webnovel

Mawar Tanpa Duri

Awan gelap dan gerimis menemani langkah kecil seorang wanita pagi itu, ia terus berjalan pasti kearah lokasi yang begitu sepi, lokasi yang enggan orang datangi dimusim hujan seperti ini. Ia mengenakan dress berwarna hitam, dress yang sangat sopan membalut tubuh mungilnya yang ramping.

Dengan kerah menutupi leher indahnya, dress itu juga berlengan panjang yang memiliki kancing sebagai pengait dipergelangan tangan. Dress kembang berbahan sutra halus dibawah lutut, bergerak indah seirama langkah dan angin yang meniupnya, wanita itu juga memakai selendang hitam berenda yang menutupi sebagian rambut halus bergelombang miliknya.

Sepatu Flatshoes hitampun menambah kecantikan kaki jenjangnya. Segala apa yang ia pakai sangat kontras dengan warna kulit putih yang ia miliki. Sempurna tanpa cela meski hanya mengenakan pakaian berkabung sederhana. Tetap terpancar keindahan karena ia lah sipemakai.

Setiap mata yang memandangnya akan berdecak kagum dengan kecantikan yang ia miliki, tidak berlebih tapi jauh dari kata kurang. Ya!, wanita itu adalah Anna yang saat ini menuju makam suaminya untuk menghabiskan waktu berjam-jam.

"Nona" sapa seorang petugas penjaga makam. Anna yang sudah masuk kearea komplek pun menoleh kearah sumber suara.

"Sebaiknya nona tidak berlama-lama hari ini, hujan sepertinya akan kembali turun dengan deras." kata petugas paruh baya itu sopan penuh perhatian kepada Anna. Anna yang mendengar itu hanya mengangguk sebagai jawaban dan kembali melangkahkan kakinya.

Ekspresi tenang tanpa emosi membuat Anna lebih terlihat seperti dewi kematian.

Ia berjalan anggun dengan payung hitam guna menghalau air hujan agar tidak membasahinya. Lokasi kuburan yang sepi dengan kehadiran sesosok Wanita cantik yang berpenampilan serba hitam, disertai langit yang mulai gelap membuat suasana semakin suram dan mencekam.

******

"Fateh, apa kabar mu hari ini?, apa pelukan bumi lebih hangat dari pelukan ku?, biasanya kamu akan memelukku dengan erat jika hujan begini, dengan alasan tubuhmu memerlukan penghangat agar tidak beku, padahal aku tau itu hanya alasan mu saja agar bisa memelukku." Tutur Anna yang sudah berlutut didepan batu nisan.

Dengan air mata yang mulai menetes bersatu dengan air hujan, ia memejamkan mata dan membayangkan Fateh ada bersamanya saat ini. Payung yang berfungsi untuk melindunginya dari hujan telah ia letakkan disisi lain, lalu ia duduk tepat disamping makam dan membelai sayang gundukkan tanah yang ia hayalkan itu kepala suaminya. Ia tak menghiraukan tubuh dan bajunya sudah kotor dan basah.

"Tadi malam kamu hadir dalam mimpiku, kamu begitu nyata tapi aku tidak bisa menggapai mu." Isaknya pelan. Senyum getir terukir diwajahh cantiknya kala mengingat mimpi itu.

"Kamu berharap aku hidup bahagia tanpa mu, itu adalah hal yang paling mustahil sayang," lanjutnya lagi dengan nada putus asa. ia berbicra seolah sosok yang sudah terkubur itu dapat mendengarnya.

"Saat ini hidupku bagai Mawar yang kehilangan durinya, kehilangan pelindung dan sumber kehidupan, katakan padaku bagaimana mawar itu bisa bertahan?, itulah aku yang sekarang," ucapnya sembari menabur bunga segar dari ujung kepala sampai kaki.

Hingga harum bunga itu menyeruak disekitar makam yang dekat dengannya, kata demi kata yang keluar dari bibir indahnya menyiratkan sakit yang luar biasa, tak ada balasan dari apa yang ia ucapkan.

Hanya keheningan dan hujan yang turun dengan deras menjadi saksi dan pendengar yang baik dari suara hatinya. Ia melipat kedua tangannya diatas gundukkan tanah serta menunundukkan kepala dan memejamkan mata, terdengar isakan pilu yang menyayat hati dari bibir mungil itu.

" Fateh, bawalah aku bersamamu, aku berjanji tidak akan merepotkan mu disurga," lirihnya dalam keputus asaan.

*****

"Nona Anna yang sekarang meskipun tetap cantik tapi sangat menakutkan." Ucap petugas makam lainnya.

"Ya, seolah nona muda yang kita kenal dulu ikut pergi bersama suaminya," sahut petugas paruh baya itu saat membenarkan ucapan rekan kerjanya. Ia sangat iba melihat nona muda itu.

