1 1. Malam Panjang

Bulan sangat terang malam ini. Tanpa ada awan yang menutupi sinarnya. Sudah hampir pukul dua belas malam. Sebentar lagi, sampai bulan tepat berada diatas kepala Lily.

Baru pertama kalinya Lily menjadi tenaga perbantuan untuk sebuah pusat perbelanjaan dan baru pertama kalinya Lily pulang selarut ini.

Lily hanya ingin mendapatkan satu pengalaman sebagai pekerja harian, namun nyatanya Lily hanya dapat lelah dan gaji yang tidak sesuai. Besok lagi jika diajak Yuli dia gak akan mau.

Lily berhenti berjalan saat melihat gang gelap yang ada didepannya. Lily merasa sangat takut melewatinya, terlebih pernah ada kejadian bunuh diri di gang ini.

Tapi Lily terlalu lelah untuk memutar arah lewat jalan yang lebih jauh.

"Bismillah, imanku kuat." Setelah meyakinkan dirinya bisa melewati gang gelap itu akhirnya Lily melangkahkan kaki menuju jalanan tanpa cahaya lampu.

Saat Lily baru melewati seperempat jalan gelap, Lily merasakan ada yang mengikutinya dibelakang.

Lilypun berhenti berjalan, meremas rok sekolahnya dengan tangan yang mulai mengeluarkan keringat dingin.

Kakinya bergetar ketakutan, rasanya berat sekali untuk melangkah. Matanya mulai melirik kebelakangnya.

Seseorang dengan hodie. Seperti penguntit akhir tahun pelajaran kelas satu yang pernah Lily laporkan ke pihak berwajib. Terbukti ingin menyakiti Lily akhirnya penguntitnya itu masuk penjara dengan masa hukuman satu setengah tahun. Tapi bahkan ini belum ada satu semester semenjak Lily masuk kelas dua SMA.

Lalu apakah penguntit lainnya?

Lily memejamkan matanya takut saat penguntit itu menepuk pundaknya. Kemudian dengan gerakan cepat Lily mengambil segenggam pasir kasar di dekat kakinya dan melempar pasir itu kewajah sang penguntit.

"B*ngsat." Seketika umpatan dari orang berhodie itu keluar.

Lily tersenyum senang melihat cara yang selalu dipraktekannya pada penguntit berhasil.

Pria berhodie itu berjongkok, merasakan matanya yang perih.

"Apa? Sakit? Itu cara ampuh gue buat ngusilin penguntit kayak lo. Habis ini gue bakal telfon polisi biar lo dipenjara." Lily tersenyum menang.

"Gue bukan penguntit!" Teriak pria berhodie itu.

"Apalagi kalau bukan penguntit? Orang jelas-jelas ngikutin gue diem-diem gitu. Aku udah pengalaman banget sama orang-orang sejenis lo."

"Gue bilang gue bukan penguntit, gue satu sekolah sama lo." Kata pria itu sambil melempar dompet yang diambilnya dari saku belakang celananya. Pria itu kembali memegang matanya yang terpejam karena perih.

Lily mengambil dompet itu dengan takut, kalau-kalau si pria ini hanya berpura-pura dan saat Lily mengambil dompetnya tangan Lily akan di tangkap.

Lily membuka dompet kulit berwarna coklat itu perlahan. Lily tidak menemukan KTP melainkan hanya kartu pelajar.

"SMA Bina Bangsa."

"Nama Reinan Putra Angkasa."

"Kelas Mipa 2."

"Angkatan 20**."

Lily melihat pria didepannya yang sedang menekan-nekan matanya perlahan. Lily merutuki dirinya yang bodoh.

"Hehe maaf." Lily menghampiri Angkasa yang sedang terduduk ditengah jalan. Dibantunya berdiri agar tidak menghalangi jalan.

"Maaf ya. Soalnya banyak penguntit disini tuh." Lily tersenyum canggung pada Angkasa yang masih enggan membuka matanya.

"Abis sih lo pake jalan dibelakang, kan gue curiga." Lily sekali lagi tertawa sumbang. Lily ingin sekali hilang, eh jangan. Kalau makhluk halus yang denger nanti beneran dibawa hilang kan serem.

"Masih berani pake lo gue? Udah salah juga." Lily gemetar takut saat Angkasa membentaknya, ditambah dengan jalan yang sepi membuat suara Angkasa bergema.

"Iya maaf." Lily menunduk lesu, Ia ingin sekali istirahat, tapi ini juga salahnya. Lily gak bisa kabur gitu aja meninggalkan orang yang kesakitan karena dia.

"Sekarang tuntun gue ke apotik 24jam depan." Angkasa menjulurkan tangannya kearah yang salah.

