1 Semua di anggap salah

Braakk….

"El, dimana baju saya? Kenapa belum kamu siapkan? Saya sedang buru-buru, sebentar lagi meeting. Kau ini becus tidak sih jadi seorang istri?" Teriak ku, dengan begitu nyaring nya, mungkin jika ada orang yang mendengarnya akan merasakan sakit di telinganya luar biasa.

Seorang perempuan muncul dari balik pintu masuk kamar ku, dengan begitu tergesa-gesa setelah aku berteriak barusan.

"Ada apa, mas?" Sahut nya sambil menatap ku ketakutan.

"Kamu ini ngapain saja hah? Suami mau berangkat kerja, semuanya belum kamu persiapkan. Kau tidak tahu, saya itu sedang ditunggu oleh klien di kantor?" Cecarku dengan membuat bola mataku, hampir keluar saat bicara padanya.Kesal juga sih sama wanita ini, tapi terkadang ada rasa kasihan juga padanya. Apalagi jika dia memasang wajah yang seperti itu, ah rasanya aku tidak sanggup untuk menatap nya.

Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau sampai luluh akibat muka polosnya tersebut.

"Mana persiapan nya? Saya sudah telat ini, klien sudah menunggu bisa-bisa dia kecewa dengan saya." Ulangku sambil mendorong Elmeera agar cepat pergi, untuk mempersiapkan semuanya.

"Di tunggu klien, atau pacarmu? Jujur saja toh mas, aku juga sudah tahu kau main api di luar!" Sindir Elmeera dengan wajah kecutnya.

Mendengar hal itu, ingin rasanya aku menampar pipinya ini. Gigiku sudah bergerutu saling mengadu, juga kepalan tangan ku sudah ku kepalkan dan siap ku layangkan pukulan. Namun, aku urungkan niat terhina itu. Aku harus ingat apa yang dikatakan oleh mamah dulu sebelum dia wafat. Aku tidak boleh main kasar pada wanita, karena itu sama saja aku menyakiti mamah ku.

Ah, lebih baik aku panas-panasin saja dia dengan perselingkuhan yang sudah dia tuduhkan terhadap ku.

"Itu bukan urusanmu saya mau bertemu siapapun." Sahut ku, mulai ku coba untuk membuat dia kebakaran jenggot.

"Apakah mas sudah tidak memperdulikan lagi perasaan ku? Aku ini istri sah mu, aku butuh kasih sayang juga nafkah dari mu."

"Nafkah? Berapa kau mau minta nafkah dari saya?" Ujar ku menghampiri Elmeera, lalu bertanya tentang nominal uang yang aku pikir Elmeera inginkan hal itu.

"Seratus juta, dua ratus juta, atau satu miliar? Sebutkan saja nominalnya, akan saya lakukan tanggung jawab sebagai seorang suami." Imbuh ku mengeluarkan selembar kertas kecil, lalu ku tulis nominal uang di kertas itu.

"Bukan itu yang aku butuhkan, mas." Elmeera memalingkan pandangannya, ke arah seberang. "Cintamu, juga sentuhan mu. Perlakukan aku seperti istrimu, yang sepantasnya!" Tambah Elmeera seraya menyapu bulir bening yang sesekali keluar dari matanya.

"Heh! Kau mau itu? Jangan pernah berharap itu terjadi, saya tidak akan pernah mau menyentuh bahkan memberikan mu nafkah batin! Ingat itu!" Tak ku sangka, tanganku mencengkram keras lengan Elmeera hingga dia meringis kesakitan.

Mungkin saking kesalnya aku pada perempuan yang aku nikahi beberapa bulan ini, hingga membuat aku melakukan kekerasan terhadap nya.

"Sakit, mas." Lirih Elmeera dengan netra berkaca-kaca.

Tersadar setelah Elmeera mengeluh kesakitan, hingga ku lepaskan kembali cengkraman tangan ku. Ingin sekali ku ucapkan maaf, tapi ku buat bibir ini terbungkam. Dan tetap ku lakukan dengan kasar hingga membuat Elmeera goyah. Pasti wanita ini kesakitan, bukan hanya pada tangan nya tapi yang lebih dominan ada dalam lubuk hatinya.

