webnovel

Anggasta

Arbi Gemawan Muhazzab bukan CEO tampan layaknya dalam cerita 'khayal' yang membuat para wanita membayangkannya ketika membaca. Dia hanya seorang pria yang memiliki kelebihan mendesain gedung dan rumah-rumah. Sahna Askana Maharani adalah wanita sederhana dengan prilaku anggun keibuannya. Dia mahasiswa, tidak terlalu pintar tetapi juga tidak bodoh, terlahir sebagai anak tunggal tanpa saudara, ayahnya yang seorang pebisnis mulai mengalami masalah tanpa di duga masalah orang tuanya membawa dia dalam 'kerumitan tanpa ujung' melibatkan 'perasaan' yang tak dia paham, namun sangat di rasakan.

Dina_Nurjanah_7988 · Teen
Not enough ratings
4 Chs

Ponsel Lowbat

"Reno tolong keruangan saya sekarang!" tegas Arbi melalui telepon yang terhubung langsung ke meja sekertaris pribadinya

"baik pak"

Tak selang beberapa waktu pintu ruangnya diketuk, Arbi langsung mempersilahkan orang itu untuk segera masuk.

"Ada yang bisa saya bantu pak ?" Tanya Reno yang saat ini berdiri tepat di hadapan Arbi.

"Iya, saya mau kamu undur meeting hari ini, saya ada urusan mendadak yang sangat penting"

Reno langsung memandang lekat sang atasan. "Tapi Pak, sebelumnya saya minta maaf, tapi bapak sendiri kemarin yang menyuruh saya untuk menyetujui meeting hari ini" jawab Reno dengan gugup juga kaget.

Arbi membaca laporan ditangannya, mengabaikan ucapan Reno. Dia memang bersalah karena tidak bisa profesional dan bisa-bisanya lupa jadwal kerja pada hari ini, tapi hari ini juga dia tidak mungkin tidak menjemput Sahna karena dia sudah terlanjur menyuruh Pak Tejo pulang.

Arbi menghelah nafas sesaat lalu memandang Reno yang masih berdiri mematung "Begini saja Reno, sekarang kamu buka email saya, terus kamu tulis ucapan maaf karena saya mengundur waktu meeting hari ini, jadi kamu tidak usah khawatir, Mereka akan mengira saya yang kirim email itu" ucap Arbi mengambil keputusan.

"Baik pak"

Arbi mengambil secarik kertas lalu menuliskan sesuatu dan memberikannya pada Reno "Ini alamat email dan password pribadi saya, langsung kamu kirim saja email permintaan maaf itu"

Reno mengangguk dan langsung mengambil kertas itu. "Baik Pak, kalau begitu saya permisi"

"Ya silahkan, karena itu alamat email pribadi saya, tolong jangan sampai bocor, kirimkan email ke orang-orang yang seharusnya saja" tegas Arbi saat Reno hampir keluar dari ruangannya.

"Baik Pak, saya mengerti"

Pintu tertutup kembali, Arbi melihat jam di tangan dan tersenyum samar. Dia langsung mengambil jas yang tersampir dan kunci mobil lalu berjalan cepat keluar dari ruang kerjanya. Disetiap langkah tak henti-henti Arbi melihat jam ditangannya bahkan sampai mengabaikan pegawai yang menyapa dan memanggil namanya.

***

"Na, lo mau belanja dulu gak ? Filmnya masih setengah jam lagi mulainya" ujar Anita setelah mereka sampai di bioskop, Hari ini bioskop cukup ramai mungkin karena banyak film bagus yang tayang bulan ini.

"Kebetulan gua laper, gimana kalau makan dulu aja ?"

"Cakep! kebetulan nih, gue juga laper banget"

"Oke ayok!"

Aku berhasil melupakan sejenak pikiran jelek yang selama ini terus hinggap diotakku, meski aku tau ini hanya sesaat, tapi ini cukup melegakan hatiku yang belakangan ini terasa begitu sempit dan dangkal.

Hubungan dua manusia sangat rumit, aku tak bisa pergi walaupun aku ingin. Benang-benang kusut ini berhasil melilit tubuh dan jiwaku. Aku menyesal telah melakukan ini, tapi aku juga tidak menyesal karena memang ini jalan terbaik yang bisa aku ambil.

Sampai kapan akan begini ? Aku pun tidak punya jawabannya.

***

Mobil Arbi terparkir tepat di depan kampus Sahna, pria itu sudah menunggu cukup lama di dalam mobil menantikan sang istri keluar kelas.

"Padahal ini sudah lewat jam yang seharusnya, tapi kenapa belum keluar juga ?" gumam Arbi sambil memandangi layar ponsel yang menyala yang menampilkan waktu saat ini.

Menit terus berjalan, terbuang cukup banyak, namun Arbi terus menunggu di dalam mobil dengan raut tegang, ini sudah hampir satu jam dia menunggu tapi tetap tidak ada tanda-tanda Sahna berjalan keluar.

