webnovel

The Boys

"Eh Lay, aku pulang duluan ya." Bonar pamit di tempat tongkrongannya menjelang malam sambil membawa gitar kesayangannya.

Rumahnya berada di deretan warung lapo tak jauh dari terminal bus. Tempatnya cukup ramai dan berada tepat di depan trotoar yang menjadi tempat lalu lalang pejalan kaki.

"Hei, Kakak. Kau ada disini?" Bonar terkejut saat melihat bu Salma berada di lapak warung makan tetangganya.

"Aah datang juga kau Lay. Eh ini guru kau datang dari tadi sore, ngelayap saja kau ah." pemilik warung yang merupakan tetangganya menegur Bonar.

"Biasa lah, Bang. Gitaran aku sama Markus dan yang lainnya."

"Ada keperluan apa Kakak kemari?" tanya Bonar.

"Oh, hanya kunjungan ke rumah-rumah murid saja. Kebetulan hari ini giliran kamu."

"Oh begitu. Kalau begitu kita kesana saja biar enak bicaranya." ajak Bonar ke tempat yang agak ramai di ujung sana.

"Memang kenapa disini?"

"Tak enak lah aku dilihat orang-orang. Maksudku orang yang aku kenal."

Bonar mengajak bu Salma menuju tempat yang dimaksud, sebuah tempat khusus jajanan kekinian. Bonar curhat mengenai kesukaannya dalam bermusik, sedangkan tadi bu Salma berbincang dengan Ayahnya. Ia pernah diminta untuk menjadi pengganti Ayahnya sebagai mandor angkutan umum namun Bonar menolaknya karena ia tak ahli di bidang itu dan lebih memilih musik. Namun di sisi lain saat Ayahnya sudah mendukung, Bonar justru merasa minder dengan bentuk fisiknya.

"Aku suka musik, tetapi orang-orang selalu saja menertawakan fisikku."

"Kamu berani tampil kalau misalkan fisikmu bukan jadi masalah?"

"Iya lah."

"Yakin?"

"Yakin aku, Kak!"

"Ya sudah coba kamu tampil disana." bu Salma menunjuk sekelompok band akustik yang sedang manggung. Mendengar itu Bonar langsung terdiam.

"Ayo. Mana semangatmu yang tadi? Padahal suara kamu bagus loh." bu Salma tertawa kecil.

"Saya berani kok walau suara saya pas-pasan."

Bu Salma beranjak dari sandaran dinding dan langsung menghampiri band tersebut yang kebetulan baru selesai bernyanyi dan hendak ke lagu berikutnya. Ia tampak berdiskusi sebentar sebelum akhirnya bu Salma bernyanyi duet dengan vokalisnya. Sebelum reff kedua, bu Salma menarik paksa Bonar untuk bermain gitar sambil bernyanyi dengan sang vokalis sedangkan dirinya meminta semangat dari para penonton. Tak lama lagu pun berakhir dan diiringi tepuk tangan meriah penonton.

"Bagaimana?" tanya bu Salma yang saat akhir reff kedua turun panggung.

"Deg-degan aku! Tapi lega juga rasanya." Bonar tersenyum lepas.

"Selamat, kamu telah menghancurkan dinding penglahang di dalam hatimu. Yang perlu kamu lakukan adalah terus mencoba seperti tadi. Jangan merasa malu sama keadaan fisik, selagi suara kamu bagus pasti ada kok yang suka. Toh ada banyak juga penyanyi bersuara emas yang fisiknya seperti kamu dan mereka cuek aja. Akhirnya mereka terkenal dan orang-orang nggak ada masalah dengan fisiknya kan?"

Kunjungan berikutnya Bu Salma akan mendatangi kediaman Marius. Beda dengan sebelumnya, sekarang ia mengatakan langsung pada orangnya.

"Marius, hari ini saya mau mengunjungi rumah kamu boleh? Kamu hari ini nggak ada acara kumpul kan." bu Salma menghampiri Marius yang sedang menunggu angkutan.