Lily terkekeh kemudian meraih tangan Angkasa dan menaruh tangan Angkasa dipundaknya. Supaya mereka tidak perlu bergandeng tangan seperti orang pacaran.

"Loh kok pundak sih, gue gak buta ya." Angkasa melepas pegangannya pada pundak Lily.

Lily mendengus, "Lah terus? Gandengan?"

"Iya cepet, gak usah cerewet." Lily menggandeng tangan besar itu keluar dari gang gelap. Ketakutan saat melewati gang gelap hilang entah kemana. Mungkin karena pria tinggi yang sedang sempoyongan berjalan dengan mata terpejam.

*

Lily meniup pelan mata yang jadi korban kekerasannya beberapa menit lalu. Angkasa, siswa yang satu sekolah dengannya.

Angkasa duduk sambil berusaha membelalakan matanya, sedangkan Lily berdiri dihadapan Angkasa sambil sedikit membungkuk agar dapat meniup ditempat yang tepat. Mata Angkasa.

Lily menatap mata berwarna hazel itu penuh penyesalan. Bagaimana bisa Lily melukai mata yang indah itu?

Saat itulah dunia terasa milik berdua. Saat Angkasa menatap balik tatapan Lily. Tatapan mata Angkasa turun ke bibir Lily yang berbalut lipstik merah, make up kerja perbantuan tadi.

PLAK!

Lily menepuk jidat Angkasa keras. Entah mengapa Lily merasa sedikit tidak aman tadi.

"Ngapain sih lo?" Ujar Angkasa sambil mendesis kesakitan, sehabis mata kini dahinya yang memerah.

"Engga kok, udah selesai. Hehehe." Lily mengambil tempat berjarak satu kursi dengan Angkasa. Kemudian mengeluarkan tisu dan dibasahi sedikit dengan air minumnya. Membilas bibirnya yang kering seperti gurun sahara.

Banyak yang menceramahi Lily agar melakukan scrub bibir dan semacamnya untuk menghilangkan bibir pecah-pecah. Tapi tidak ada yang manjur.

Lily membiarkan Angkasa mengobati matanya sendiri. Angkasa mendesis saat obat tetes mata mengenai bola matanya. Matanya memang sudah tidak seperih tadi, tapi masih terasa butiran pasir di bola matanya.

Lily menatap Angkasa dengan perasaan bersalah. Lily memperhatikan jalanan depan apotek biasanya ramai saat jam kerja.

"Sekali lagi maaf ya, aku beneran kaget soalnya. Jadi refleks lempar pasir." Lily bohong, sejak awal Ia sudah berniat melempar.

"A.. apa?" Lily membulatkan matanya tak mengerti saat Angkasa menjulurkan tangannya, kali ini dengan mata yang terbuka dan kearah yang benar.

"Dompet gue mana?" Lily membulatkan mulutnya, tanda mengerti. Segera memberi dompet yang diminta pemiliknya tadi.

Begitu Angkasa menerimanya, Angkasa langsung membukanya. Memeriksa kelengkapannya.

"Kartu debit gue mana nih?" Lily segera merogoh kantong roknya, mengambil benda pipih itu dan memberikannya pada Angkasa.

"Oh ini." Lily bergetar takut saat Angkasa menarik kartu debitnya dengan kasar.

"Tanggung jawab lo gitu amat? Cuma nganter kesini aja." Sindir Angkasa yang merasa orang yang melukainya tidak bertanggung jawab penuh.

Lily sebenarnya juga berniat membayar tetes mata itu, tapi uang gajinya belum cukup. Uang sakunya? Sudah berubah jadi seonggok makanan yang turun ke perut.

"Kan bukan sepenuhnya salahku, salah kamu juga ngagetin aku." Lily yang tadinya bicara lantang langsung menciut saat Angkasa menatap tajam dirinya. "Gak ada yang tahu beneran kan? Bisa jadi kamu beneran penguntit yang satu sekolah sama aku?" Lanjut Lily pelan, namun Angkasa masih bisa mendengarnya.

Lily yang tahu ditatap tajam oleh mata yang sedikit merah itu segera mengalihkan pembicaraannya.

"Btw, foto yang di dompet pacar kamu ya? Cantik banget loh.." Tapi setelah Lily mengatakan itu, entah mengapa Angkasa menjadi kesal dan terlihat menahan amarahnya.

"Kamu sendiri ya, yang ngasih dompet ke aku. Gak boleh marah." Lily bangkit dengan cepat dari duduknya, sembari berjalan selangkah demi selangkah menjauhi apotek.

"Kayaknya mata kamu udah sembuh. Jadi aku pulang duluan ya." Setelah mengatakannya Lily langsung berlari menyebrangi jalanan sepi dan masuk kedalam gang gelap tadi.

