30 Sebuah Kebetulan

Setelah mendengar ucapan Daniel tadi, Xavier menjadi tahu kalau pergerakan mafia di sini sangat menyeramkan. Tidak hanya ada satu atau dua mafia saja yang ada di sini, melainkan sangat banyak.

Melihat bagaimana reaksi biasa-biasa saja yang ditunjukkan Daniel setelah tahu ada orang yang dibunuh secara mengerikan di zona merah, membuat Xavier semakin paham bahwa hal itu memang sudah sering terjadi di masa lalu.

Tentu saja berita seperti itu akan sangat mengejutkan bagi Xavier, apalagi dirinya adalah 'pendatang' baru yang tidak tahu apa-apa. Tapi, kalau Daniel?

Daniel sudah lama ada di sini. Tentunya Daniel sudah terbiasa untuk hal yang memang 'biasa'. Termasuk pembunuhan itu contohnya.

Tak dapat dipungkiri kalau Xavier merasa beruntung bisa dipertemukan dengan Daniel. Meskipun mulut Daniel pedas, tapi Daniel sudah banyak membantu Xavier untuk hal apa pun.

Daniel juga merupakan manusia pertama yang Xavier temui saat dirinya berhasil dikirim ke bumi.

Kendati sifat Daniel yang keras dan juga sedikit angkuh, Xavier yakin kalau Daniel adalah orang yang baik. Jika tidak, lantas kenapa Daniel mau repot-repot menolong Xavier untuk menetap di unit apartemennya selama beberapa hari dulu?

Entah apa yang terjadi setelah ini, Xavier tidak akan melupakan Daniel, bahkan jika keduanya berjalan di jalan yang berbeda sekali pun.

"Aku pulang," kata Xavier membuka pintu.

Terdengar di depan sana suara derap langkah kaki menyusul secara terburu-buru. Dan tak lama kemudian, muncul sosok Keisha dengan senyum cerah menggantung di wajah.

"Mana makananku?" tanya Keisha antusias.

Xavier terkekeh kecil lalu menyerahkan bingkisan yang ia bawa pada sosok perempuan yang hanya memiliki tinggi badan se-dagunya saja. "Nah, makanlah pelan-pelan. Jika kurang, kamu boleh memberitahuku. Aku akan membeli makanan lagi untukmu."

Keisha menerima bingkisan itu dari Xavier dengan senyum berseri-seri. "Terima kasih banyak. Kalau begitu, aku akan ke dapur untuk mengambil piring. Kamu sudah makan, 'kan?"

"Mn. Aku sudah."

"Baiklah!"

Dan dengan begitu, Keisha berjalan mendahului Xavier. Sedangkan Xavier kini memilih duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan televisi yang menyala di depan sana.

Hingga tak lama setelah itu, Keisha kembali setelah berhasil memindahkan makanannya ke dalam sebuah piring. Ia lantas duduk di sisi Xavier dan memakan makanannya dengan damai.

Duduk di sisinya, Xavier ikut diam. Ia membiarkan Keisha untuk menghabiskan semua makanannya terlebih dahulu sebelum membuka percakapan. Katanya, menurut artikel yang Xavier baca di internet, makan sembari mengobrol bukanlah hal baik yang harus dilakukan.

Butuh sepuluh menit lamanya sampai Keisha melahap habis makanan di dalam piring. Setelah selesai, Keisha lantas menaruh piring itu di tempat cuci piring lalu berjalan dan duduk di sisi Xavier, lagi.

"Kenyang?" tanya Xavier.

Keisha menganggukkan kepalanya. "Mn. Aku merasa sangat kenyang. Apakah perutku terlihat begah?"

"Tidak sama sekali. Baguslah kalau kamu merasa kenyang."

Keisha menyandarkan kepalanya di bahu Xavier. Sejak dulu kala, hal yang Keisha sukai dari sosok kekasihnya adalah bagian bahu. Karena setiap Keisha bersandar, bahu Elio selalu memberikan kenyamanan. Sama halnya seperti saat ini.

"Elio," panggil Keisha tiba-tiba.

Xavier menoleh. "Ya?"

Keisha menarik napasnya dalam-dalam dan lantas melanjutkan, "Tiba-tiba saja, aku terpikirkan tentang satu hal."

"Satu hal? Apa itu?" tanya Xavier penasaran.

Terdengar suara helaan napas berat keluar dari hidung Keisha. Hal itu spontan saja berhasil membuat Xavier mengerutkan keningnya merasa tak mengerti.

