah tenggelam diantara teriakan yang mendadak riuh.

Sialan! Ini ada apalagi sih?!

"Kita musti ikutan, kan keren tuh Bumi Samudera Bintang." Telinga gue mendadak gatal saat nama itu disebut.

Gue menoleh dan mendapat cengiran lebar khas Bintang.

" Gimana bro, bagus kan? Di jamin paling unik deh nama kita." Gue menatap Bintang gak paham.

" Maksud lo?"

" Jangan bilang lo gak mau ikutan. Gak keren kalo nama lo gak ada!" Bintang mendadak panik. Aksara yang disampingnya mengangguk.

Anjir pada kenapa sih?

" Whatever!  Balik gak lo berdua?" Gue meninggalkan mereka yang tengah bertos ria. Bukan tipe gue kepo, dan bawel juga bukan stylish gue.

Senin ini, orang-orang kenapa pada gak jelas? Salah mimpi kayaknya.

Bodo amat !

✳✳✳

Habis jam kedua, harusnya mapel Inggris. Tapi kelas gue berubah jadi mapel gosip saat gurunya mendadak absen. Gosipnya gak pandang gender, karena nyatanya cowok juga butuh bahan bacotan buat ngakrabin diri.

" Kemaren gue denger, mak lampir habis check in ya?" Fabian cowok paling up to date di kelas membuka forum.

Jadinya kelas yang dihuni 14 cowok mulai duduk dengan formasi yang berbeda.  Enggak sih, sebagian malah asik masing-masing. Kumpulan gue hanya 7 orang dan 20 cewek sudah sibuk dengan make up dan segala keribetannya. Kecuali Jingga sama Binar yang maen nyelonong ke ruang perpustakaan. Bukan buat baca buku,  tapi tidur sambil numpang wifi gratis.  Mereka gak bosen download film animasi si monster dari planet asing. Itu tuh, Stitch sama antek-anteknya.

Punya kemampuan minus bukannya nyari tontonan yang berfaedah. Dasar!

Dan bagusnya lagi si Fabian duduk bareng Bintang yang kelakuan minus 40. Tapi otak oke! Tepat di belakang meja gue sama Aksara.

" Body dia, gak nahan sih," celetuk Rehan si anak futsal ikut menambahi membuat suasana makin rame.

" Nah kalo jalan aset dia ikutan goyang semua."

Yang lain terbahak gue mudeng.

" Temennya apalagi, mantep banget cuy. Wajah chubby-nya bikin pengen nguyel-nguyel." Fabian menggerakkan tangannya di udara.

" Body bagus buat apa, kalo sering kemasukan ular. Rendah banget anjir tipe lo pada." Bintang bergidik dengan obrolan kampret ini. Gue apalagi. Aksara udah fokus sama game online-nya.

"Bum, junior kemaren nyebat di tempat Bang Rido. Emang udah dibolehin, ya?" Ucapan Rano membuat kuping gue mencuat.

" Kode berapa? Kode 12 nyampe 20 kemaren gue bawa kerja paksa."

Memang iya kemaren gue sama anak- anak belajar berkebun, kata Bunda sih biar bisa ngerhargain apa itu kerja keras dan gak lagi buang-buang makanan.

" Kode 5 sama 6. Free dari jam 8."

" Lo berdua ngomongin apaan sih?"

" kacang woii, kacanggg..!!!"

" Kode ena-ena ya? Wahh sialan gak ngajak-ngajak"

" Adowhh, Samudera Hindia ngapain lo jitak gue!" Randi berteriak keras. Dan Aksara melotot tajam.

" Lo kalo urusan begitu cepet peka ya. Jernih dikitlah Ran!" Bintang menggeplak bahunya, membuat Randi kembali meringis.

" Lo berdua hobi banget bully gue."

" Muka lo bully-able Ran!"

" Sialan!" Randi mendengkus kasar.

" Makan yok ah, Ran traktir Ran! Lo kan habis menang balapan."

Randi cengo.

