webnovel

Angel and His Broken Wing

Furqan Haykal Ramadhan, adalah seorang lelaki yang diidolakan oleh setiap wanita. Namun, mata dan dunianya hanya tertuju pada adik perempuannya, Fathimah Az-Zahra Ramadhani. Furqan bahkan tidak berpikir panjang untuk mengorbankan segala yang dia mampu demi sang adik sehingga membuat Fathimah terus bergantung kepada kakaknya. Dunia yang mereka miliki perlahan terusik akan kehadiran Navya, Calon istri Furqan dan Rayhan, sahabat Fathimah yang diam-diam jatuh cinta padanya. Bagaimana Furqan yang kerap disapa Kak Rama oleh sang adik mampu meyakinkan Fathimah bahwa adiknya itu memiliki tempat tersendiri yang tidak akan pernah digantikan oleh orang lain, serta meyakinkan hatinya agar mampu melepaskan sang adik?

ShamilaPutri22 · Teen
Not enough ratings
12 Chs

Angel and His Broken Wing Bab 4

Waktu tak pernah bisa ditebak. Terkadang ia terasa berjalan sangat lamban, terkadang ia berlalu begitu cepat. Sepertinya baru kemarin aku melepas kepergian Vana, lalu menyambut kehadiran Fatimah. Namun lihatlah peri kecilku ini sekarang. Dengan langkah yang masih tertatih ia selalu berusaha menyambutku sepulang sekolah seraya memanggilku dengan sapaan khasnya. Seperti hari ini, ketika ia berlari seraya mengulurkan tangannya untuk memeluk kakiku.

"Kakak... Kok pulangnnya lama?" Suaranya masih imut, namun ketika terlalu antusias akan berubah melengking dan sedikit memekakkan telinga. Fatimah memang terdengar lebih lancar berbicara dibanding anak-anak seusianya. Dia juga tumbuh menjadi anak yang cukup ekspresif sehingga mampu mengekspresikan dirinya sendiri. Termasuk ketika ia sedih atau ngambek.

Dalam sekejap, tubuh mungilnya sudah beralih ke dalam gendonganku. Kedua tangannya memeluk leherku erat.

"Maaf yah kakak pulang telat. Fat udah bobo siang?" Ia mengangguk pelan

"Fat tunggu kakak. Tapi kakak lama. Fat udah ngantuk. Fat bobo."

"Waktu bangun dan sadar kamu nggak ada di sampingnya, dia nangis nyariin kamu. Katanya pengen ikut kamu sekolah."

"Fat, kan kakak udah bilangin nggak boleh nakal. Kalau kakak nggak ada tungguin aja. Pasti kakak bakalan datang biarpun telat. Janji yah nggak boleh gitu lagi."

"Janji" Ucapnya enteng lalu kembali memeluk erat leherku

"Tumben pulang jam segini Fur." Adalah hal yang langka bisa melihat ayah berada di rumah sebelum matahari terbenam. Biasanya ayah akan pulang pukul 8 atau 9 malam.

"Iya Yah. Tadi lagi sibuk di sekolah. Semester ini aku harus fokus sama project enterpreneur dari sekolah. Tadi juga habis diskusi sama guru di sekolah soal langkah awal eksekusinya."

"Udah punya rencana untuk project bisnis kamu?"

"Belum Yah. Tadi aku juga sekalian diskusi sama teman-teman dan kita baru kepikiran buat Outlet street food yang lagi viral. Tapi, kalau Cuma ikut-ikutan dan nggak ada yang spesial, malah nantinya bakalan ditinggalin juga kalau ada yang viral lagi. Kalau ngikut arus trend kan nggak akan bertahan lama."

"Kamu nggak ada niat buat bikin Cafe atau Coffee Shop gitu?"

"Ada sih Yah. Tapi kayaknya nggak sekarang. Aku perlu belajar lebih dulu sebelum kelola bisnis sebesar itu. Makanya aku masih nyari ide buat bisnis yang nggak beresiko besar dulu."

"Setau Ayah, selama ini kamu suka desain pakaian sendiri kan? Kenapa nggak coba fashion aja kayak bunda? Bunda kan punya banyak kenalan vendor yang bisa diajak kerjasama. Kamu juga bisa sekalian belajar dari bunda dan tante Andara kan terkait managementnya? Kamu tinggal buat desain dengan style kamu sendiri. Jadi semua desain kamu terkesan eksklusif dan limited. Nggak ada samanya di tempat lain. Ayah sudah liat desain kamu, dan semua desain kamu punya keunikan sendiri Fur."

"Tapi kan sama aja Furqan dompleng nama bunda kalau misalnya Furqan pakai koneksi bunda. Furqan nggak mau Yah. Furqan mau memulai semua dengan langkah Furqan tanpa bantuan orang lain"

"Ya kan kamu nggak perlu bawa nama bunda. Kamu Cuma butuh kontak mereka aja kan? Selebihnya tinggal kamu jalanin sendiri semuanya. Kamu nyari bahan sendiri, nyari tukang jahit sendiri, promonya juga sendiri. Jangan harap ayah sama bunda bakalan bantu promo."

"Kayaknya boleh juga. Nanti biar Furqan obrolin lagi sama bunda dan tante Andara."