"Sudah berbulan-bulan semenjak aku tidak pulang ke rumah. Apakah menurutmu ... apakah menurutmu Ayahku mencari keberadaan ku?"

Satu pertanyaan yang sangat berat. Xavier sampai dibuat bingung bagaimana cara membalasnya.

"Kenapa? Bukankah seharusnya memang seperti itu? Setiap orang tua pasti merindukan anaknya yang sudah lama tidak mereka lihat. Ayahmu juga pasti merindukanmu. Jadi, itu sangat mustahil kalau Ayahmu tidak mencari mu sama sekali selama beberapa bulan ini," kata Xavier dengan penuh pengertian. Mata Xavier menyorot sosok Keisha dengan pandangan mata dalam.

Keisha mendongak. "Apakah benar seperti itu?"

"Kenapa tidak? Dia adalah Ayahmu. Tentu saja dia mencari mu."

Keisha menghela napas berat sekali lagi. Agaknya, Keisha sedang memiliki banyak pikiran di dalam kepalanya saat ini. "Aku ... tiba-tiba saja, aku merasa rindu kepada keluargaku sendiri," gumamnya kecil.

Xavier merenung selama beberapa saat lalu bertanya, "Apakah kamu mau pulang?"

Mungkin, sudah waktunya bagi Keisha untuk pulang ke 'rumah'. Pun, tidak mungkin selama-lamanya Keisha dan Xavier ada di tempat ini. Ketika saatnya tiba, mereka pasti akan kembali ke 'tempat' mereka sebelumnya.

"Aku ... aku tidak tahu. Jika aku pulang, apakah itu tidak apa-apa? Setiap memikirkan hal ini, aku selalu merasa tidak aman. Aku takut kalau aku akan bertemu dengan orang yang sudah menculik ku dulu. Dan aku rasa, dan aku merasa seperti ada orang yang sedang mengintai pergerakan ku dalam diam. Itulah yang membuatku merasa tidak aman," gumam Keisha kecil menumpahkan apa yang ia rasa pada Xavier.

Xavier mengerti tentang kekhawatiran Keisha. Bagaimana pun, Keisha sudah melewati banyak kesulitan sejauh ini. Diculik, dijadikan budak pemuas nafsu laki-laki hidung belang, hingga di jual ke pasar pelelangan budak. Bagaimana mungkin Keisha bisa bertingkah biasa-biasa saja setelah semua hal yang terjadi?

"Cepat atau lambat, kita pasti akan pulang. Kita tidak bisa tinggal lebih lama di sini untuk beberapa alasan. Tempat ini tidaklah aman," ungkap Xavier kemudian.

Keisha menarik napasnya dalam-dalam. Ada getaran tak nyaman yang bergerilya di dalam hatinya.

Keisha hanya merasa takut kalau sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Keisha juga merasa ragu untuk satu hal.

Setelah dirinya berhasil dikeluarkan dari pasar pelelangan budak oleh Xavier, apakah semuanya akan selesai sampai di sana saja?

"Tapi ... aku takut."

"Untuk apa kamu merasa takut? Ada aku di sisimu. Aku akan menjagamu dari segala macam bahaya yang datang menghampiri. Kamu hanya perlu percaya kepadaku," bisik Xavier dengan nada lembut, memberikan ketenangan dan juga kedamaian kepada sosok yang sedang dilanda gundah gulana itu.

Untuk beberapa alasan, setelah mendengar ucapan Xavier barusan, Keisha merasa jauh lebih tenang.

"Kalau kamu memang ingin pulang, mari kita pulang. Di mana rumahmu? Apakah jauh dari sini?"

Tepat setelah mendengar hal itu, Keisha kembali teringat kalau 'Elio'-nya mengalami amnesia. Elio tidak tahu di mana dirinya berasal, di mana rumahnya berada.

"Rumahku berada sangat jauh di sini. Jauh sekali."

"Di mana itu? Kamu bisa memberitahuku."

"Itu di ... California."

Xavier terdiam.

California?

Dirinya tidak salah dengar, 'kan?

Beberapa saat yang lalu, Xavier mengobrol dengan Daniel perihal ketua mafia yang memimpin zona merah sebenarnya berasal dari California. Dan kini, Keisha berasal dari California?

Bukankah itu berarti kalau Elio juga berasal dari California?

Kebetulan macam apa ini?

"Kalau begitu, aku akan mempersiapkan semuanya mulai dari sekarang. Mari kita pulang ke California dalam waktu dekat," tukas Xavier pada akhirnya.

avataravatar
Next chapter