webnovel

The Twins

Samantha berharap kalau ini hanyalah sebuah mimpi. Bahwa semua ini bukanlah kenyataan.

Hujan turun dengan deras di luar sana. Petir menyambar dengan ganas, bagaikan ingin melakukan penghukuman kepada seseorang yang berdosa.

"Aaaaargh!!!"

Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia menjerit kesakitan, ia ingin mimpi buruk ini segera berakhir.

"Terus, nona! Sedikit lagi!" Wanita tua itu berteriak menyemangatinya.

Samantha terus berteriak kesakitan, berusaha untuk secepatnya mengakhiri rasa sakit ini.

"Tidak!!! Aku tidak sanggup lagi! Ini sakit!" Teriak Samantha histeris.

"Berusahalah nona! Anak anda akan segera lahir! Sedikit lagi nona!" Wanita tua itu terus menyemangatinya.

"Aaaaaargh!!!"

.

Samantha terengah-engah. Ia berusaha mengambil nafas sedalam mungkin.

'Apakah sudah berakhir?' Pikirnya.

"Suster, bayi ini tidak menangis sama sekali." Ujar seorang wanita muda kepada wanita tua-sang suster-.

"Coba kulihat." Ujar suster itu dan mengambil bayi yang baru lahir itu.

Sang suster menepuk-nepuk pelan punggung bayi itu. Bayi itu tetap bergeming.

'Ada apa ini?' Pikir sang suster.

"A..ah!"

Samantha meringis kesakitan.

"Suster! Suster, perut saya! Ini...sakit sekali...aaargh!" Samantha berteriak.

"Oh tuhan! Apakah mungkin?!"

Suster tua itu cepat-cepat memberikan bayi kecil itu kepada sang asisten dan segera menuju tempat tidur Samantha.

"Sepertinya anda akan melahirkan seorang anak lagi. Kita harus mengulangi yang anda lakukan tadi, nona." Ujar sang suster.

"A..apa?!" Samantha tak percaya.

"Ayolah nona, anda harus melakukannya lagi. Ada sebuah nyawa lagi yang harus anda lahirkan ke dunia." Ujar suster itu.

Dan neraka itupun harus di alami Samantha kembali.

.

Suara tangisan bayi memenuhi ruangan itu. Bayi yang baru saja di lahirkan menangis melantunkan suara kehidupan.

"Lihatlah nona, anda baru saja melahirkan bayi perempuan yang cantik dan sehat." Ujar suster itu.

Samantha masih terengah, ia melirik ke arah sang suster.

"Bayi yang satu lagi..." ujarnya lemah. "...aku tidak mendengar suara bayi yang satu lagi."

Sang suster menatap sedih Samantha. Ia mendekat dan membaringkan bayi yang masih merah dan menangis itu di sebelah kanan Samantha.

Samantha menyentuh makhluk mungil itu sambil tersenyum kecil.

"Maafkan kami, nona. Sejak tadi kami berusaha untuk membuat putri pertama anda bersuara. Akan tetapi, kami tidak dapat membuatnya menangis. Ia seperti tertidur." Ujar suster.

Samantha menatap suster itu.

"Di mana ia?" Tanya Samantha.

Suster itu berdiri, dan berjalan mendekati asisten mudanya. Ia mengambil alih bayi itu dan membawanya ke Samantha.

Samantha menjulurkan kedua tangannya, ia menggendong sang bayi yang tidak bersuara. Ia mendekatkan telinganya ke dada bayi itu. Berharap dapat mendengarkan detak kehidupan darinya.

'Kumohon, hiduplah.' Doanya dalam hati.

Semua yang ada di dalam ruangan itu terdiam. Hening menyelimuti ruangan itu, hanya terdengar suara tangisan sang bayi kedua.

BRAK!!!

Suara bantingan pintu menyentak mereka.

Seorang lelaki dengan pakaian compang camping dan tubuh basah berdiri di ambang pintu. Dan dalam sekejab, ia telah berpindah ke sisi Samantha.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya lelaki itu lembut.

Samantha menatapnya nanar.

"Putriku...ia...tidak menangis sama sekali..." Ujar Samantha sedikit terisak.