"Padahal mereka orang yang sangat baik, tapi sudah berpisah diusia yang sangat muda," timpalnya dengan nada prihatin.

"Kelahiran dan kematian adalah milik Allah, tidak peduli tua muda, miskin kaya, jahat atau baik, jika janjinya sudah tiba maka tidak ada jalan untuk menolak ketetapannya," jawabnya menimpali ucapan rekannya. Karena sejatinya hidup adalah misteri.

*******

Seluruh keluaraga Al-Ghifary dan keluarga Wijaya sedang berkumpul diruang tamu, karena keluarga Wijaya akan kembali kerumah setelah seminggu menginap dirumah Al-ghifary untuk mengikuti tahlilan.

Terlihat Rani yang sibuk dengan anak kembarnya Zikra dan Zura, serta Ammar yang berbincang dengan Fitra, sedang Alya berpelukan dengan Fania karena menangis kala mengingat nasib adik mereka, sedang nyonya dan tuan besar hanya bisa memandang lemah anak-anaknya.

"Anna, belum juga kembali Mar?" tanya Wijaya pada Ammar saat ia dan istrinya sudah tiba diruang tamu.

"Belum, Bahkan Anna tidak mengizinkan aku atau Alya menemaninya pak," jawab Ammar lemah. Ia bergegas membantu sang ayah membawa tas. Ia sungguh frustasi karena penolakkan Anna.

Wijaya dan Lusi hanya bisa menghela nafas lelah, sebab ia dan istrinya juga mendapat penolakkan dari putri bungsunya itu, bukan tanpa alasan semua yang terjadi begitu rumit dan menyakitkan untuk Anna. Yang bisa mereka lakukan saat ini hanya menunggu Anna menyesuaikan keadaan.

"Ya sudah, kita tunggu saja beberapa hari lagi, biarkan dulu Anna seperti ini, kita tidak bisa memaksa," Putusnya. Ia tidak ingin Anna semakin tertekan jika terus dipaksa untuk bicara atau dengan mereka.

"Ya, hanya itu yang bisa kita lakukan saat ini, ini berat untuk kita, tapi Anna yang lebih besar menanggungnya," ucap Zakaria membenarkan ucapan besannya.

"Baik, kalau begitu kami pamit, dan saya titip Anna," ujar Wijaya kepada Zakaria.

"Dia putriku juga, aku akan menjaga dan menjaminnya dengan kesungguhan hati," jawab Zakaria pada Wijaya, lalu mereka berpelukan sebagai tanda perpisahan begitupn dengan yang lainnya.

"Tentu, aku sangat percaya itu," jawab Wijaya sembari mengurai pelukan dan tersenyum hangat. Tentu ia tidak perlu ragu sebab Anna selalu diperlakukan baik oleh seluruh anggota keluarga menantunya.

Lusi berjalan kearah Maira yang berdiri disebelah suaminya. Ia berhenti dihadapan besannya ini dan berkata, "sebagai ibu, aku mohon maaf atas Anna, karena ia banyak menerima kasih sayang Fateh. Aku tau arti Fateh buatmu, tapi kumohon jangan salahkan Anna atau membencinya, jika kamu ingin membenci seseorang maka salahkanlah aku, aku tidak sanggup jika harus melihat Anna lebih menderita dan merasa bersalah karena rasa bencimu, sungguh aku tidak sanggup. Hiks ... Hiks ..Hiks," ucapanya pada Maira dengan terbata, serta tangan yang mengatup memohon maaf.

Dengan menggelang kuat Maira mengambil tangan Lusi lalu memeluknya kuat. "Anna juga putriku, jangan berkata seperti itu, aku adalah ibu yang buruk dimasa lalu dan aku cukup membenci diriku sendiri karena itu, jadi kumohon jangan mengatakan hal ini, aku tidak ingin putraku yang sudah tenang disurga merasa kecewa karena melihat mamanya tidak berubah, Fateh menitipkan Anna pada kita, jadi kita harus menjaganya dengan baik, maukah kamu menggandeng tanganku demi kebahagiaan Anna?, dan juga maafkan dulu aku yang begitu buruk padanya," ucapnya dengan kalimat terbata bercampur isakan tangis namun tetap terdengar jelas bagi Lusi serta yang lainnya. Lusi begitu bersyukur karena Maira telah mencairkan hatinya untuk Anna.

"Tentu saja, Anna putri kita tentu kita berdua harus menjaganya," jawab Lusi sambil mengurai pelukan dan menghapus airmata Maira begitupun dengan Maira.

Fitra dan Ammar melangkah mendekati ibu mereka dan membawanya ke pelukan masing-masing. Wanita yang paling berharga buat mereka, menguatkan satu sama lain adalah cara mereka untuk bertahan dengan harapan esok akan lebih baik. Tapi Apakah mungkin!.

*******

"Anna."

Next chapter