"Tidak ada sih, Bu. Ada apa mau mengunjungi rumah kita?" tanyanya dalam logat Manado.

"Hanya kunjungan wali kelas saja."

"Yaa boleh saja sih."

"Ya sudah ayo naik motor saya aja. Nanti kamu yang arahin."

Rumahnya tak begitu jauh dari sekolah dan biasanya Marius menggunakan angkutan umum seperti mikrolet atau bus sekolah yang kebetulan melewati jalan kediamannya.

Kediaman Marius berupa sebuah kedai klasik ala kopitiam di bagian bawah dan di lantai atas merupakan kediaman pribadinya. Mereka disambut oleh satu orang pelayan.

"Oh udah pulang Marius. Kau bawa siapa kesini?" tanya seorang wanita ketika baru memasuki kafe melalui pintu bagian belakang, dengan logat biasa.

"Wali kelas kita mau berkunjung, kak."

Bu Salma terkejut melihat wanita yang Marius sebut sebagai kakaknya. Terlihat sangat cantik sehingga dirinya merasa insecure. Rupanya kakak beradik ini memiliki wajah yang rupawan.

"Aah wali kelasnya Marius? Silakan duduk. Saya bikin minuman dulu." katanya mempersilakan duduk di dekat showcase kaca berisi aneka snack dan kue.

Marius izin naik ke atas selagi kakaknya meracik kopi.

Bu Salma canggung ketika kakaknya Marius duduk di hadapannya.

"Ada apa?" tanyanya dengan wajah bingung.

"Tidak, tidak ada." jawabnya buru-buru. Jika ia adalah laki-laki, mungkin sudah naksir dan salah tingkah ketika duduk berhadapan dengan kakaknya Marius.

"Tumben sekali ada guru yang berkunjung ke rumah muridnya. Apa Marius membuat masalah lagi?"

"Bukan, hanya kunjungan biasa saja. Kebetulan saya guru baru di sekolahnya Marius dan ditunjuk sebagai wali kelasnya."

Di tengah obrolan, wanita yang bernama Marie ini rupanya hanya tinggal berdua saja dengan Marius, umur mereka selisih sepuluh tahun. Alasan mengapa Marie berbicara dengan logat biasa adalah karena dirinya sudah berada di kota ini delapan tahun lalu, sedangkan Marius baru dua tahun lebih beberapa bulan di kota ini untuk melanjutkan pendidikannya setelah sebelumnya berada di kampung halamannya di Manado. Rumah beserta toko di bawahnya sekarang ini merupakan milik pamannya yang sudah kembali ke kampung halaman dan meminta Marie untuk menempatinya, dan menggunakan lantai utama sebagai cafe.

Marie beberapa saat lalu mengatakan apakah Marius terlibat masalah lagi, berarti sebelumnya terjadi suatu kasus yang menimpa adiknya. Sifat marius yang tempramen dan memiliki harga diri tinggi terkadang membawanya ke dalam masalah. Ia ingin sekali lebih unggul dari Aldino yang merupakan rivalnya, namun seringkali Marius kalah setiap berhadapan dengannya. Hal yang paling parah adalah saat kelas sepuluh Marius bertaruh dengan Aldino siapa diantara mereka yang lebih rendah nilainya harus menetap di kelas XI-IV sampai lulus dari sekolah. Hasil akhirnya Marius tertinggal sepuluh poin dibawah Aldino. Marie sebagai kakak tentu sangat marah saat itu karena hanya melakukan pertaruhan yang bodoh dan kekanak-kanakkan.

Namun sejak kalah taruhan itu perlahan Marius mulai memperbaiki sikap dan egonya walau terkadang masih sangat kesal jika ia kalah dari sesuatu. Dari yang awalnya suka keluyuran bersama gengnya atau berdiam diri di kamar atas setelah pulang sekolah, kini Marius sering membantu Marie membuatkan pesanan ketika kafenya sedang ramai sejak Salma menjadi wali kelas dan membimbingnya.

