1 Hati yang Luka

"Mas Restu bangun shalat dulu," lirihnya seraya mengusap kulit pipi sang suami.

"Kamu kalau mau shalat, ya sholat aja! Nggak usah gangguin aku tidur deh! Nggak peka banget sih jadi istri!"

"Memang shalat kan kewajiban, Mas. Apa gunanya aku kalau nggak ingatkan suami sendiri."

"Udah sana keluar! Pengertiannya dong, Rain. Aku ini capek kerja pulang malam kurang tidur. Udah di rumah kamu recokin lama-lama nggak betah juga aku nanti!" Seloroh Restu dengan sengut kesal.

Lagi-lagi sebuah penolakan dan cacian yang Rain dapatkan, padahal bukan itu yang ia mau. Sudah hampir dua tahun setelah pernikahannya yang belum juga dikaruniai keturunan membuat sikap Restu menjadi dingin. Semakin hari kehangatan dalam rumah tangga semakin hilang. Rain sadar, ini juga kesalahannya yang sampai sekarang belum bisa memberikan anak pada Restu. Tapi ini juga qadarullah tak mampu dirinya menolak apa yang sudah ditetapkan oleh-Nya.

"Memang aku ini serba salah ya, Mas."

"Ya sudah, Mas Restu tidur lagi, ya. Maaf sudah mengganggu tidur nyenyak Mas Restu." Imbuhnya seraya berjalan meninggalkan sang suami hangy kembali terpejam.

Setelah menunaikan shalat tahajud dan shalat subuh, Rain pun tidak kembali tidur. Ia lebih memilih menuju dapur guna menyajikan sarapan pagi. Selama menyandang status sebagai istri dari Restu Pradiftha, Rain sudah melakukan kewajibannya dengan sangat baik. Lepas tersaji di meja makan, Rain kembali melangkah menuju kamarnya guna membangunkan sang suami. Dengan penuh harap tak mendapatkan sambutan seperti tadi.

"Assalamualaikum, Mas."

"Sudah jam 06.00 pagi. Buruan bangun terus mandi. Nanti telat loh."

"Eeumm ... kamu dari mana saja, Rain?" Gumamnya seraya memeluk pinggang ramping sang istri. Hal itu kontan membuat Rain kaget tak mengerti.

Memang, ini bukan kali pertama bagi mereka. Tetapi, tetap saja ada rasa heran campur senang. Sebab baru beberapa jam yang lalu sang suami memaki dirinya. Eh, kini berubah seperti bunglon saja. Rain tersipu sendiri sebab perlakuan manis sang suami.

"A-aku tadi."

Cup ....

"Morning kiss untukmu, Rain."

"Mas Restu?"

"Ada apa, Rain? Mau dicium lagi? Sebelah mana?"

Rain segera bergeleng pelan seraya tersenyum manis. Memang pantas ia mendapat gelar perempuan dengan sejuta kesabaran. Meski selalu dilukai oleh sang suami namun dengan cepat ia akan segera memaafkannya. Rain menganggap jika kala menyakitinya sang suami sedang hilaf. Rain selalu lapang dada, ia yakin tak selamanya kita disuguhi luka. Semesta itu adil, apalagi pencipta-Nya.

"Ya sudah cepat mandi, Mas. Bajunya sudah aku siapkan."

"Iya."

"Aku turun dulu ya, Mas."

Restu mengangguk seraya berjalan menuju kamar Mandi. Ia tampak biasa saja seperti orang yang tak pernah berbuat salah sebelumnya. Sebagai perempuan sekaligus istri, Rain hanya bisa mengelus dada serta memaafkan kesalahannya sang suami. Bagi Rain itu tadi hanyalah kekhilafan semata.

***

"Cepat, Rain. Keburu telat ini. Ngapain aja sih! Perasaan hanya masak tapi lelet banget!" gerutunya.

"Iya Mas sebentar masih natain bekal kamu."

Restu selalu tidak menyadari akan kesibukan sang istri. Mungkin kebanyakan suami kira pekerjaan istri itu hanya duduk santai. Kenyataan tidak, istri akan lebih lelah ketimbang suami. Mengurus rumah, masak, mencuci, melayani suami, belum lagi Rain masih harus bekerja di toko kue.

Setelah Rain selesai dan bergegas menaiki mobil mereka pun pergi menuju tempat kerjanya masing-masing. Namun kali ini Restu meminta agar Rain berangkat bersamanya. Karena memang toko kue Rain searah dengan kantor milik Restu. Merasa senang pun akhirnya Rain bergegas berangkat bersama Restu. Selama di mobil tak ada sepatah kata obrolan dari keduanya. Sikap dingin Restu kembali lagi dengan cepat.

