webnovel

Angel and His Broken Wing

Furqan Haykal Ramadhan, adalah seorang lelaki yang diidolakan oleh setiap wanita. Namun, mata dan dunianya hanya tertuju pada adik perempuannya, Fathimah Az-Zahra Ramadhani. Furqan bahkan tidak berpikir panjang untuk mengorbankan segala yang dia mampu demi sang adik sehingga membuat Fathimah terus bergantung kepada kakaknya. Dunia yang mereka miliki perlahan terusik akan kehadiran Navya, Calon istri Furqan dan Rayhan, sahabat Fathimah yang diam-diam jatuh cinta padanya. Bagaimana Furqan yang kerap disapa Kak Rama oleh sang adik mampu meyakinkan Fathimah bahwa adiknya itu memiliki tempat tersendiri yang tidak akan pernah digantikan oleh orang lain, serta meyakinkan hatinya agar mampu melepaskan sang adik?

ShamilaPutri22 · Teen
Not enough ratings
12 Chs

Angel and His Broken Wing BAB 8

Hari sudah menjelang sore sedangkan kami masih tak bergeming. Fatimah duduk bersandar di headboard tempat tidurku, sedangkan aku meletakkan kepalaku di atas bantal yang berada di pangkuannya. Jemarinya yang sejak tadi tidak berhenti membelai rambutku membuatku sayup-sayup merasakan kantuk.

"Fat...."

"Hmmmm"

"Tolong buatin kakak kopi yah. Kakak ngantuk banget soalnya."

"Kenapa nggak tidur aja?"

"Kamu lupa kata bunda? Nggak boleh tidur kalau udah sore. Sekalian siapin camilan yah. Kita ngemil di balkon."

"Okey. Kakak tunggu bentar yah. Fat ke dapur dulu."

Sudah menjadi kebiasaanku untuk bersandar pada Fatimah. Aku bisa saja bersandar dan mengeluarkan bebanku di hadapan bunda, namun bagaimana pun, ada perasaan risih di dalam diriku ketika harus menunjukkan sisi lemahku pada bunda. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa dengan mudahnya merengek di dalam pelukan bunda. Diperlakukan penuh perhatian oleh Fatimah sudah cukup menghapus sebagian besar beban itu dari dalam benakku.

Aku mencoba memejamkan mataku sejenak, namun hal itu justru membawaku pada kenangan lama ketika aku memutuskan untuk memulai kisah ini. Saat itu untuk pertama kalinya aku mengabulkan permintaan Navya untuk datang ke rumahku. Kebetulan bunda ada di rumah dan ada tugas kelompok yang harus kukerjakan dengannya.

Ketika tiba di rumah, Fatimah menyambutku dengan gembira seperti kebiasaannya. Namun melihat kehadiran Navya, ekspresi berubah drastis. Ia menatap wajah Navya penuh selidik, padahal usianya baru 6 tahun saat itu.

"Kakak siapa? Ngapain bareng sama kakaknya Fat?" Tanyanya dengan nada ketus yang menurutku lucu. Akan tetapi selucu apapun itu, itu tetap tidak mencerminkan adab yang baik sehingga aku perlu menegurnya.

"Fat, nggak boleh ngomong gitu. Kakak pernah bilang kan harus sopan sama tamu. Ini teman kakak. Ayo, say sorry dulu."

"Sorry kak." Ucapnya dengan suara rendah. Aku sadar hatinya terluka karena ini pertama kalinya aku menegurnya di hadapan orang lain. Ia bahkan langsung berlari ke kamarnya tanpa melihat ke arahku lagi. Aku hanya menarik nafas panjang. Dasar peri kecil posesif. Diam-diam aku tersenyum melihat tingkahnya.

"Loe kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet?" Sejenakaku lupa akan kehadiran Navya.

"Nggak kok. Salah liat kali loe." Elakku.

"Loh, ada tamu kok Cuma dibiarin berdiri di depan pintu sih Fur. Nggak diajak masuk?" Kehadiran bunda membuatku tersadar bahwa sejak tadi kami hanya berdiri di depan pintu tanpa bergerak selangkahpun semenjak Fatimah pergi.

"Assalamualaikum Tante." Ucap Navya yang langsung meraih tangan kanan bunda dan menciumnya

"Wa'alaikumussalam. Namanya siapa nak?"

"Navya tante."

"Navya? Masuk dulu yuk, jangan sungkan yah. Anggap aja rumah sendiri."

"Makasih tante."

"Mau minum apa nak?"

"Nggak usah repot-repot tante. Saya nggak haus kok."

"Nggak apa-apa kok. Tante nggak ngerasa direpotin kok. Justru kamu itu tamu tante dan udah kewajiban tante memuliakan tamu."

"Bun, aku ganti baju dulu yah. Sekalian bujuk si peri kecil, tadi ngambek"

"Kok bisa ngambek? Tadi kan semangat banget mau nyambut kamu."

"Gara-gara kakaknya pulang sama cewek lain"

"Ya ampun. Navya, maaf yah. Fat emang suka cemburu kalau liat kakaknya akrab sama orang yang nggak dia kenal."