"Dia itu sebenernya tekun dan berkemauan kuat, tapi kalo gagal atau nggak tercapai pasti selalu marah-marah sendiri dan kurang introspeksi. Ya saya sebagai kakaknya cuma bisa menasehati dan mengarahkannya supaya lebih baik."

Bu Salma setuju dengan perkataan Marie. Selama pelajaran olahraga pun Marius juga begitu, ketika gagal ia akan terus mencobanya sampai bisa, tak peduli mau berapa kalipun gagal.

Di tengah obrolan Marius turun dari kamarnya membawa tas dan membuat sebuah minuman yang dituang ke botol lalu pergi lewat pintu belakang.

"Mau kemana dia?"

"Ooh. Biasa dia fitness jam segini." jawab Marie ketika melihat jam dinding menunjukkan pukul tiga sore.

"Sekarang saya tahu dari mana ia punya badan sebagus itu."

Sabtu siang setelah mengajar ekstrakurikuler bola basket dan pencak silat, bu Salma melakukan kunjungan terakhir ke kediaman Dendi. Jaraknya hampir sama dengan rumah Laras namun berbeda arah dan terletak di pinggir jalan besar dan tidak melewati jalan-jalan kecil satupun.

Wanita yang menjawab salamnya dari balik pintu adalah Ibunya Dendi.

"Dendi nya belum pulang, Bu?" tanya bu Salma saat duduk di sofa tamu.

"Belum. Biasalah paling pergi ke acara jejepangan. Liat-liat orang pakai kostum kartun."

"Ooh, cosplay mungkin."

"Iya apalah itu."

Bu Salma menjelaskan maksud kedatangannya dan saling bertukar dialog mengenai Dendi.

Selama setengah jam berbincang-bincang, bu Salma mendapat kesimpulan sederhana mengenai Dendi di kesehariannya. Ia sangat menyukai hal berbau Jepang, terutama anime dan komik manga. Teman-teman waktu SMA-nya menyebut dengan istilah "weaboo" atau wibu. Kesukaannya ini mengingatkan bu Salma pada sang kakak dari adik kembarnya. Saking sukanya, Dendi sampai berlatih menggambar karakter yang ia tonton dan hasilnya lumayan bagus sampai saat ini. Namun kesukaannya itu membuatnya lalai dalam belajar dan menghabiskan banyak waktu untuk menggambar dan menonton anime ketimbang belajar. Akibat dari itu, ia harus dipindahkan ke kelas ujung ketika sudah kelas sebelas.

"Lihat ini semua."

Ibunya mengajak bu Salma melihat-lihat kamar Dendi dari luar. Tak sedikit mainan dari anime lawas seperti mobil Mini 4WD, gasing dan model 3D berbagai karakter anime di dalam lemari kaca, poster-poster dan beberapa lembar sketsa cerita bergambar yang Dendi buat sendiri. Kelihatannya ia ingin membuat suatu cerita komik versinya sendiri. Bukan waktu yang sebentar ketika melihat hasil kerja Dendi yang menurutnya luar biasa ini.

"Untuk apa semua? Nanti juga bakalan nggak berguna dan menunggu semua taruh di gudang."

"Menurut saya, anak Ibu belum bisa membagi waktunya antara hobi dan belajar, dan juga mungkin belum tahu cara menjadikan hobinya itu bisa mendatangkan keuntungan. Saya akui karyanya bagus, saya yakin butuh waktu lama untuk bisa membuat karya sebagus ini. Mungkin ini bakatnya dia. Saya juga punya adik yang hobinya sama, sudah belajar sejak dulu belum bisa sebagus buatan Dendi. Mungkin bukan bakatnya adik saya dalam menggambar. Saran saya sih harus bisa membagi waktunya saja." kata bu Salma sambil membaca cerita bergambar karya Dendi, lalu meletakannya kembali di meja.