" Aksara lo tau!" Randi berteriak panik. Gue sama yang lain cuma ketawa. Unik aja, cowok bengal kayak dia paling takut kalo hobi balapannya kebongkar adiknya.

" Semua kebusukan lo gue juga tau, Ran. Traktir gih, aib lo aman." Aksara memamerkan smirknya. Dan Randi menekuk wajahnya tak suka.

" Sialan, lo!"

" Woahh Aksara tau bener kalo duit gue udah recehan semua." Rehan berteriak heboh. Rehan dan Fabian segera memegang tangan Randi dan menyeretnya paksa.

"Kita tunggu di kantin ya! Jangan lama keburu mati nih anak." Yang lain hanya terkekeh dengan teriakan Fabian. Gak jelas emang.

" Ko lo bisa tau, No?" Aksara membenahi letak duduknya. Ponselnya sudah kembali ke kantong celana. Bintang pun ikutan mendekat.

" Gue dulunya kayak mereka." Aksara dan Bintang melotot. Bahkan Bintang udah menganga lebar.

" Bedanya, Rano lebih kaya dari gue." Tambah gue yang langsung di sikut Rano.

Memang, ke-empat anggota Antariksa udah tau pekerjaan Bunda, mereka bahkan berencana mampir, tapi Aksara duluan yang pertama ketemu anak-anak. Iya yang di jalanan tadi.

" Ko gue gak percaya, masa sih?"

" Urusannya panjang. Males kalo musti ngedongeng, yang ada lo entar pada tidur. Ayok ah, kantin." Rano beranjak, tapi gue memotongnya.

" Kode 5 sama 6 tiga kali mangkir dari jadwal. Tugas lo beresin. Dion bikin ulah lagi." Rano menatap gue kaget.

" Bumi.. Kebiasaan! Mati aja sana mati! Atau mau gue lelepin di Samudera!"

Rano mungkin  gemas dengan sikap gue yang kayak gini. Tapi gak perlu nyalahin gue juga. Jadwal dia dua minggu ini padetnya udah hampir  ngalahin tugas pejabat negara.

Sibuk muterin kota buat nyari berang-berang kembar. Aneh kuadrat emang. Punya temen gilanya nyaingin orang stres beneran. Rusak dunia gue, kawan!

" Gak usah bawa-bawa gue. Gue gak ikutan! Enak aja lo." Aksara mendengus tak suka.

" Baperan!"

" Ini ke kantinnya jadi apa kagak? Ngebacot mulu, perut gue gak kenyang dengerin bacotan lu berdua." Bintang menatap jengkel.

" Jadiiii.." koor Aksara dan Rano bersamaan.

Kadang jadi manusia gak normal juga  perlu, jadi manusia tanpa aturan perlu juga . Yang jangan jadi manusia yang keras kepala, kata Aksara itu manusia spesies Alien yang wajib diacuhkan.

Iya, kayak gue yang gak bisa sekehendak mengatur mereka. Itu dunia mereka yang gak seharusnya gue tata sedemikian rupa. Ada ruang kosong yang musti gue beri jarak. Rano bener, gue sialan soal etika manusia. Gue terlalu ambisius melakukan sendiri. Kenyataannya, tangan-tangan lain beranjak menggenggam. Tapi, kepala batu gue yang sulit berkata, tolong.

Gue musti belajar percaya, lagi. Dan  kenapa gue jadi abstrak gini sih?

Sepanjang koridor gue cuma menatap lurus, gak tertarik dengan beberapa cewek yang sedari tadi mencari perhatian. Bintang yang biasanya paling berisik soal perempuan kali ini malah cuek. Kalo gue, Aksara sama Rano gak usah ditanya, dari dulu juga begitu. Bodo amat.

Tapi untuk yang ini kayaknya gue gak bisa deh. Sekalipun gue gak mau. Munafik sih gue!

