webnovel

Another One For You

Berawal dari pembicaraan iseng, akhirnya Alfa benar-benar terikat dengan Elion yang terus mencoba terlibat dengannya. Mengabaikan fakta bahwa usia mereka terpaut 9 tahun; bahwa Elion baru saja dibuat patah hati oleh mantannya yang menikah dengan laki-laki lain; bahwa Elion adalah kakak dari sahabatnya, Alfa memberanikan untuk menyatakan perasaannya pada laki-laki itu. Alfa pikir dia beruntung memiliki Elion yang selalu bersikap dewasa, supportif, pengertian, juga memiliki hubungan yang baik dengan papa Alfa. Namun, ternyata nggak semudah itu. Hubungan mereka nggak semudah yang Alfa bayangkan dari awal, hingga mereka menemui titik jenuh dan memutuskan untuk saling memberi jeda. Namun, jeda itu berhenti pada akhir yang berbeda dari harapan Alfa sebelumnya. *note: Selamat membaca (◍•ᴗ•◍) silahkan follow Instagram @cnsdav_ (untuk visual dan sneak peek). Terima kasih ^^

CANES · Teen
Not enough ratings
286 Chs

JEMPUTAN (2)

Ditanya soal 'siapa yang ditaksir' oleh orang yang dia taksir membuat darah di bawah kulit Alfa mendidih. Pertanyaan semacam itu belum dia perkirakan bakal terlontar dari mulut Elion sendiri.

"Muka lo kenapa tuh?"

Dengan segenap ketenangan yang masih tersisa, Alfa menghela napas. "Jangan ngeledek. Ada kok yang aku suka, tapi masih rahasia. Kalau dikasih tau ke Kak Elion, entar bisa-bisa bocor ke Bianca."

"Jadi, Bianca belum tau juga?"

"Cuma aku sama Tuhan yang tau. Bahkan Ari juga sama sekali nggak tau."

Elion mengangkat alisnya. Dua kali dia mendengar nama Ari disebut tanpa ditanya. Karena itu, dengan seringaian jahil, Elion menebak, "Lo suka sama temen lo yang namanya Ari itu?"

Sontak, Alfa mendelik tak terima. "Nggak ya! Buat apa naksir cowok posesif kayak gitu? Lagian dia udah ada cewek. Mana sudi aku suka sama cowok yang jelas-jelas udah ada pasangannya."

"Ngomong-ngomong," Alfa menyela sebelum Elion banyak tanya. Mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kak Elion dari mana? Atau emang sengaja mau jemput?"

Untuk sejenak, kedatangan bakso dan pasangannya menginterupsi percakapan mereka.

Lalu, setelah mas-mas penjualnya berlalu dari meja mereka, Elion menggeser satu mangkuk ke depan Alfa, kemudian menjawab, "Gue habis bawa motor ke bengkel. Deketan situ. Jadi, sekalian aja barengin kalian balik."

"Pakai mobilnya siapa?"

"Bapaknya Arega."

Sejak lama, Alfa punya keinginan sederhana. Diperhatikan oleh laki-laki selain Ari. Sebutlah Alfa kurang perhatian, tapi dia jelas gadis remaja normal yang kadang iri melihat hubungan teman-teman seusianya.

.... Seperti yang tengah Elion lakukan.

Alfa menahan senyumnya melihat Elion meraih garpu dan sendok, lalu mengelapnya menggunakan tissue.

"Kalau mau nambah bilang," katanya sambil meletakkan sendok dan garpu—yang baru saja dia lap—di mangkuk Alfa.

Kalau saja Alfa lupa dia masih punya urat malu, sudah barang pasti gadis itu guling-guling saking senangnya. Terlepas dari fakta bahwa Elion adalah kakak Bianca. Terlepas dari motif laki-laki itu memperlakukannya demikian. Sebab, satu hal pasti, Elion membuat keinginan Alfa menjadi nyata.

"Iya."

Sebenarnya, Alfa tidak tahu alasan dia menaruh hati pada Elion. Dia memang mengakui penghuni rumah Bianca tak ada yang buruk rupa. Singkatnya, Elion memang punya wajah rupawan. Tapi kalau Alfa ingin jatuh hati pada laki-laki rupawan, di sekitarnya bukan hanya ada satu-dua. Bahkan Ari yang sebegitu dekatnya dengan Alfa suka dilirik kakak-kakak kelas sebelum akhirnya memacari Stevani. Nawasena juga. Atau Erik anak IPS yang senang nongkrong di kelasnya. Intinya, banyak.

.... Dan di antara spesies laki-laki bertampang rupawan itu, Alfa malah sempat menjatuhkan perasaannya pada Fariel dan Yusuf—yang artinya Alfa benar-benar tak menaruh hati karena wajah tampan mereka.

Hening cukup lama di antara mereka. Hanya ada suara musik yang membuat Alfa mengangguk-anggukkan kepalanya samar, mengikuti ritme lagu.

"Terus Kak Elion ambil cuti?" Alfa menoleh, merasakan sengatan di jantungnya saat menyadari Elion tengah menatapnya.

