webnovel

Bab 3. Untuk balas budi

"Anga!" jerit Mauren kesal pada sosok sahabat yang kini tengah menatapnya dengan wajah memelas. Mauren tidak pernah memberikan ekspresi seperti ini, hanya pada Kenanga dan Adrian dia bisa marah, kesal, tertawa, dan juga menangis. Dan kali ini, gadis itu benar-benar dibuat kesal oleh permintaan tolong Kenanga yang sungguh menyebalkan.

"Ren, gue bingung abisnya mau gimana lagi. Nggak mungkin gue nolak, kan?" Kenanga masih berusaha untuk meminta persetujuan Mauren. Gadis ini memang jarang marah, jarang kesal, tetapi saat marah atau kesal wajahnya sama sekali tidak menyeramkan. Malah, di mata Kenanga, wajah imut Mauren terlihat begitu menggemaskan.

"Bisa aja lo nolak. Lo tinggal bilang sama bos lo itu buat nyari pengasuh! Terus juga lo bisa bilang kalau lo itu ada urusan penting yang nggak bisa ditinggal apalagi sambil menjaga anaknya!" Sepertinya ini kalimat terpanjang pertama yang Mauren katakan semenjak memutuskan untuk menjadi pendiam. Gadis itu benar-benar kesal dengan tingkah Kenanga yang seenaknya ini.

Kenanga yang biasanya cerewet dan asal bicara mencoba memendam rentetan kalimat yang muncul di kepalanya. Untuk menghadapi Mauren yang sedang kesal, dia harus menjadi orang yang lebih kalem. Apalagi kini dia sangat membutuhkan bantuan sahabatnya ini.

"Yang pertama, Lesi udah punya pengasuh, tapi mendadak cuti selama tiga hari dan besok baru balik," jelas Kenanga berusaha memberi penjelasan logis kenapa bosnya menitipkan gadis kecil itu padanya.

"Kedua, Pak Raka nggak percaya sama sembarang orang. Itu kenapa beliau titipin Alesia ke gue karena beliau percaya sama gue," sambung gadis dengan wajah kearaban itu berharap penjelasannya mendapat pemakluman dari Mauren.

"Dan karena gue percaya sama lo, maka Pak Raka juga sangat-sangat percaya sama lo juga." Kenanga memasang wajah serius saat mengatakan itu. "Dan satu hal yang penting, Alesia itu suka banget sama lo. Dari ketemu lo itu dia selalu ceritain lo terus ke papinya."

Mauren langsung menatap mata Kenanga dengan pandangan menyelidik untuk kalimat terakhir yang sahabatnya itu katakan. Dan sepertinya kali ini Kenanga tidak berbohong.

"Memang ibu itu anak ke mana?" Pertanyaan yang sejak kemarin mengendap di kepala Mauren. Niatnya tidak akan pernah ditanyakan, tetapi kali ini tentu saja tidak bisa terus diendapkan karena rasa penasarannya begitu mencuat.

"Gue nggak terlalu tahu, kayaknya meninggal. Intinya Pak Raka itu duda yang ngerawat anaknya seorang diri." Kenanga memegang lengan Mauren untuk kembali membujuk sahabatnya ini agar mau menjaga Lesi.

"Sekali, ini yang terakhir." Mauren mengatakan itu sembari masuk ke kamarnya. Kenanga yang mendapat jawaban seperti itu tentu saja langsung berbinar. Dengan senyum lebar diikutinya sahabatnya yang kini sudah duduk di depan laptop.

"Gue langsung bawa ke sini anaknya, ya?" Kenanga pun langsung lari keluar untuk menjemput Lesi saat satu anggukan Mauren berikan.

*

"Papinya Lesi sering pergi malem-malem kayak gini?" tanya Mauren pada gadis kecil di sampingnya. Lesi tampak asik menggambar sesuatu di atas buku gambar yang dibawanya dari rumah.

Gadis kecil itu mengangguk sebagai jawaban, lalu mendongak untuk menatap wajah Mauren yang selalu ketus. "Papi cari uang buat aku, Tan."

Mauren tersenyum tipis, Lesi ini berapa usianya? Enam tahunkah? Sepertinya sekitaran itu. "Terus, kalau papinya pergi Lesi selalu dititipin kayak gini?"

Kali ini Lesi menggelengkan kepala. "Biasanya ada Suster Vina, tapi Suster Vinanya lagi ada keperluan kata papi. Jadi aku dititipin ke Tante Anga, tapi malah sama Tante Anga dititipin ke Tante Ren."