Cewek berambut sebahu, bermata bulat yang tengah duduk di bawah pohon Akasia entah kenapa begitu menarik di mata gue. Gue tahu dia lagi bengong, kebiasaan baru dia akhir-akhir ini. Gue tahu penyebabnya, cuma gak mau lagi ikut masuk ke dunianya. Masa gue habis di hidupnya.

" Kita di meja mana?" Interupsi Aksara membuyarkan pikiran gue.

" Aneh, tumbenan kantin anak sebelas penuh? Pada kelaparan kali, ya?" Celetuk Bintang.

Rano mendorong muka Bintang. "Tuh most wanted sekolah pada ngumpul di sini." Bintang berdecak," pantes aja rame, Bum gabung gak?"

" Kebiasaan! Tinggal gabung apa susahnya," jelas gue.

Aksara dan Bintang udah jalan duluan tinggal gue sama Rano yang sama-sama diam.

" Ada pengedar di sekolah kita, kemaren gue gak sengaja mergokin Aldo lagi make," bisik Rano. Gue gak kaget, soalnya dari lama udah curiga.

Aldo itu, temen nongkrongnya Dion. Anak kelas dua yang saat ini lagi wara-wiri sama anak-anak.

" Sejauh ini, bocor ke anak mana aja?"

" Cuma lo doang Bum, angkatan kita emang paling bandel. Mainnya udah sampe make. Lo liat anak-anak polos di seberang sana? Gue memperhatikan anak-anak yang ditunjuk Rano, " mereka langganan club sebelah, temen gue lagi nyari data mereka," jelas Rano.

Gue menggeleng pelan. Ternyata udah separah itu. Pergaulan yang salah emang gampang banget nyebarnya. Kayak virus.

" Entar malem, jangan lupa. Lo sering mangkir mulu, sekalian lo ajakin deh anak-anak," ucap Rano.

" Gue gak mau libatin mereka terlalu jauh. Tapi, balik lagi kesituasi, bawa lo aja gue keteteran mulu, No!" Gerutu gue. Rano malah terkekeh.

"Ayo, mereka liatin kita," gue beranjak mendahului Rano.

" Woi, lo berdua lama bener. Homoan dulu ya!" Tuduh Fabian. Rano mendengus kejam. Gue cuma tersenyum samar.

" Woi, apa kabar lo!" Cakka menepuk  bahu gue pelan. Dia ketua angkatan kelas dua. Meja ini beneran rame di penuhi cowok-cowok bad boy yang jadi incaran cewek satu sekolahan. Ada Aldo, cowok tajir anak futsal. Anta si anak basket, dan beberapa anak kelas dua yang gak gue hapal semua namanya. Yang paling disegani anak semua angkatan yaitu cowok jangkung yang lagi natap gue datar. Gabriel alias iel, anak kelas tiga kapten basketnya Nusantara. Dan ketiga sohibnya yang lagi sibuk mainin ponsel. Adriel, Vano, Stev.

Setelah kami salaman, gue duduk sebelah Aksara. Yang lain masih berisik ngobrol. Hampir tiga kali sih kita gabung kayak gini. Dan bahasan yang kita obrolin gak jauh dari seputaran motor, basket, futsal sama basis.

"Lo besok, gabung di tim kita. Ada seleksi buat turnamen antar sekolah." Gabriel menyerahkan baju kostim yang gue terima dengan bingung.

" Seriusan, lo bang? Gue kan belum pernah ikut latihan?" Gue menatap Gabriel aneh.

" Gue udah tahu kemampuan lo, pokoknya lo harus dateng besok."

"Sialan lo, yel! Harusnya Bumi gue tarik ke futsal. Anak buah lo,kan banyak!" Protes Cakka.

" Lo juga banyak bege! Anak kelas tiganya pada jago-jago lagian ada Aldo!"

" Tuh anak lagi manja! Belum dapet jatah kali, sensian mulu." Aldo yang mendengar itu lantas menyeringai.

" Ngadu aja terusss.. Lama-lama gue lipstikkin juga mulut lo!" Aldo menoyor Cakka.