Lelaki itu melihat bayi di samping Samantha. Bayi itu masih menangis dengan keras. Dan matanya beralih ke bayi di pelukan Samantha.

"Baringkan bayi itu ke dekat saudarinya." Ujar lelaki itu.

Samantha menurut. Perlahan, ia meletakkan bayi itu bersebelahan dengan bayi yang satunya.

.

.

.

"Dan setelah itu, tidak berapa lama akhirnya Emma menangis keras. Kalian berdua menangis bersama, dan itu terdengar seperti nyanyian malaikat bagi Mom." Ujar Samantha kepada kedua putrinya yang berusia sembilan tahun malam ini, Emma dan Ammy.

Ammy menatap ibunya dengan mata berbinar. Dan beralih kepada Emma yang duduk di sebelahnya dan mulai memeluk Emma.

"Itu artinya aku dan Emma memang di takdirkan untuk bersama. Aku tidak akan pernah meninggalkan Emma." Ujar Ammy.

Samantha tersenyum mendengarnya.

"Itu benar, Ammy. Kalian harus tetap bersama, apapun yang terjadi. Jangan sampai kalian berpisah." Ujar Samantha sambil mengelus surai pirang Ammy.

"Kau dengar itu Emma? Kita akan selalu bersama!" Seru Ammy sambil melepaskan pelukan dan menggenggam erat kedua tangan Emma.

"Iya, kita akan selalu bersama." Ujar Emma dengan senyum tipis.

"Baiklah, anak-anak. Saatnya untuk camilan sore. Siapa yang mau biskuit?" Tanya Samantha.

"Ammy dan Emma mau!" Jawab Ammy antusias sambil mengangkat tangannya.

Samantha tertawa melihat anak bungsunya.

.

Malam haripun tiba, Ammy dan Emma mengenakan dress yang sudah di siapkan Samantha.

Mereka berdua terlihat sangat manis dengan gaun berenda yang di pakai Emma dan gaun pendek yang di pakai Ammy.

"Mom! Lihat! Aku baru saja selesai mengikat rambut Emma. Cantik tidak?" Tanya Ammy yang berdiri di belakang Emma.

Emma sedikit tersipu menatap ibunya.

Samantha melihat rambut Emma. Rambut hitam pendek miliknya terlihat rapi dengan pita berwarna merah tersemat di rambutnya.

"Kerja bagus Ammy." Puji Samantha.

"Kau terlihat sangat cantik, honey." Ujar Samantha lembut kepada Emma.

Emma tersenyum tipis dan Ammy tertawa ceria.

.

Lantunan lagu ulang tahun memenuhi ruang keluarga. Samantha merayakan ulang tahun Ammy, dan Emma secara sederhana. Mereka hanya mengundang Mrs.Brown dan anaknya Deeba di acara itu.

"Lihatlah mereka, begitu ceria dan bersemangat. Aku merasa kalau mereka tumbuh begitu cepat." ujar Mrs. Brown.

Saat ini mereka duduk di beranda di halaman belakang rumah Samantha. Ammy, Emma, dan Deeba terlihat sedang bermain di kebun bunga yang ia tanam.

"Benar, Mrs. Brown. Aku merasa kalau baru kemarin aku berjuang untuk melahirkan mereka. Tapi, kau lihat sekarang, mereka telah berumur sembilan tahun." ujar Samantha.

"Yah, begitulah anak-anak. Kemarin kita menggendong dan mengganti popok mereka, lalu kemudian mereka tumbuh dengan cepat dan kemudian tidak memerlukan kita." ujar Mrs. Brown.

Samantha terkikik geli, ia tahu siapa yang di maksud oleh Mrs. Brown. Yang dia maksud adalah putranya yang berusia tujuh belas tahun. Pemuda itu dulu adalah anak yang manis, rambut coklat pendeknya dengan mata coklat miliknya yang sangat mirip dengan Mr. Brown, Joan namanya, atau lebih tepatnya Johansen Brown.

