webnovel

Bab 12. Kebetulan menjengkelkan

"Jadi dia kakak kamu?" tanya Mauren sembari menatap lurus deburan ombak yang kini terlihat di kejauhan sana. Gadis itu menoleh saat tidak mendengar jawaban dari Bumi. Namun, laki-laki itu menganggukkan kepalanya sebagai ganti suaranya yang seperti enggan untuk keluar.

Bumi tidak mungkin menyangkal status hubungan yang dimilikinya dengan Langit. Karena mau bagaimanapun kondisi keluarga mereka, Langit tetap kakaknya. Sebenarnya kakaknya itu tidak pernah bersalah padanya. Dia tidak ingin bertemu dengan Langit karena kakaknya itu terus ingin membawanya pulang.

Mauren tersenyum tipis, takdir benar-benar lucu saat ini. Dia kekasih adik Langit, dan Langit kekasih adiknya.

"Benar-benar lucu," ujar gadis itu dengan senyuman masam. Apakah akan ada berita yang lebih mengejutkan lagi setelah ini? Misalkan Maura dan Bumi saling mengenal mungkin? Kepala Mauren rasanya sedang terlalu ruwet hingga bisa membayangkan banyak hal yang tidak masuk akal.

Bumi yang paham perasaan Mauren saat ini meraih jemari kakasihnya itu untuk digenggam. "Dia pasti bakalan terus gangguin kamu. Gimana kalau kamu ikut aku aja?"

Tawaran yang sangat menarik sebenarnya, tetapi Mauren cukup tahu diri untuk tidak merepotkan Bumi. Laki-laki ini keliling kota untuk melakukan tour, dan kesibukan itu pasti akan terganggu jika ada dirinya. Tidak, Mauren tidak akan mengacaukan kehidupan siapa pun meski Bumi adalah kekasihnya. Berbeda cerita jika mereka sudah menikah nanti. Namun, sayangnya pernikahan tidak pernah menjadi topik pembahasan keduanya.

"Makasih untuk tawarannya, tapi aku nggak bisa," ujar Mauren sembari membalas genggaman Bumi pada jemarinya. "Mungkin udah saatnya aku untuk berhenti kabur." Ada senyuman tipis yang gadis itu tunjukkan.

"Jangan dipaksa kalau kamu belum sanggup." Bumi sebenarnya tidak terlalu tahu apa alasan Mauren kabur dari rumah. Kekasihnya ini tidak pernah menjelaskannya secara rinci. Mauren hanya berkata merasa sangat kecewa pada adik dan ibunya, hal yang tidak bisa ditorelir terjadi. Dan kekecewaan itu menggiring Mauren untuk pergi dari rumah.

Bumi tidak pernah meminta penjelasan detail karena dirinya pun memiliki masalah rumit yang juga tidak bisa diceritakan. Alasannya kabur juga dari rumah bukan hanya karena kekangan ayahnya, tetapi perasaan marah dan sesal yang begitu dalam membuatnya untuk memutuskan pergi. Sebenarnya mereka bukan manusia yang benar-benar saling mengenal, satu sama lain memiliki sebuah rahasia besar yang bisa dibilang aib memalukan keluarga.

"Aku harus sanggup karena kondisinya nggak lagi memungkinkan aku untuk kabur." Mauren menghela napas berat saat mengatakan itu. "Dan yang lebih lucu lagi, Kenanga sahabat aku adalah sekretaris pribadi kakak kamu."

Seperti dugaan Mauren, Bumi sangat terkejut dengan informasi tersebut. Bagaimana takdir bisa berjalan selucu ini?

Mauren tersenyum sendu. "Aku nggak mungkin lagi kabur karena kakak kamu pasti akan menekan Kenanga untuk tahu keberadaanku. Dan keberadaan kamu juga akan mudah ditemukan kalau kita pergi sama-sama. Aku nggak mau ngebuat semua orang repot, apalagi sahabatku, jangan sampai dia kehilangan pekerjaan."

Bumi paham kini keresahan hati tengah dialami oleh kekasihnya, maka segera dipeluknya tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. "Maaf karena aku nggak berguna sama sekali saat ini," bisiknya.

Mauren membalas pelukan Bumi sembari menggelengkan kepalanya. "Jangan ngomong kayak gitu. Mau kamu bisa bantu aku atau enggak, yang terpenting kamu nggak pernah ngecewain aku, itu udah cukup."

Jika biasanya Bumi akan dengan yakin mengatakan jika dirinya tidak akan membuat Mauren kecewa, entah mengapa kali ini dia ragu. Ada perasaan takut yang seketika menyelinap, dia takut suatu saat dia malah akan menjadi orang yang memberi kekecewaan terbesar untuk gadis ini.

"Ya, akan aku usahakan untuk tetap menjadi orang yang selalu kamu percaya dan cintai." Satu bentuk kata naif yang entah bisa diwujudkan atau tidak. Namun, hal itu cukup membuat seorang Mauren tersenyum, dia percaya laki-laki ini akan selalu menjadi yang terbaik dalam hidupnya.