" Woy ini basis basket, lo berdua anak mana sih nyempil mulu perasaan." Stev menatap Aldo dan Cakka bosan.

" Gaya lo bang! Biasanya gue juga ngintilin.. Gue sehati cuma beda hobi doang, wajar dong." ujar Cakka, lantas terkekeh. Emang cuma tongkrongan ini yang aneh, gak peduli anak eskul mana selama asik ya gabung. Malah gue ikutan dua eskul, futsal sama basket.

" Berisik!"

" Minggu, bikin acara,lah. Bosen gue nongkrong gak jelas mulu,"  pembahasan beralih. Adriel menatap Gabriel meminta persetujuan.

" Ada villa gue yang di puncak, ngumpul di sana aja, paling kita kesana pas sabtu sore," balas Gabriel. Gue menunduk, paham ujungnya mereka bakal ngapain.

" Bawa anak-anak kita aja, gak usah banyak-banyak," tambah Vano yang diangguki yang lain.

" Lo atur-atur aja deh," serah Gabriel.

Makan siang gue jadi gak berselera, sepanjang gue makan mereka pada sibuk ngebahas rencana apa aja buat entar di sana.

" Masa gue gak tertarik sih, Bum?" Aksara berbisik, gue menoleh dengan mulut masih ngunyah makanan. "Bahas entar, gak enak sama mereka."

Aksara mengangguk. Kita gak ikut berkonstribusi banyak, taulah gimana posisi junior di mata mereka. Bantahan sama usul kita hanya lelucon yang dijadiin bahan ejekkan. Kayaknya anak kelas gue doang yang paling banyak gabung di sini. Bakalan berat tugas gue sama Rano. Kayaknya gue harus libatin anak Antariksa. Yah, anjir.

Senior-senior gue gak ada yang bersih, terakhir yang gue tahu Vano malah udah nyoba rokok. Gabriel sama yang lain paling parah padahal mereka punya banyak potensi yang gak melulu musti di dopping.

Gue gak menyalahkan, itu sih terserah. Tugas gue cuma sampai ngawasi belum ke bertindak. Karena bakal percuma juga, ceramahan gue ujungnya bakalan jadi bahan ejekkan, kalau gak sial ya nyampe makian gak sampe tarik urat.

Kita bubar pas bel masuk. Anehnya temen-temen gue gak ada yang mulai bahas soal acara itu.

" Sekalipun mereka asik, tapi gue gak minat ikut. Mending rebahan anjir ketimbang liatin mereka ena-ena sama ceweknya." Fabian membuka suara, Randi di sebelahnya mengangguk setuju.

" Gue juga males, bikin acara yang laen ajalah." Rehan ikutan menambahi.

" Gimana kalo ke rumah singgahnya Pak bos, bisa seru-seruan kita bareng anak-anak," usul Aksara.

Gue mengernyit.

Pak bos? Gue?

" Lo punya rumah singgah? Wah anjir ko kita baru tau?"

" Makanya biar tau, kesana aja gimana?" Lagi-lagi Aksara nengompori.

" Itu punya Bunda gue. Bukan punya gue," koreksi gue.

" Ya sama aja sih, bos. Kuy lah, kalo ke sana, gue semangat," Rehan malah ikut-ikutan lagi.

" Yakin gak papa? Masa kita gak ada yang ikut? Entar senior mikir yang aneh-aneh lagi," pertanyaan Bintang membuat kita terdiam. Iya juga.

" Lah iya!"

" Jadi gimana?"

" Gue males, anjir!" Fabian mendengus.

Gue menatap Rano yang kebetulan lagi natap gue juga. Kita komunikasi lewat mata. Rano mengangguk pelan.

" Yaudah entar bahas lagi, Pak Nunu udah dateng tuh! " Ucap gue. Mereka mengangguk lantas bergerak menuju kursi, tak lama Pak Nunu mengucap salam dengan lembaran soal ulangan di tangannya.

Eh, Anjir! Hari ini ulangan??????