"Ck! kenapa dia belum keluar juga"

Mobil yang tertutup cukup membuatnya kepanasan ditambah pikiran negatif semakin bercabang, Aku memutuskan turun dari dalam mobil untuk mencari langsung keberadaannya.

"Sebenarnya kemana dia !?" Arbi mulai kesal, mungkin lebih tepatnya Dia khawatir, Pria itu terus mencari keberadaan sang istri di sekitar kampus gadis itu, tapi tak terlihat sama sekali dimana keberadaannya.

Arbi mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. "Halo, Apa Sahna sudah pulang ?" Arbi langsung bertanya tanpa menghentikan langkahnya yang terburu.

"Belum Mas, Mbak Sahna belum pulang."

"Oh. Yasudah"

Arbi langsung menutup panggilan itu, perasaannya semakin tidak tenang, terlihat begitu jelas wajah dirinya yang gusar. Dia menghentikan langkahnya, lalu memandang kesegala arah, memperhatikan satu persatu wajah para wanita yang berlalu lalang di hadapannya. Tapi Dia tetap tidak menemukan keberadaan Sahna.

Aku pikir aku telah salah memilih jalan, tapi saat aku menyusuri jalan itu yang aku temukan adalah wajahnya.

Mendadak aku gembira, aku bahkan melupakan perasaan gundah dan pikiran negatif yang sedaritadi bersarang di otakku, aku pikir aku tidak salah memilih jalan.

Menyetujui apa yang Papah berikan ternyata bukanlah hal yang buruk, aku tidak bisa melepasaknnya walau hanya dalam sekali tangkapan wajah.

Meski aku tahu tatapan yang dia berikan adalah tatapan penuh luka, aku menyadari betul luka hatinya, tapi aku juga tidak mau melepaskannya.

Aku sangat egois, saat ini yang aku lakukan adalah bagaimana cara agar tetap menggenggamnya, agar dua tetap dalam jarak pandangku sambil terus mencoba mengobati lukanya.

Aku ingin dai sadar kalau bersamku tidak seburuk itu, Aku ingin dia tau kalau aku bisa mengobati lukanya.

Berbagai cara aku mencoba, tapi rasa benci akibat luka itu membuatku sulit menggenggamnya, aku bahkan kesulitan mengobatinya karena dia terus mendorongku pergi bahkan melukaiku dengan tatapan sinis dan mulut tajamnya yang bagaikan belati yang terus menghunus tepat di jantungku berkali-kali.

***

"Na, lo mau pesen apa ?"

"Apa aja deh, seterah lo"

Kedua sahabat itu kini sedang berada di satu restoran yang ada di mall ini sambil menunggu film akan di putar. Sahna terlihat tengah duduk sambil mengutak-atik ponsel yang baru saja dia nyalakan, banyak panggilan tak terjawab yang berasal dari Arbi.

15 pangglan tak terjawab 'Jangan diangkat!'

2 pesan diterima

From: Jangan diangkat!

"Aku didepan kampus, kamu dimana?"

"Sahna, kamu dimana ?"

"Kata lo ponsel lo mati. Lo udah hubungin suami lo ?" tanya Anita yang baru saja kembali sambil memabawa nampan berisi makanan yang mereka pesan.

Sahna kembali menonaktifkan ponsel lalu menatap Anita. "Belum" jawab Sahna singkat.

"Nanti kalau dia marah gimana gara-gara lo hubungin dia?"

"biarin ajalah, terserah dia" Sahna acuh, gadis itu tampaknya tidak peduli sama sekali.

"Gue masih gak ngerti deh sama lo, kenapa lo bisa nikah dan sekarang lo cuek banget sama suami lo, gue bahkan ngeliat lo kayaknya benci banget sama dia"

Sahna hanya diam, tidak menjawab sama sekali pertayaan Anita. "Iya gue paham lo masih gak mau cerita, yaudah ayo makarn"

***

Arbi turun dari dalam mobil dan langsung berjalan cepat memasuki rumah. "Sahna sudah pulang?" tanya Arbi begitu dia melihat pembantu yang bekerja di rumahnya.

"Belum Mas"

"Ada telepon gak dari Sahna ?" tanya Arbi lagi tapi pembantu itu tetap menggeleng. "Gak ada Mas" jawabnya.

"Dikampus gak ada, sekarang di rumah juga gak ada, kemana sih tuh cewek!" Arbi mendumel sepanjang dia berjalan ke kamarrnya yang teletak di lantai dua, sang pembantu hanya bisa menatap bingung pada sang majikan yang terlihat begitu kesal dan khawatir karena istrinya yang belum pulang-pulang juga.

Pukul 19.00 WIB.

"Gue gak mau nonton film horor lagi!" Anita berjalan keluar dari gedung bioskop dengan wajah pucat pasi, tapi Sahna malah tertawa melihat wajah temannya yang begitu ketakutan.

"kok malah ketawa si lo. Nyebelin banget!" Keluh Anita karena Sahna terus-menerus menertawakannya.

"Maaf maaf ya abis muka lo lucu banget pas ketakutan kayak gini" Sahna mencoba untuk menahan tawanya yang membuat Anita memasang muka bete.