Sebenarnya aku juga tidak ingin seperti ini, aku sangat mencintai dan menyayangi nya. sebelum aku tahu kalau Elmeera bukan dari keluarga Kauren, dia adalah wanita kedua yang aku paling sayangi setelah mamah. Bahkan hingga saat ini pun rasa cinta itu masih ada dalam hati ku, tapi apalah daya ku jika aku ingat dia terlahir dari keluarga Kauren maka rasa benci ku akan mengalahkan nya. Mengingat apa yang telah mereka lakukan, terhadapku juga mamah dulu.

Meskipun kini aku dan Elmeera berada satu atap, tidak mengubah perasaan benciku terhadap dirinya. Bahkan selama pernikahan itu terjadi, tidak pernah ada keharmonisan sama sekali.

"Ada apa lagi dengan Tuan, kenapa setiap hari dia hanya marah-marah? Kasihan nyonya," lirih wanita paruh baya yang bekerja sebagai asisten di rumah ku.

Mungkin sudah dari tadi dia berada di depan pintu kamarku, sehingga dia mendengar pertengkaran kami.

"Mbok sedang apa disitu?" Tanyaku penasaran.

"Oh maaf Tuan, saya sudah lancang! Bukan apa-apa, saya hanya memberitahu Tuan jika mobil sudah siap." Jawabnya dengan tergugup. Terlihat jelas di wajah keriputnya, jika dia ketakutan. Takut kalau aku akan marah setelah mendengar gerutunya barusan.

"Hem. Sebentar lagi saya keluar, setelah bajunya siap. Atau mbok bisa siapkan itu sekalian, biar lebih cepat lagi?" Ujarku sekalian ku perintahkan dia di hadapan Elmeera.

"Mas….!" Elmeera menyela pembicaraan dengan Mbok.

"Iya, kan ada nyonya? Apa saya tidak mengganggu?" Sahut mbok Sukarti merasa tidak nyaman.

"Tidak apa mbok, lagian dia juga tidak becus jadi istri. Bisa-bisa saya terlambat pergi, gara-gara dia yang siapin. Orang lelet kaya gitu di andelin, bikin sial aja." Hardikku kesal.

"Apalagi ini, mas? Bukannya kamu yang tadi minta aku siapin kopi? Makannya aku pergi ke dapur." Elmeera membuat pembelaan untuk dirinya di depan mbok Sukarti.

"Iya, seharusnya kamu itu lebih cepat El, jangan lelet kayak gini! Bikin kopi ya bikin kopi, tapi bisakan siapin baju dulu? Lebih cekatan dikit lah, jangan ngelawan aja bisanya! Ngomong doang cepet, tapi dalam hal melayani suami leletnya minta ampun." Desisku kesal.

Wanita yang kini berdiri di antara kami hanya terdiam seraya menundukkan kepalanya, seakan enggan menatap ke arah kami yang kini sedang bertengkar. Apalagi melihat ku sudah semakin emosi, mbok Sukarti terlihat gemetaran.

Ya, bukan tidak asing lagi dengan pertengkaran di telinga penghuni rumah ini. Hampir setiap hari, bahkan setiap waktu aku marah terhadap Elmeera. Entah masalah besar, maupun kecil sekalipun tetap saja aku akan seperti ini.

Aku tidak tahu apa yang dirasakan oleh Elmeera saat ini, mungkin dia ingin sekali menyerah dan berbicara tidak sanggup dengan sikap ku. Akan tetapi, mau dikata apa lagi. Kedua orang tua Elmeera tidak pernah Percaya dengan aduannya. Sebab, aku bermain cantik dengan semua ini. Aku akan bersikap baik dan penyayang jika sedang berada bersama kedua orang tua Elmeera.

Sehingga membuat Elmeera selalu disalahkan oleh kedua orang tuanya, andai dia mengadu.

"Sebenarnya aku sudah siapkan baju untuk, mas pergi." Sela Elmeera melangkah menuju sebuah meja yang nyatanya sudah tersedia beberapa potong baju di sana.

"Ini mas." Ulang Elmeera seraya menyodorkan satu stel pakaian ke hadapanku.

'dan aku sudah tahu itu El!' membatin.