Tapi laki-laki itu terlihat santai. Terlampau santai sampai menatap mata Alfa. "Gue balik gara-gara resign."

"Kan baru sebulan. Kok udah resign? Tempat kerjanya nggak nyaman?"

Jantung Alfa berdetak tak karuan. Karena itu, demi menyelamatkan wajahnya yang kembali memanas, gadis itu mengembalikan setengah dari perhatiannya ke mangkuk bakso, menyendok isinya hanya untuk dimainkan.

"Anggep aja gitu." Terdengar helaan napas Elion. Alfa jadi melirik lewat ekor matanya, mendapati Elion menyuap baksonya sebelum bertanya. "Prospek nggak ya kalau gue bikin semacam food truck?"

"Terus nomaden gitu?"

Walau geli dengan pemilihan kata yang Alfa gunakan, laki-laki itu tetap merespons. "Hn."

"Yah, jaman sekarang sih mau usaha apa aja prospek. Cuma, pinter-pinternya penjual bikin produknya menarik. Kalau yang dijual agak 'melenceng' gitu biasanya lebih banyak peluang buat dicari konsumen. Mau pakai gerobak dorong, food truck, bahkan buka outlet ... nggak ngaruh sih. Yang penting produk sama strategi marketingnya aja."

Sebenarnya Elion tak mengharapkan apa pun saat bertanya begitu. Tapi ternyata Alfa menanggapinya cukup baik. Dan sekarang Elion jadi melihat Alfa yang punya 'citra' daripada Alfa yang hanya hobi adu mulut dengan Bianca.

Gadis itu menoleh lagi pada Elion yang tengah menyesap tehnya. "Emang rencananya mau jual apa?"

"Belum ada rencana. Gue baru kepikiran soal food truck aja."

Melihat Alfa mengangguk-angguk paham, Elion kembali bertanya, "Lo ada ide?"

Tapi Alfa jadi tercengir. "Kalau idenya dari aku entar pembagian komisinya mau gimana?" Saat ekor matanya menangkap Elion yang mengangkat sebelah alisnya, gadis itu tertawa kecil. "Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Jangan lupa, gini-gini aku tetep anak pengusaha."

Ah, pantesan, batin Elion.

Cukup menjelaskan kenapa Alfa bisa bicara seperti tadi. Bukan karena gadis itu pintar di mata pelajaran, tapi dia cukup belajar dari mengamati orang tuanya. Dan mulai memiliki pola pikir, yang tanpa sadar, menyerupai mereka.

"Aku udah selesai," kata Alfa, lalu menghabiskan minumannya. Saat tangannya hendak merogoh uang di saku kemejanya, Elion sudah lebih dulu beranjak sambil mengeluarkan dompet. Membayar pesanan mereka, dan minta dibungkuskan 2 porsi lagi. Untuk Bianca dan Riani.

Untuk alasan apa pun, Alfa mengakui Elion adalah tipe laki-laki yang diam-diam bersikap manis.

Membelikan roti bakar untuk Meli yang memang sangat menyukai makanan itu.

Mentraktir Alfa makan hanya karena tahu Alfa belum makan sejak pagi.

Bahkan membungkuskan makanan untuk dua adiknya.

Kurang apa lagi Elion di mata Alfa? Jawabannya jelas tidak ada.

Elion memperlakukan perempuan di keluarganya dengan baik. Padahal, katanya, laki-laki yang baik adalah laki-laki yang memperlakukan ibunya dengan baik. Karena itu, Alfa jadi semakin berdebar.

"Kenapa senyum-senyum?" tanya Elion yang duduk lagi di samping Alfa, sambil menunggu pesanannya jadi.

"Nggak apa-apa. Kak Elion emang sebaik ini ya sama Bianca?"

Pertanyaan Alfa membuat Elion mengangkat alisnya, setengah geli.

"Bukan apa-apa, cuma ... biasanya kan saudara normalnya kayak Bianca sama Kak Riani. Ribut-ribut, tapi Kak Elion kayaknya kalem banget kalau sama Bianca."

"Wajar kalau gue baikin Bianca. Dia kan adik gue. Malah aneh kalau orang-orang menormalisasi saudara yang hobinya ribut mulu." Lalu matanya memincing pada Alfa. "Lo sendiri, nggak pengen punya saudara?"

"Nggak. Nanti aku kurang perhatian."

Bohong. Sebenarnya sejak lama Alfa merasa kesepian. Dan sesekali bosan saat wajah Ari yang harus muncul setiap kali dia sendirian.

"Kalau kurang perhatian ya cari perhatian."

Alfa tercengir. Tak bermaksud untuk membalas perkataan Elion.

Kadang pun dia iri pada Bianca, yang katanya tinggal minta ini-itu; yang katanya bisa cari ribut dan diperhatikan oleh kakak laki-lakinya; yang katanya pernah dipeluk saat demam.

"Terus apa bedanya sama gue, Fa?" Ari pernah bertanya begitu, dan Alfa tidak yakin dia bisa menjawabnya sampai sekarang.

_____________