"Tante Anga ada urusan yang nggak bisa ditinggal." Meski kesal dengan sahabatnya yang satu itu, tetapi Mauren tidak mau nama sahabatnya dicap buruk. Lagipula, bukan tugas Kenanga menjaga anak bosnya. Gadis itu memiliki urusan pribadi yang seharusnya tidak boleh diusik karena ini sudah di luar jam kerja.

Lesi tampak mengangguk-anggukan kepalanya seolah-olah mengerti betul penjelasan yang Mauren katakan. "Lesi nggak masalah. Karena Lesi lebih suka Tante Ren daripada Tante Anga. Soalnya Tante Anga berisik banget."

Mauren mau tidak mau tertawa kecil, tawa pertama yang merambat ke matanya. Semenjak meninggalkan rumah dari tiga tahun yang lalu, gadis itu kehilangan banyak hal yang berhubungan dengan kebahagiaan. Bahkan tawa tulus juga ikut pergi dari hidupnya.

"Tante Ren cantik kalau lagi senyum," ujar Lesi tiba-tiba. Senyum Mauren pun lenyap saat itu juga, berganti dengan wajah ketus seperti biasa. Meski tidak benar-benar terlihat ketus karena Mauren termasuk gadis yang memiliki wajah babyface.

"Lesi gambar apa?" Mauren memilih mengalihkan topik. Dilongoknya buku gambar Lesi yang kini menunjukkan beberapa orang berjajar di sana.

Ada sosok laki-laki yang Mauren yakin itu adalah ayah gadis ini. Ada anak kecil yang sudah pasti Lesi. Dan ada dua orang wanita yang kini berdiri bersisihan.

"Ini Tante Ren," ujar Lesi menunjuk wanita yang berada di ujung barisan. Lalu tangan kecil itu bergeser menunjuk gambar satu wanita yang berada di dekatnya. "Dan Tante Ara, calon maminya Lesi."

Mauren mengangguk-anggukkan kepalanya, tidak tertarik dengan sosok yang Lesi sebut Tante Ara. Ada satu hal yang membuatnya penasaran, di sudut jauh dari barisan gambar orang itu, ada satu gambar laki-laki yang sepertinya Lesi buat samar.

"Itu siapa?" tunjuk Mauren. Lalu dilihatnya wajah Lesi yang masih menunjukkan senyuman.

"Itu Om Baik," jawab Lesi masih dengan senyum lebar. Mauren tentu saja bingung mendengar jawaban seperti itu.

"Lesi nggak tahu namanya, tapi om ini pernah nolong Lesi sekali waktu Lesi hampir ketabrak motor. Terus om itu ngasih Lesi ini." Gadis kecil itu menarik tasnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Sebuah gantungan kunci dengan bentuk lumba-lumba.

"Kata om itu, benda ini adalah benda kesayangannya." Mauren yang mendengar penjelasan itu tertegun, menatap gantungan kunci di tangan Lesi dengan pikiran tertuju ke satu tempat. Yaitu tempat penyimpanan benda yang mirip sekali dengan ini. Apakah Om Baik yang Lesi maksud sama dengan teman masa kecil yang selama ini dicarinya?

*

"Sekali lagi saya minta maaf karena sudah merepotkan kamu."

Mauren hanya mengangguk pelan untuk kalimat yang bos Kenanga ini ucapkan. Diusapnya kepala Lesi yang kini berjalan mendekat ke arah papanya.

"Tante Ren, boleh, kan, Lesi ketemu Tante lagi kapan-kapan?" tanya gadis itu penuh harap. Mauren yang tidak ingin mengecewakan Lesi tentu saja mengangguk.

"Kamu boleh main kapan aja ke sini." Rasa sayang yang sering Mauren takutkan itu akhirnya muncul. Nyatanya ada beberapa hal yang tidak bisa dikontrol oleh hati dan pikirannya.

"Oke, Tante!" Lesi terlihat begitu bahagia mendengar jawaban itu.

"Sekali lagi makasih, apa kiranya yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan kamu ini?" ujar ayah Lesi itu sungguh-sungguh. "Saya benar-benar tidak mau berutang budi, jadi katakan apa yang bisa saya kasih ke kamu," lanjutnya.

Mauren tidak memerlukan apa pun, tetapi sepertinya ada yang bisa dia minta. "Saya harap Bapak nggak ngrecokin waktu istirahat sahabat saya lagi. Karena Kenanga juga punya kehidupan pribadi yang nggak bisa terus Bapak ganggu."

Baru saja ayah Lesi ingin menjawab, Mauren malah sudah menutup pintu rumahnya. Tidak peduli jika akan dianggap aneh karena setelah ini dia harap mereka tidak akan pernah bersinggungan lagi.