"Terus sekarang gimana ? Mau pulang atau jalan lagi ?" tanya Anita sambil memandang wajah Sahna yang seketika langsung berubah datar.

"Pulang aja deh, udah mau malem juga"

"Mau balik bareng gue apa pulang sendiri ?" tanya Anita.

"Gua pulang sendiri aja biar cepet"

"Yakin lo? Nanti kalau dia marahin lo gimana ?" Anita tampak khawatir melihat sang sahabat, apalagi saat dia pernah mengalami hal itu.

"Udah gak usah mikirin dia, entar gua yang bilang ke dia" ujar Sahna begitu tenang, tidak tampak raut ketakutan ataupun cemas..

"Yaudah deh"

***

Aku segera turun dari taksi begitu sampai didepan rumah besar itu, akhirnya aku kembali lagi ke rumah ini setelah beberapa jam aku bisa melarikan diri, aku menarik nafas dalam-dalam, aku siap untuk kembali menahan sesak di dada, menghadapi kenyataan yang tak seindah dalam khayalan. Kembali menjadi diriku yang bukan diriku, beradu pandang, memaksa berbincang dengan orang yang setiap hari aku harap menghilang.

"Mbak Sahna dari mana saja ? Mas Arbi daritadi cariin Mbak Sahna" ucap pak satpam kini menyambutku sambil membukakan gerbang rumah ini.

Aku putuskan untuk tidak menjawab pertayaan dan memilih melanjutkan langkahku masuk lebih dalam ke rumah besar menyebalkan ini.

Satpam tersebut hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah majikkannya dan menutup kembali gerbang itu tanpa berani lebih dalam mencampuri urusan rumah tangga.

Sahna berjalan menuju pintu utama untuk masuk ke dalam rumah ini, Sementara saat ini Arbi tengah duduk diruang keluarga sambil menonton TV, wajahnya tampak fokus melihat pada layar TV yang menyala, tapi sebenarnya dipikirannya masih memikirkan Sahna yang sampai saat ini masih belum pulang juga, bahkan Dia sengaja duduk diruang tamu untuk menunggu gadis itu pulang, tapi saat dia mendengar suara pintu rumah yang terbuka, pria itu segera bangkit dan berlari untuk memeriksanya.

Aku melihatnya pulang, dia membuka pintu rumah dan membuatku bisa melihatnya kembali, kami saling berdiri berhadaopan, memandang satu sama lain.Saat itu aku sadar, nafasku kembali normal.

"Dari mana kamu ?" tanyaku tanpa melepasakan tatapan dari matanya.

"Aku pergi sama temanku"

"Kemana ? Kenapa gak kasih kabar dulu ?"

Tapi gadis itu tidak langsung menjawab, Dia malah menunjukkan layar ponsel yang gelap. "Ponselku lowbat" jawabnya.

Tanpa kusadari aku menghelah nafas berat dan menatapnya begitu dala, karena aku tahu dia sedang membohongiku.

Aku berjalan medekat tapi dia langsung bergerak mundur, dia seperti takut padaku. Tapi aku ingin membuat Dia tidak takut dan memberanikan diri menyentuh kedua pundak dan meremasnya pelan disertai tatapan yang tidak kulepasakan dari wajahnya.

"Aku tau ponsel kamu gak lowbat Sahna, jangan bohong. Kalau kamu gak mau angkat telepon, kamu bisa balas pesanku, jangan buat orang khawatir Sahna"

Aku berharap dia sadar, memahami kekhawatiranku, walaupun ketakutan yang sebenarnya takut dia mencoba melarikan diri.

Tapi sepertinya tidak, Sahna menepis tangaku yang bertengker di bahunya membalas tajam tatapanku dan mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan.

"Apa ? Arbi, aku sering sekali bilang ini sama kamu, tapi mungkin kamu tetap tidak sadar. Aku minta sama kamu untuk jangan sok peduli lagi! Apa kamu pikir aku anak kecil yang gak bisa menjaga dirinya sendiri sampai kamu harus khawatir ?!"

Arbi mengangguk kaku dengan senyum dingin yang begitu memilukan. "Ya, aku tau, tapi aku akan tetap ingin mengingatkannya, pokoknya jangan lakukan ini lagi " Arbi tidak menggubris omongan Sahna sama sekali.

Dengan gerakan lembut Arbi mengangkat tangan, mengarahkan untuk mengusap puncak kepala sang istri dan tersenyum, tapi hati Sahna yang sekeras batu langsung menepis keras tangan kekar itu dan membalas tatapan hangat itu dengan tatapan penuh kebencian.

"Aku mau istirahat!" ucap Sahna begitu ketus, Dia langsung berjalan ke kamarnya. Arbi terus melihat kepergian gadis itu.

Brak!

Suara bantingan pintu yang memekakan telinga bagaikan peringatkan dari gadis itu kalau tidak ada ruang yang tersedia untuk dirinya bisa masuk, tidak ada satu celahpun.

"Jangan pernah berharap Arbi!"