"Nanti pulangnya aku disuruh naik taxi apa Mas jemput?"

"Aku jemput saja. Lagian nanti aku pulang lebih cepat."

"Oh, baiklah, Mas. Jadi nanti aku nggak perlu pesan taxi."

Restu tak menimpali ucapan sang istri, netranya lebih fokus mendapat aspal hitam. Lagi-lagi Rain diabaikan, tetapi lagi-lagi juga Rain tersenyum sabar. Mobil sport yang mereka tumpangi pun berhenti di depan toko kue milik Rain. Sebelum keluar, Rain pun berpamitan kepada suaminya. Tetapi Rain tidak langsung turun, Ia berharap suaminya akan meninggalkan jejak kehangatan di kulit kening tersebut. Rupanya tidak, hatinya pun teriris perih.

"Ngapain ngelihatin aku seperti itu? Katanya mau turun? Nunggu apa lagi! buruan dong, Rain. Aku keburu siang ini!" ketus Restu.

"Ya sudah aku turun, Mas. Assalamualaikum."

"Waalaikummussalam."

"Hati-hati, Mas. Itu bekalnya jangan lupa di makan ya."

*****

"Mbak, ruangan Pak Restu di mana?" tanya perempuan muda dengan baju tanpa lengan serta paduan rok slim sepaha itu kepada resepsionis kantor.

"Mbak ada perlu apa dengan, Pak Restu?"

"Kasih tahu saja jangan banyak tanya!"

"Mohon maaf, Mbak. Jika tidak ada kepentingan atau janji dengan Pak Restu saya tidak bisa bantu."

"Saya udah ada janji sama Pak Restu. Udah cepat!"

Setelah mendapat petunjuk, perempuan itu pun mencari ruangan Restu. Seketika senyum piciknya mengembang ketika Ia mendapati sebuah ruangan berukuran 8x8 dengan fram kucing tercantol sejajar. Di sana tampak seorang CEO berbalut jas hitam tengah duduk termenung. Kontan suara high heels menggema memenuhi ruangan.

"Halo! Darling apa kabar?"

"Kenny!"

Restu menoleh, ia tampak kaget bukan main ketika mendapati sosok perempuan yang ada di hadapannya. Jantung berdetak kian tidak beraturan, amarah yang sudah tidak mampu Ia tahan pun ingin sekali dilontarkan. Namun Restu sadar, tak sepantasnya berlaku seperti itu kepada perempuan. Mimik wajahnya datar sesaat.

"Ngapain kamu ke sini?"

"Kangen kamu, darl."

Dengan tingkah manjanya yang tiba-tiba memeluk Restu, anehnya tak ada penolakan dari dalam diri CEO tampan berkumis tipis. Alih-alih menolak, tangan Restu malah membalas pelukan itu dan melingkarkannya di pinggang Keny. Perempuan dengan pakaian minim tersebut sontak duduk di atas paha Restu.

"Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Kenny?"

"Aku mau minta maaf sama kamu, Darl. Dan aku ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau, kan. Maafin aku?" lirihnya manja dengan desah napas yang ia buat-buat.

"Perihal itu aku sudah memaafkanmu. Turunlah! Ini di kantor jangan bertingkah semaumu sendiri!"

"Oh Lord! Thank you darl." Lagi, Keny kembali memeluk Restu dan menghujaminya dengan kecupan panas. Seolah-olah ia tak mendengar perkataan Restu tadi

"Aku rindu permainanmu, Darl. Malam nanti kita makan bersama, ya?"

"Maaf, aku sibuk. Sebaiknya kamu pergi saja!" ujarnya sedikit ketus.

"Ah, baiklah. Tetapi, aku selalu siap menunggu permainanmu, Darl. Datanglah kepadaku kapan pun kamu mau."

"Sudahlah, kita sudah seles ...." Belum rampung Restu berujar, Keny sudah lebih dulu menautakn bibirnya di atas kulit bibir Restu. Restu kontan diam terkejut tapi lagi-lagi dia tak menolak.

Restu yang sedari tadi menikmati perlakuan Keny pun bersikap sangat luluh bak orang yang sedang dihipnotis. Setelah saling bertukar nomor telepon, Keny pun memutuskan untuk pulang ke apartementnya yang kebetulan terletak di kota Bekasi juga.

Di lain sisi, Rain sangat menikmati kehidupan fatamorgana ini bersama para donat dan juga kuenya. Rain memang sangat mahir dalam hal masak memasak. Tak diragukan jika donat buatan gadis berparas ayu tersebut disukai oleh banyak orang.