Samantha bertemu dengannya beberapa hari yang lalu, anak itu telah banyak berubah. Rambut coklatnya yang dulu selalu ia potong pendek kini telah memanjang, menggantung di atas bahu. Pakaiannya yang selalu rapih telah berubah menjadi t-shirt lengan buntung yang memperlihatkan lengan kurusnya. Yang tidak berubah dari dirinya hanyalah senyum ramah yang selalu ia berikan kepada semua orang.

"Ayolah, Mrs. Brown. Joan tidak seburuk itu." ujar Samantha.

"Oh, Sam. Kau harus lihat saat dia mulai membawa teman-teman punk nya itu. Pertama kali aku melihat mereka, aku berpikir mereka mau merampok rumahku. Dan kau tahu apa yang kulakukan?"

Samantha menggeleng.

"Aku memukul mereka dengan sapu dan berteriak 'Tolong! Ada yang mau merampok rumahku!' kemudian Joan datang dan memarahiku."

Samantha tergelak.

"Oh, Sammy. Aku benar-benar tidak tahu apa yang di pikirkan putraku. Apakah aku kurang memberikan kasih sayang kepadanya hingga ia memilih teman-teman yang berpenampilan seperti penjahat itu?"

Samantha tersenyum penuh simpati.

"Mrs. Brown, jangan terlalu di pikirkan. Joan itu masih remaja, ia hanya belum menemukan jati dirinya. Kita masih harus menuntun mereka saat mereka berada dalam kesulitan dan mendukung mereka saat mereka terjatuh." ujar Samantha.

Mrs. Brown mengangguk.

"Mungkin kau benar Sam, aku berharap kau benar. Aku benar-benar takut saat tahu anak itu terlibat dengan polisi beberapa malam lalu. Aku berpikir kalau mungkin saja ia telah melakukan kesalahan yang sangat fatal."

Beberapa hari yang lalu Joan sempat di bawa ke kantor polisi karena kasus perampokan. Teman-temannya mencegat seorang wanita di gang sepi dan merampas barang bawaan wanita itu.

"Tapi itu tidak benar, Mrs. Brown. Yang melakukan kejahatan bukanlah Joan, melainkan temannya. Joan bermaksud menghentikan mereka, ingat?"

Mrs. Brown mengangguk.

"Aku benar-benar bersyukur anak itu masih mengingat apa yang di ajarkan olehku dan suamiku." ujar Mrs. Brown dengan senyum bangga di wajahnya.

Samantha tersenyum.

"Mom."

Panggil Ammy, ia berlari menghampiri Samantha dan Mrs. Brown dengan membawa kotak kecil di tangannya.

"Apa itu, Ammy?" Tanya Samantha.

Ammy menggelengkan kepalanya.

"Tidak tahu, seorang wanita memberikanku kotak ini dan memintaku membawakannya untukmu." Jawab Ammy.

Samantha dan Mrs. Brown saling bertatapan.

"Dimana kau bertemu wanita itu?" Tanya Mrs. Brown.

Ammy menunjuk area yang di penuhi pepohonan dekat Emma dan Deeba sedang bermain.

"Wanita itu berdiri di sana dan memanggilku, lalu ia memberikanku kotak ini untuk di serahkan padamu, Mom." Tutur Ammy.

Samantha menerima kotak itu dan Ammy kembali bermain bersama Emma dan Deeba.

"Kira-kira apa isi kotak ini?" Tanya Samantha.

Mrs. Brown mengangkat bahu.

"Entahlah, tapi entah mengapa aku merasakan sesuatu yang buruk dari kotak itu." Ujar Mrs. Brown.

Samantha menatap kotak di tangannya ragu.

"Apa aku perlu membukanya?" Tanya Samantha.

Mrs. Brown mengangkat bahu.

"Baiklah, akan kubuka. Dan kita lihat apa isinya." Ujar Samantha dan membuka kotak itu perlahan.

"Aku berharap kalau itu bukan bom berukuran mini." Ujar Mrs.Brown.

"Hahaha, itu tidak mungkin Mrs.Brown." ujar Samantha dan membuka kotak itu seluruhnya.

Sebuah kalung dengan liontin berlian biru cantik. Itulah isi kotak kecil itu.

Samantha dan Mrs.Brown terkejut.

