webnovel

25. Cuma

Bella menuangkan teh untuk suaminya. Setelah kepergian anaknya tadi, suaminya makan dengan sangat tenang. Mengabaikan sang istri yang sudah lama tidak dijumpainya.

"Ed, tadi bicara apa sama Rei?"

"Bukan apa-apa." Bella menghela nafas, meletakkan pisau dan garpunya pelan.

"Selalu saja jawabannya bukan apa-apa. Apa kamu gak bisa biarkan Rei memilih jalannya sendiri?"

"Untuk tidak meneruskan perusahaan tidak bisa. Untuk masalah berteman aku tidak pernah melarang."

"Tidak pernah melarang, tapi kenapa dulu Keila tiba-tiba bisa meninggal? Kalau bukan kamu siapa lagi?!" Edy menggertakkan gigi, memahan emosinya. Bella tak kalah emosi dengan menatap suaminya tajam.

"Sudahlah, kita sedang makan. Jangan bahas kematian orang disini." Bella menurutinya dan kembali menyuapkan makanan kedalam mulutnya.

Nasibnya yang sedikit kurang beruntung, mendapatkan suami dan anak yang sulit dihadapi.

*

Lily bergulung-gulung di kasurnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja dilakukannya pada Angkasa.

Lily menutup wajahnya dengan bantal. Berteriak sekeras mungkin, menjadikan bantal itu peredam suaranya.

Lily membuka hpnya saat sebuah notifikasi pesan masuk.

"Selamat anda berhasil." Lily mengeja kata-kata yang terdapat dalam pesan itu. Lily tersenyum senang, mengetahui pengirim pesan itu adalah Angkasa. Lily kembali bergulung-gulung dikasurnya.

Lily berhenti bergulung dan langsung duduk tegap, saat sadar sebuah emoticon menggambarkan wajah marah tanpa sengaja terpencet dan terkirim pada Angkasa.

Bodoh!

*

Lily turun menuju dapur dimana bau harum masakan mamanya dipagi ini menyeruak masuk ke indra penciumannya dan mengaktifkan perutnya yang minta di isi.

Penampilan Lily benar-benar berantakan, masih dengan piyama tidur, rambut yang tidak disisir, hanya wajah yang dibilas air.

Lily duduk dimeja makan, menunggu mamanya menghidangkan sarapan paginya. Dengan malas Lily menaruh kepalanya diatas meja makan. Masih mengantuk, tidak bisa tidur nyenyak karena Angkasa tidak kunjung membalas pesan penjelasannya semalam.

"Ly, kok belum mandi?" Lily menatap mamanya sebentar. "Habis makan."

"Ya udah nanti jangan sampe telat."

"Iya ma."

Lily dan mamanya terkejut melihat Aster sudah rapi mengenakan baju basketnya. Pasalnya kaki Aster belum sembuh total walaupun sudah bisa berjalan dengan baik.

"Mau kemana lo dek?"

"Turnamen basketlah."

"Gak boleh! Kamu masih izin sampe hari ini. Kenapa maksa ikut? Atau malah dipaksa karena kamu tim inti?"

"Wow, santai ma. Kali ini aku cuma cadangan. Ya mama sama kakak pasti tahu kalau cadangan banyak duduknya ketimbang lari dilapangan."

"Lily gak percaya ma. Jangan percaya omongan Aster." Aster menatap kakaknya tajam, seakan berkata jangan ngomong macem-macem.

Desi menghela nafas kasar. Berfikir, dari mana kedua anaknya mendapatkan sifat keras kepala itu? Desi rasa dirinya tidak seperti itu, dan orang yang sebentar lagi jadi mantan suaminyalah yang mungkin menurunkannya.

"Ya udah. Tapi inget ya. Jangan banyak lari. Jadi cadangan aja. Udah besar harus bisa jaga diri sendiri."

"Yesss!" Aster menggoyang-goyangkan jempolnya, mengejek kakaknya yang gagal mencegahnya keluar rumah. Lily memberengut kesal saat tahu mamanya mengizinkannya begitu saja, tanpa mencari tahu lebih dalam.

Mama Lily menghidangkan omlete mi di meja. Tak menunggu lagi, Aster segera menghabiskan omlete itu dengan cepat, membuat Lily dan mamanya terperangah.

Aster menghabiskan susunya tandas dan langsung menteng tasnya. "Ma, Aster berangkat dulu." Segera setelah mencium tangan mamanya, Aster langsung berlari keluar rumah.

Tinggal Lily dan mamanya berdua, makan dengan tenang, tanpa keributan dari Aster.

"Ly, mau tambah?" Tawar Desi, ketika melihat anaknya yang tak segera bersiap menuju sekolah saat piringnya sudah kosong.