"Mbak Rain," sapa salah satu karyawannya.

"Iya, Za."

"Mbak Rain, gimana sudah isi atau belum?"

"Belum, Za. Mungkin belum rezeki Mbak." Ungkapnya seraya tersenyum kecut.

"Sudah coba konsultasi sama dokter, Mbak? Saudara saya di kampung juga ada yang seperti Mbak Rain. Malahan dia sudah tujuh tahun menikah belum dikasih rezeki loh, Mbak."

"Belum sih, Mas Restu suka nggak ada waktu dan ya tahu sendiri, kan. Mbak suka sibuk. Terus saudaramu itu gimana, Za? Sudah punya anak atau belum?"

"Alhamdulillah, Mbak. Sekarang sudah mempunyai anak. Karena setiap satu Minggu sekali mereka ke terapi herbal," jelas Liza dengan penuh keyakinan yang membuat Rain tersenyum lega. Setidaknya masih ada harapan untuknya mempunyai anak.

"Terus terapi itu di mana, Za?" tanya Rain penasaran.

"Di kampung saya, Mbak."

"Oh, terima kasih infonya, Za. Nanti kalau sudah ada waktu luang kami insyaallah ke sana."

"Iya, Mbak. Kabarin aku ya biar nanti aku ajak main ke rumahku."

"Iya, siap."

***

Restu memang benar-benar pulang lebih awal. Ia begitu tergesa-gesa tak seperti biasanya. Meski pulang lebih awal namun toko kue Rain bukanlah tujuan utamanya. Kehadiran perempuan tadi rupanya mampu mengusik otak serta kejantanan milik Restu.

"Kamu di mana, Ken?"

"Aku di apartemant, Darl. Ada apa? Kamu merindukanku ya?"

"Kirim alamat apartemantmu sekarang, aku akan ke sana."

Setelah mendapat alamat tersebut, Restu pun segera melesat menuju apartement Keny. Menyisiri keramaian ibu kota dalam gelapnya bahagia dalam rumah tangga. Setelah sampai, Restu segera menemui Keny. Selama berada di dalam apartement, keduanya pun saling mencumbu. Tanpa Restu sadari ada hati yang sedang Ia sakiti.

"Darl? ngapain ke sini sih?"

"Apa aku tidak boleh bertemu dengan perempuan yang aku cinta?" Entah berasal dari mana kata-kata itu. Tiba-tiba terucap dari mulut Restu dengan begitu mudah mengalir seperti air.

"Kau masih mencintaiku, Darl? Ah, tampaknya tak perlu kau jawab aku pun sudah tahu jawabannya."

Kepalang sudah bagi Restu untuk menarik kata-katanya kembali. Mereka pun menghabiskan waktu di dalam apartement hanya berdua. Menghabiskan sisa senja dengan cara mereka masing-masing. Tanpa keduanya sadari, malam tiba menebar sunyi. Saat sadar, Restu terlonjak sebab Ia lupa jika Ia sudah melupakan janji untuk menjemput istrinya.

Restu sesegera mungkin merapikan diri dan bergegas menuju kediaman sang istri. Tak lagi menghiraukan Keny, Restu justru gugup serta keringat dingin mulai membanjiri.

"Pukul 08:23 malam! Astaga!"

"Rain, maafkan aku," lirihnya lagi

Restu terus bermonolog sembari mengemudi roda empatnya. Perjalanan sore hari memang kerap macet, sebab banyaknya lalu lalang kendaraan yang melintas membuat perjalanan melambat lebih lama.

Dering telepon memecah kegelisahan Restu. Ia menoleh ke arah suara tersebut. Tampak di layar kaca tertera nama seseorang yang baru saja masuk ke dalam mahligai rumah tangganya. Sama halnya seperti badai, Keny mungkin patut disebut seperti itu.

"Darl, kamu di mana? Kenapa pulang sih! Nggak bilang lagi!"

Restu tak membalas pesan tersebut, secepat mungkin ia menghapus seluruh riwayat telepon serta pesan masuknya hari ini.

Gemuruh klakson merdu mengaum bak singa yang sedang meneriaki diri Restu. Bumi serta isinya seolah-olah marah sebab jahatnya ia yang mencoba untuk membuka pintu hingga mempersilakan badai datang guna memporak-porandakannya. Mungkin semesta juga akan mengutuk siapa saja yang mencoba menanam duri luka.

-Bersambung-

Wah Restu! Kau minta dikutuk sama Tuhan ya!

Halo, jangan lupa untuk review yaa

avataravatar