*

"What? Apa lo bilang?" Tanggapan heboh itu muncul dari seberang sana. Kenanga sangat terkejut saat Mauren menceritakan apa saja yang baru dilaluinya. Kejadian yang tidak sempat membuat Kenanga marah karena Mauren pergi ke Bali tanpa mengajaknya.

"Lo pacar adiknya Pak Raka, dan Pak Raka calon suami adik lo. Kenapa jadi kayak cerita novel," bisik Kenanga yang hanya dibalas decapan malas oleh Mauren. "Tapi hubungan Ardian sama Pak Raka juga nggak baik, kan?"

"Ya," jawab Mauren yang sadar jika dia dan Bumi adalah dua orang yang mengalami hal sama. Itu mungkin yang menjadikan mereka cocok dan paham satu sama lain.

"Ardian, belum cerita ke lo soal masalah keluarga yang dia hadapi?" tanya Kenanga hati-hati. Tadinya Kenanga tidak pernah sepenasaran ini dengan permasalahan yang kekasih Mauren itu hadapi, tetapi saat semua orang ternyata saling terkait, Kenanga tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Kan, gue udah pernah cerita. Papanya terlalu ngekang dia, tapi dianya nggak mau dikekang." Hanya sebatas itu yang Mauren tahu, dan dia bisa membayangkan seperti apa hubungan Bumi dengan ayah laki-laki itu.

"Tapi kok gue ngerasa nggak sesimple itu, ya," bisik Kenanga yang merasa yakin semuanya lebih rumit dari yang dibayangkan.

"Gimana bisa simpel?" Mauren tidak terima masalah beda prinsip ini bisa dikatakan simpel. "Saat kita beda pendapat sama orang tua itu bukan masalah sederhana, Nga. Kayak gue yang nggak pernah setuju nyokap gue nikah lagi sama orang yang udah nyebabin bokap gue celaka. Itu nggak simpel." Satu alasan lain kenapa Mauren kabur dari rumah adalah ini. Ibunya menikah lagi dengan sahabat ayahnya, orang yang bisa menjadi penyebab meninggalnya sang ayah.

"Iya, iya, sori," ujar Kenanga berusaha mengalah karena Mauren terdengar kesal. "Mendingan lo istirahat, deh, lo kayaknya capek ati."

Mauren menghela napas, meminta maaf akan sikapnya yang sedikit menjengkelkan sebelum menutup sambungan. Kenanga tidak akan marah karena tahu posisi sulit tengah Mauren hadapi saat ini.

*

Mauren memutuskan pulang di hari kedua liburannya di Bali. Selain karena ada urusan mendadak di kantor tempatnya bekerja sebagai editor lepas, Bumi juga sudah harus terbang ke kota lain hari ini. Kedatangannya ke Pulau Bali adalah untuk melepas rindu pada kekasihnya, maka saat Bumi sudah tidak di sana, maka Mauren pun merasa tempat itu tidak lagi menarik.

"Tante Ren!"

Mauren yang sedang menunggu keberangkatan pesawatnya segera menoleh dan mendapati Lesi sedang berlari ke arahnya. Mata Mauren juga menangkap keberadaan Langit yang berjalan cepat di belakang gadis kecil itu. Mauren pikir ayah dan anak ini sudah pulang dari kemarin, ternyata mereka malah dipertemukan di sini. Jangan bilang pesawat yang mereka naiki sama? Andai tadi Bumi tidak membelikan tiket di class bisnis kemungkinan mereka bertemu pasti akan sedikit, tetapi kali ini sepertinya mereka akan berada di pesawat yang sama.

"Bumi sudah terbang?"

Mauren mengangguk sembari melempar senyum ke arah Lesi yang sedang menceritakan pengalamannya di kebun binatang kemarin.

"Padahal bakalan lebih seru kalau Tante Ren ikut," keluh gadis kecil itu kecewa.

"Nanti kapan-kapan kita jalan sama Tante Ren, sama Tante Ara dan Om Bumi. Mau?" Langit menanyakan itu pada Lesi, tetapi matanya menatap Mauren yang langsung melebarkan mata. Gadis itu mendesis kesal pada rencana asal-asalan yang Langit baru saja katakan.

"Suatu saat itu pasti terjadi, mau bagaimanapun kondisinya, kita benar-benar akan menjadi keluarga."

Mauren memilih diam, dia tidak suka mendebat apalagi yang diperdebatkan adalah hal yang tidak berguna menurutnya. Mauren pikir kesialannya sudah berakhir, tetapi ternyata masih terus mengikutinya hingga ke pesawat. Bagaimana tidak? Kursi Langit dan tempat duduknya berdampingan seolah-olah memang sudah diatur. Atau, jangan-jangan laki-laki ini memang sengaja mengaturnya?