Ku ambil baju itu, lalu buat Elmeera merasa lelah akan sikapku.

"Apaan ini! Baju seperti gini kamu siapkan untuk aku Meeting? Ya ampun Elmeera, kau ini ud*k banget sih. Tidak tahu selera waktunya bertemu dengan klien besar, atau dengan orang rendahan. Nyesel banget saya menikah dengan mu. Kampungan!"

"Maksud mas, apa? Menurutku semua baju kantor sama saja seperti ini modelnya." Elak Elmeera memastikan apa yang dia siapkan layak aku gunakan untuk meeting.

Ya memang tidak ada yang salah dengan baju itu, ini hanya alasanku saja yang dibuat ribet. Mungkin pikiranku yang salah, bukan pelayanan Elmeera sebagai seorang istri.

"Enyahkan baju sampah ini dari saya! Saya tidak sudi memakai pakaian seperti ini, bikin malu saja." Seperti biasa, aku menolak apa yang disarankan oleh El.

Aku tahu ini bukanlah diriku yang sebenarnya, bukan ini juga keinginan ku. Dulu sangat sabar, penyayang juga lembut, kini berbanding terbalik. Padahal jika di ingat, pernikahan kami belum menginjak tiga bulan. Seharusnya saat ini aku juga El, sedang hangat-hangatnya di mabuk cinta, layaknya para pengantin baru.

Namun, semua itu tidak nampak di dalam kehidupan rumah tangga kami. Bahkan sehari setelah ijab kabul itu dilaksanakan, aku tidak pernah sekalipun menyentuh Elmeera. Yang katanya orang bahagia nya ketika akan melewati malam pertama, tapi itu tidak aku berikan kepada wanita yang ku benci ini. Aku buat dia seperti berada dalam neraka, hingga tak sanggup untuk hidup lagi.

Sekecil apapun kesalahan yang Elmeera lakukan, itu akan menjadi kesulitan untuk Elmeera sendiri. Aku juga tidak pernah memperlakukan Elmeera layaknya seorang istri, nafkah batin yang seharusnya Elmeera dapatkan tidak pernah dia dapatkan dari ku.

"Ambilkan lagi yang lain, saya perlu berangkat ke kantor!" Usir ku dengan mengibaskan tangan ke arah Elmeera.

"Cepetan, jangan lelet gitu!" Bentakku seraya duduk di ujung ranjang tidur size besar, yang seharusnya jadi saksi bisu bahagianya sepasang suami-istri.

"Yang ini mas. bagaimana kau suka?" Elmeera menyodorkan pakaian yang telah dia persiapkan untukku berangkat kerja.

"Hem! Simpan saja di situ, nanti saya pakai!" Ujar ku yang sibuk dengan ponsel di genggaman tangan ku.

"Siapa mas?" Tanya Elmeera mendongakkan kepalanya ke arah dimana letak ponsel itu ada. Rasa curiga nya begitu besar terhadapku, mungkin karena sikapku yang tiba-tiba berubah kepadanya.

"Ngapain kamu? Minggir!" Aku mendorong tubuh Elmeera agar menjauh dariku.

"Aku hanya ingin tahu saja, bagaimana wajah perempuan itu. Sampai-sampai membuat kamu berpaling dari ku."

"Jelas berbeda dari kamu," hardik ku mengundang rasa sakit hati lagi untuk perempuan ini.

"Dalam hal apa, mas? Jika kau ingin, aku siap berubah menjadi dia untukmu." tutur Elmeera penuh keyakinan akan hal itu.

"Berubah? Kau mau berubah?"

"Iya mas. Demi membuatmu bahagia dan mau kembali padaku aku rela. Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku ubah dari sikap ku?"

"dalam segala hal. apapun itu, dan tidak ada yang kurang sedikitpun. termasuk melayani saya sebagai suami dengan baik. Ini juga salah satunya." Ku tunjukkan baju yang di persiapkan oleh Elmeera, lalu ku kenakan pakaian yang dipersiapkannya.

"Semoga saja tidak salah lagi, sehingga Nyonya terbebas dari kemarahan Tuan." perlahan aku mendengar mbok bicara lagi, sebelum dia pergi.

avataravatar
Next chapter