"Sam, bukankah itu..."

Samantha segera menutup kembali kotak itu dan berdiri dari tempatnya duduk. Ia berlari menuju kedua putrinya yang sedang bermain bersama Deeba.

"Ammy, Emma, Deeba, hari sudah mulai larut. Bagaimana kalau kalian bermain di dalam saja?" Ajak Samantha.

Ketiga gadis kecil itu menatap satu sama lain.

"Tapi kami belum selesai memetik bunga, dan kami belum selesai membuat mahkotanya." Ujar Ammy.

"Kalian bisa melanjutkan besok. Aku sudah menyiapakan kue enak untuk kalian di dalam." Ujar Samantha membujuk ketiga gadis kecil itu.

"Kue!" Teriak Deeba dan segera berdiri.

"Ayo! Deeba ingin makan kue buatan Sam." Ujar Deeba bersemangat dan menarik lengan Samantha untuk bergegas.

"Nah, ayo kita masuk." Ujar Samantha kepada kedua putrinya.

Ammy dan Emma hanya mengangguk dan mengikuti Samantha memasuki rumah.

Samantha menggiring ketiga gadis kecil itu dari belakang diikuti Mrs. Brown.

Samantha segera mengunci pintu rapat dan memeriksa semua jendela. Ia menyiapkan kue kue untuk anak-anak yang langsung di makan dengan lahap oleh mereka.

Samantha meninggalkan ketiga gadis kecil itu saat di rasanya makanan di sana cukup untuk menyita waktu mereka.

Ia dan Mrs. Brown memasuki ruang kerja dan menutup pintu rapat. Mereka kembali melihat kalung dengan berlian biru itu. Warna yang bagaikan langit itu berpendar saat Samantha menyentuhnya.

"Bagaimana caranya benda itu bisa ada di sini? Apa telah terjadi sesuatu kepada suamimu?" tanya Mrs. Brown heran.

Samantha menatap kalung itu dalam diam. Ia menutup matanya perlahan dan kalung itu berpendar semakin terang. Perlahan, kalung itu terangkat ke udara di antara tangan Samantha.

Mrs. Brown menatap hal itu dengan binar takjub. Ia tidak menyangka bahwa Samantha masih memiliki energi kehidupan sekuat ini setelah apa yang di alaminya sepuluh tahun yang lalu. Tidak heran, Samantha di nobatkan sebagai penyihir putih tertinggi yang setara atau bahkan lebih dari sang Oracle.

Cahaya dari kalung itu perlahan memudar seiring dengan Samantha yang membuka matanya.

"Mereka menemukannya." ujar Samantha.

"Mereka menemukan suamiku dan mereka menginginkan kematiannya. Saat ini Danniel sedang dalam persembunyian. Ia memperingatkanku untuk bersembunyi dan menghilangkan jejak secepatnya."

Mrs. Brown mengusap pelipisnya. Ia tiba-tiba merasa pusing sekarang.

"Oh, Sam..."

"Bagaimana caranya untukmu bersembunyi? Kau memiliki dua orang putri dan akan sangat sulit untukmu melindungi keduanya sekaligus." ujar Mrs. Brown.

Samantha terdiam, ia sedang berfikir bagaimana caranya untuk melindungi kedua putrinya. Salah langkah sedikit saja dan mereka akan langsung mati di tangan para demon itu.

"Mom!!!"

Teriakan Ammy membuat mereka tersentak. Segera mereka bergerak menuju asal suara dimana anak-anak mereka berada. Sampai di ruangan itu, Samantha dan Mrs. Brown merasakan seluruh tubuh mereka membeku. Enam makhluk seperti bayangan kematian mengitari anak-anak mereka. Membuat Ammy, Emma, dan Deeba meringkuk ketakutan. Terlihat sebuah pentagram bersinar violet di lantai tempat anak-anak itu berada, seperti mengurung mereka dalam pentagram itu.

"Mom!!!"

Teriakan ketakutan Ammy dan Deeba menyadarkan mereka. Jari tangan runcing dan kurus milik bayangan kematian itu mencoba menggapai salah satu dari anak mereka.