"Enggak ma." Lily kembali terdiam dan tidak segera beranjak untuk mandi. Kini hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring milik mamanya.

"Ma." Desi menatap anaknya penuh tanda tanya.

"Kenapa Ly?" Lily menggeleng, tak jadi mengatakan apa yang ada diotaknya, tentang ayahnya yang kemari beberapa hari lalu dan ingin mengambil hak asuh Lily dan Aster.

Tapi Lily rasa, Lily tak ingin beban pikiran mamanya kembali menumpuk. Terlebih mamanya kini akan menjadi single parent dan bekerja siang malam agar Lily dan Aster tidak merasakan kekurangan sedikitpun.

"Enggak jadi ma. Lily mandi dulu." Lily menginggalkan mamanya yang masih bertanya-tanya dengan apa yang tidak jadi diucapkan anaknya.

*

"BA!" Lily terkejut dengan hebat saat Yuli mengagetkannya dari belakang.

"Ngagetin aja." Yuli tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Lily yang seketika menjadi pucat hanya karena dikageti.

"Lagian jalan kayak zombie aja lo. Ngelamun aja kerjaannya. Masih pagi juga." Ucap Yuli sambil mempraktikan cara berjalan Lily yang katanya seperti zombie.

"Eh Yul sini deh." Lily menarik Yuli lebih merapat padanya.

"Beberapa hari lalu papa gue dateng."

"Terus? Mama lo tau?"

Lily menggeleng. "Pas itu, kebetulan Aster sama kak Sean habis kecelakaan. Jadi mama sama Aster lagi gak dirumah."

"Lo sendirian? Lo gak diapa-apain kan?" Lily menggeleng. "Pas itu Angkasa tahu gue ketemu sama papa. Cuma aku suruh dia pulang. Tenang aja, sekarang aku masih sehat kan?" Yuli menghela nafasnya lega.

"Lihat aja kalau berani ngelukai lo lagi, gue bakal lapor ke om gue yang polisi. Bisa-bisanya buat luka baru disaat yang lama bekasnya belum hilang." Lily memegang belakang lehernya merinding, mengingat perihnya luka sayatan itu.

"Bukan itu yang penting sekarang."

"Terus?"

"Jadi papa gue datengkan. Bilang kalau dia mau ambil hak asuh gue sama Aster. Terus masa kemaren papa gue bilang mama aku gak becus jaga anaknya!"

"Gila! Berani-beraninya mau ngakuin lo sama Aster setelah apa yang kemaren dilakuin. Pake ngehina mama lo lagi."

"Sssst. Jangan keras-keras."

"Terus gimana? Kok proses perceraiannya bisa lama banget?"

"Itu karena mama gue mau pidana in papa gue dulu. Gue gak mau ikut papa. Gimana caranya supaya rencana papa gue buat ambil hak asuh gue sama Aster gagal? Om lo polisi kan? Tanyain dong."

"Lo gak bilang ke mama lo?"

"Belum. Gue takut." Yuli berfikir sejenak.

"Setahu gue sih Ly. Kalau anak masih balita, pokoknya yang masih bergantung sama mama. Bakal dikasih ke mamanya. Tapi buat anak yang udah besar kayak lo sama Aster itu agak susah, soalnya secara materi ayah pasti dianggap lebih mampu. Terlebih dengan kebutuhan anak yang semakin gak sedikit, kebanyakan bakal jatuh di ayah."

"Yah, gue gak mau ikut papa gue ke Malaysia."

"Tapi kalau salah satu pihak terbukti melakukan kekerasan, gak mungkin diberi ke pihak yang melakukan kekerasan itu. Sekarang tinggal mama kamu berhasil apa enggak, buat papa lo terpidana. Kalau berhasil ya kelar masalah." Lily mangut-mangut. Mencoba memahami hal-hal rumit yang tetjadi dikehidupannya.

"Btw, Papa lo tinggal di Malay?"

"Iya, perusahaan selingkuhannya ada disana."

"Yah nanti lo ldr dong sama Angkasa."

"Gue gak ada hubungan apa-apa sama Angkasa. Cuma temen."

"Oooh. Cuma temen?" Lily dan Yuli menoleh kebelakang, tekejut melihat Angkasa yang menginterupsi percakapan mereka.

Dengan santai, Angkasa berjalan melewati jalan antara kedua orang yang mematung itu.

Setelah Angkasa sedikit menjauh. Lily dan Yuli saling bertatapan. Sejak kapan Angkasa sudah dibelakang mereka? Mendengarkan sampai mana percakapan mereka?

Lily berjalan kesamping, menabrakan dirinya ke tembok. Sial!

___

silahkan tinggalkan komentar

jika suka jangan lupa berikan powerstone yaa

Next chapter