Belakangan ini aku memang sedang disibukkan dengan rancangan project bisnis yang harus kubuat sebagai tugas sekolah. Kami diberi kebebasan untuk membuat project bisnis secara individu atau kelompok dengan syarat bisnis yang kami jalankan tidak boleh sekedar kemitraan atau reseller. Kami harus memiliki brand sendiri baik itu bisnis kuliner, fashion, jasa, atau apapun. Tentu kalian pernah mendengar kalimat "Setinggi apapun jabatanmu, kamu tetaplah seorang pegawai yang memiliki bos. Namun sekecil apapun usaha yang kamu jalani, kamu adalah bosnya."

Inilah salah satu alasan kuat yang membuatku yakin bahwa aku sama sekali tidak salah saat memutuskan belajar di sekolah ini. Bagiku ini bukan sekolah biasa. Jika kalian mencari sekolah yang mampu memaksa kalian untuk membentuk dan mempersiapkan masa depan kalian sendiri, sekolah ini adalah solusi yang paling tepat menurutku.

"Ya udah, sana mandi terus ganti baju dulu, terus kita jemput bunda ke butik. Malam ini kita makan malam di luar aja."

"Siap Yah."

Sebenarnya ada tugas yang harus kuselesaikan malam ini. Namun, kesempatan berkumpul bersama seperti ini adalah kesempatan langka yang sangat jarang terjadi. Aku yakin Fatimah juga membutuhkan waktu dan perhatian dari keluarga yang utuh. Aku tidak bisa menuntut banyak karena pekerjaan ayah adalah sebuah tanggung jawab besar. Resiko seorang dokter adalah pekerjaan yang tidak dapat ditunda karena bersinggungan dengan nyawa seseorang.

Sejujurnya ada sebuah ketakutan di benakku hingga kini yang mempengaruhi pikiranku. Bagaimana jika aku tidak bisa menyelamatkan pasienku nantinya? Aku ingat apa yang ayah katakan ketika pertama kali aku mengutarakan niatku untuk menjadi seorang dokter.

"Jadi dokter itu bukan hanya perkara berkeliaran dengan jas putih, stetoskop di leher, atau jarum infus dan jarum suntik. Nggak selamanya pasien yang kita tangani itu bisa selamat Fur. Ibaratnya kita bermain sama nyawa seseorang."

"Tapi kata bunda, kematian itu takdir dan nggak ada yang bisa disalahin kalau seseorang meninggal kan Yah?"

"Iya. Kematian itu memang takdir. Sama seperti Vana. Tapi, bagaimana perasaan kamu waktu lihat Vana berjuang melawan maut saat itu? Itu akan jadi pemandangan yang sering kamu jumpai nantinya. Kamu bisa berusaha menyelamatkan pasien, tapi kalau pasien itu ternyata gagal diselamatkan, apa kamu siap menghadapi kematian lagi?"

Aku terdiam saat itu. aku bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan ayah. Seperti itulah selama ini aku dididik. Ayah dan bunda akan memberikan sepenuhnya hak mengambil keputusan kepadaku selama aku mengakui bahwa aku siap menanggung konsekuensi yang mungkin akan aku hadapi.

"Kamu ngelamunin apa sih Fur?" Suara Bunda memecah fokusku. Kami sedang dalam perjalanan menuju restoran favorit bunda. Kebetulan ayah sudah mengajukan reservasi beberapa jam yang lalu.

"Yah..... Soal pertanyaan ayah yang nggak aku jawab dulu, aku udah punya jawabannya."

"Pertanyaan yang mana?" Sepertinya ayah lupa dengan pertanyaan yang ia ajukan. Padahal pertanyaan itu memberi pengaruh besar bagiku

"Ayah ingat kan pertanyaan ayah dulu, waktu pertama kali aku bilang kalau aku mau jadi dokter?"

"Oh pertanyaan itu? Jadi gimana? Apa jawaban kamu?"

Lagi-lagi aku terdiam. Berusaha meyakinkan diriku sendiri untuk mengambil keputusan ini. Mungkin bagi kalian ini terlalu berlebihan karena sebagai seorang dokter, tentu menghadapi kematian menjadi resiko yang harus kuhadapi. Tapi akan berbeda kasusnya jika proses kematian adalah pemicu trauma masa lalumu. Sebelum menghakimiku dengan label lebay, sebaiknya kalian harus mencoba untuk berada di posisiku.

"Kalau kamu masih butuh waktu, bunda ngerti Fur."

"Mau sampai kapan dia buang waktu sama dan menyerah sama semua ketakutannya? Mau sampai kapan dia jadi pengecut dan sembunyi dari traumanya?"

Tidak. Ayah sama sekali tidak marah saat mengucapkan kalimat itu. tidak ada nada sinis atau marah di sana. Ayah mengatakan dengan suara yang lembut namun intonasi yang tegas. Meski enggan mengakui, tapi ayah memang benar. Mau sampai kapan aku menjadi pengecut yang tak berani menghadapi masalahku sendiri.

Aku menarik nafas panjang, menenangkan diriku sendiri. Berusaha meyakinkan hati ini bahwa keputusanku adalah keputusan yang terbaik yang bisa kuambil. Aku menggenggam tangan mungil Fatimah yang sejak tadi sibuk memainkan jemariku. Sejenak ia mendongak ke arahku lalu tersenyum. Entah bagaimana senyuman itu mampu memberi kekuatan pada hatiku saat ini.

Benar! Sekali aku memutuskan, aku tidak boleh lagi mundur. Aku harus memilih, antara menyerah pada ketakutanku, atau terus melawan agar dapat menjadi sosok yang lebih kuat. Dan aku..... sudah menentukan pilihanku.

TO BE CONTINUED