"Menyingkir dari putriku!" perintah Samantha dengan cahaya jingga berpendar dari tangannya. Cahaya itu perlahan berubah bentuk menjadi sepasang belati.

Ia maju menghampiri bayangan itu dan menebaskan belatinya. Membuat tiga dari bayangan itu menjauh.

"Tutup telinga dan mata kalian!!!" teriak Mrs. Brown kepada anak-anak.

Mrs. Brown merapalkan mantra dan tongkat-tongkat hitam tajam menyeruak keluar dari dasar lantai. Menusuk sisa bayangan yang berada di sana. Suara lengkingan makhluk itu memenuhi ruangan bagaikan tangisan mandragora. Tiga makhluk itu perlahan menghilang menjadi asap dan meninggalkan abu hitam di lantai.

Ketiga makhluk yang tersisa melesat cepat ke arah Samantha dengan lengkingan penuh amarah. Belati yang di pegang Samantha menghilang. Digantikan dengan sebuah tongkat sabit besar.

Ia menebas satu persatu makhluk itu dengan ganasnya bagaikan dewa kematian itu sendiri. Ia mencabik-cabik bayangan kematian itu dengan sabitnya hingga potongan terkecil, menyisakan abu dan asap di udara.

Selesai menyingkirkan para bayangan kematian itu, Samantha dan Mrs. Brown segera menghampiri putri-putri mereka.

Samantha menjulurkan tangan hendak menggapai kedua putrinya. Akan tetapi ia segera menarik kembali tangannya saat pentagram itu mengeluarkan percikan listrik. Ia tidak bisa melewati pentagram itu.

"Mom! Kenapa aku tidak bisa keluar dari sini?" ujar Deeba yang memukul dinding tak kasat mata di hadapannya.

"Bagaimana mungkin? Bukankah pentagram ini di buat oleh makhluk-makhluk tadi? Kita sudah melenyapkan mereka, seharusnya pentagram ini juga menghilang." ujar Mrs. Brown.

Samantha terpaku menatap dinding tak kasat mata di hadapannya. Ia menatap kedua putrinya di dalam sana dan menyadari sesuatu yang ganjil.

"Emma..." gumam Samantha.

Mrs. Brown yang mendengar gumaman Samantha, melihat ke arah Emma. Dan ia membolakan matanya terkejut, ia menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, tidak tahu apa yang harus ia katakan dan ia merasa sangat cemas sekarang.

"Bagaimana mungkin...Sam...putrimu..." ujar Mr. Brown.

"Mom...hiks..." Ammy terisak. Ia memeluk saudari kembarnya erat.

"Ammy...honey...jangan menangis sayang, mommy sudah menyingkirkan makhluk jahat itu. Mereka tidak akan mengganggu kalian lagi." ujar Samantha, berusaha menenangkan putri bungsunya.

Ammy memeluk Emma dengan tubuh bergetar takut. Ia lalu menyadari sesuatu. Emma tidak bergerak sejak makhluk-makhluk tadi mencoba menyerang mereka. Ia lalu menatap wajah Emma. Ada apa dengan kakaknya? Warna mata kakaknya yang berwarna hitam kini telah berubah menjadi merah. Dan Emma hanya diam menatap kosong ke depan, ia bagaikan boneka tidak bernyawa yang di pajang di etalase toko yang pernah di lihat Ammy.

"Emma..." panggil Ammy pelan.

Emma masih bergeming. Berulang kali Ammy mencoba menyadarkan Emma, tetapi nihil. Tidak ada reaksi sama sekali.

"Mom! Ada yang aneh dengan Emma!" teriak Ammy, panik dengan keadaan saudarinya sekarang.

"Ammy, tenangkan dirimu. Dan coba sadarkan Emma. Mom tidak bisa melewati lingkaran ini." ujar Samantha.

Ammy berkali-kali memanggil nama Emma, mengguncang tubuhnya. Tetapi tetap tidak ada reaksi dari Emma.

Ammy menyerah, ia sangat takut sekarang. Ia takut kehilangan saudarinya. Ia memeluk Emma erat dan menangis keras. Memohon saudarinya untuk meresponnya.