Lily sudah terlalu lelah untuk takut pada gang gelap. Lily lebih takut punggungnya akan memiliki lubang, karena Angkasa tidak melepaskan tatapan matanya sampai Lily benar-benar hilang dari penglihatannya.

*

"Ly!"

Lily yang merasa terpanggil langsung mengangkat kepalanya malas.

"Astaga mayit!" Ceplos Yuli saat melihat teman sebangkunya memiliki lingkar mata hitam.

"Gara-gara lo nih." Lily mendramatisir dengan berpura-pura menangis.

"Gue baru duduk ya ini." Yuli memutar bola matanya merasa belum melakukan kejahilan pada temannya satu ini.

"Gara-gara pulang kerja semalem nih, gue jadi ngira orang kelas sebelah penguntit." Lily menyenderkan kepalanya dimeja menghadap Yuli.

"Kelas sebelah? Ips 1?" Lily menggeleng.

"Mipa 2?" Lily menganggukkan kepalanya lemah.

"Lah emang kenapa?"

"Jadikan gue kira dia penguntit yang kayak kemaren itu lho, si Jonson apa Jason itulah."

"Nah, masalahnya dimana?" Ujar Yuli tak mengerti.

"Masalahnya itu, dia gue lempar pake pasir. Kena matanya dong, obat tetesnya mahal, gue gak bisa bayar."  Lily mengacak-acak rambut panjangnya frustasi. Lily rasanya ingin menangis, tapi tidak bisa.

"Hahaha. Serius? Siapa sih orangnya?" Yuli malah tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Lily. Lilypun beranjak dari rasa lemasnya untuk memukul Yuli yang mentertawainya.

"Namanya Angkasa." Yuli mengernyit, Yuli adalah bank informasi di sekolahnya. Tapi Yuli baru kali ini mendengar nama yang disebutkan Lily tadi.

"Nama panjangnya?" Lily berfikir keras. Tapi sedalam-dalamnya Lily menggali ingatannya, Lily tidak ingat. Menyerah dengan kemampuan otaknya, Lily menggelengkan kepala pasrah.

"Pokoknya gue mau ngehindarin dia aja. Mau berangkat pagi terus kayak hari ini biar gak ketemu." Lily kembali menenggelamkan kepalanya diatas meja.

Yuli hanya mengangguk-angguk mengerti dan menepuk bahu temannya untuk menguatkan, tapi yang ditepuk malah seperti orang kerasukan. Berteriak sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Untung keadaan kelas masih sepi.

*

"Jangan telat."

"Udah gue belain lari dari jalan macet didepan."

"Gak boleh telat."

"Semoga gak ketemu Angkasa."

"Gerbangnya gak boleh tutup dulu."

Serentetan doa Lily lontarkan bak dukun yang sedang komat-kamit. Baru beberapa hari ini Lily sudah mengingkari janjinya sendiri, untuk tidak terlambat.

Lily berlari di trotoar, menyela diantara motor yang melanggar peraturan akibat macet. Rambutnya yang panjang berayun-ayun kesana kemari, tak sedikit yang menempel di pipi atau leher karena keringat.

"Pak bentar!" Teriak Lily pada satpam sekolahnya yang hendak masuk untuk menutup gerbang sekolahnya. Lily mempercepat laju kakinya.

Ber

Ha

Sil!

Lily menyeringai puas dapat melihat gedung sekolahnya dari dalam halaman sekolahnya. Saat hendak melangkah menuju kelas, Lily dihentikan seorang guru yang sedang piket.

"Kenapa juga pas bu Santi yang piket sih?" Ujar Lily pada dirinya sendiri. Bu Santi sudah sangat terkenal pemberi hukuman yang berat. Sial sekali Lily hari ini.

"Kalian berdua yang terlambat ikut ibu." Ujar Bu Santi sambil satu persatu menunjuk anak didiknya.

"Berdua?" Lily rasa tadi hanya dirinya yang berlari mengejar pagar yang hampir tertutup.

Sesaat kemudian Bu Santi berjalan dan seorang pria berperawakan tinggi berhenti tepat disebelahnya.

"Double Kill." Kesialan ganda, saat Lily bertemu dengan orang yang mati-matian dihindarinya.

"Ayo." Kata pria tinggi itu sembari berjalan meninggalkan Lily yang masih melamun dalam pikirannya.

Bukan itu yang penting sekarang, Lily berlari menyusul Bu Santi dan Angkasa yang sudah jauh didepannya dengan... riang? Lily rasa, Lily malah menantikan pertemuan ini.

Ada yang bilang, mau sejauh apapun kita ingin menghindari seseorang, jika takdir berkata lain, kita tidak bisa menghindarinya.

*

avataravatar
Next chapter