"Nggak apa-apa kok tante."

Aku berlalu menuju kamar untuk berganti pakaian dengan yang lebih nyaman, lalu mengetuk connecting door di sudut kamarku setelah memastikan jika pintu itu terkunci.

"Fat, buka pintunya dong. Kakak mau ngomong nih."

"Nggak mau. Sama kakak yang di sana aja. Fat mau bobo."

"Oh ya udah. Bobo yang nyenyak yah."

Satu fun fact soal adikku itu. Aku tidak perlu mengerahkan berbagai macam cara untuk membujuknya. Dengan sendirinya ia akan datang saat sudah bosan ngambek. Aku hanya perlu meninggalkannya sendirian, meski hatiku sedikit berat. Aku memutuskan untuk menemui Navya, karena sangat tidak nyaman bagiku membiarkan orang lain menunggu terlalu lama.

"Sorry yah nunggu lama."

"Nggak apa-apa kok. Adik loe mana?"

"Masih ngambek tuh di kamar."

Setelahnya, kami hanya sibuk membahas makalah yang harus kami buat sebagai tugas kelompok. Navya banyak membantu dalam menyelesaikan tugasku mengingat mengingat sejak SMA dia memiliki ketertarikan lebih di bidang kimia. Sesekali aku memandang ke kamar Fatimah. Sepertinya ia belum bergeming. Mungkin dia memang benar-benar tertidur.

Ketika tugas yang kukerjakan hampir selesai, Fatimah tiba-tiba saja muncul dan naik ke pangkuanku, meski ekspresi wajahnya terhadap Navya sama sekali tak berubah. Wangi strawberry yang menguar dari rambutnya menusuk indera penciumanku.

"Hei, nama kamu Fatimah kan? Kenalin, nama kakak Navya." Meski sudah disapa sedemikian rupa oleh Navya, Fatimah masih saja terdiam.

"Ya udah deh Fur. Gue balik dulu. Udah sore juga."

Saat Navya sibuk mengemasi barang-barangnya, mata Fatimah tiba-tiba saja berbinar saat melihat sebuah gantungan kunci yang tergantung di tas Navya.

"Elsaaa" Ucapnya lirih. Entah bagaimana Navya bisa mendengar suaranya. Hal itu membuat Navya menengok ke arah Fatimah lalu mengarahkan pandangannya ke tempat di mana mata Fatimah tertuju.

"Kamu suka sama Elsa juga?" Fatimah mengangguk yakin

"Kalau gitu, ini buat kamu aja yah." Ucap Navya seraya menyerahkan gantungan kunci dengan boneka Princess Elsa yang sejak tadi menjadi incaran Fatimah

Fatimah memandang ke arahku untuk meminta persetujuan. Setelah aku menganggukkan kepala, Ia kemudian tersenyum dan meraih boneka itu dari tangan Navya.

"Makasih yah kakak."

"Sama-sama Fat. Kalau gitu kakak pulang dulu yah."

"Nanti ke sini lagi yah kakak."

"Siaap. Boleh bantu kakak panggilin bunda nggak? Kakak mau pamit."

"Bundaaaa.... Kakak Navya mau pamit."

Untuk pertama kalinya aku melihat Fatimah akrab secepat itu dengan orang yang baginya asing. Namun yang pasti, melihat hal itu, aku semakin yakin pada hatiku bahwa aku tidak akan menemukan seseorang seperti Navya. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menyatakan perasaanku padanya sesaat sebelum pada akhirnya dia harus meninggalkan Indonesia menuju Singapura.

Semua berjalan normal sebelumnya, bahkan baik-baik saja. Namun setahun belakangan, Navya mulai berubah dan menuntut banyak hal termasuk perhatianku yang tak boleh terbagi dengan Fatimah saat sedang bersamanya. Awalnya aku mengerti, karena yang kutahu semenjak kakak sulungnya menikah, Navya terkesan seperti orang yang kehilangan perhatian dari kakaknya. Bahkan untuk menanyakan kabarnya saja nyaris tak pernah. Namun, aku tidak bisa begitu saja mengalihkan perhatianku dari Fatimah yang belum beranjak dewasa.

Kedatangan Fatimah membuat kenangan itu hilang. Ia sudah siap dengan dua mug dan sepiring kue cokelat kesukaan kami.

"Kamu tunggu di balkon dulu yah. Kakak mau cuci muka bentar."

"Kak, kalau emang kakak disuruh milih antara Fat sama kak Navya, kakak pilih kak Navya aja yah. Fat nggak mau jadi penghalang buat kebahagiaan kakak."

Rahangku mengeras. Ada rasa kesal yang entah datang dari mana ketika mendengar kalimat Fatimah. Bagaimana mungkin ia memintaku memilih antara dirinya dengan Navya. Fatimah bahkan kehilangan kepercayaannya terhadapku. Ingin rasanya meluapkan semua amarahku namun wajah perihnya jauh lebih menyayat hatiku. Aku meraihnya ke dalam dekapanku. Sebuah kalimat yang kuucapkan, kuharap mampu membuatnya sadar di mana posisinya dalam hidupku.

TO BE CONTINUED