1 1. Keributan Saat Fajar

Matahari belum terbit, tapi aku sudah duduk di tepi jendela, menikmati satu-satunya waktu tanpa gangguan hari ini. Karena aku membutuhkan setiap motivasi yang ada di dunia, untuk menyambut kesibukan yang akan menghadang beberapa saat lagi.

Entah berapa lama aku menghabiskan menatap rerimbunan pohon di hutan yang mengelilingi rumah ini, mengagumi mereka. Bagaimanapun juga, hanya itu yang bisa kulakukan, untuk menghapuskan rasa rindu tak tertahankan, yang menyiksaku sepanjang malam.

Harus diakui, ritme kehidupan di sini lebih lamban dari ritme kehidupanku sebelumnya. Tapi di saat yang sama, terasa lebih berat.

Ah, andai saja seseorang, siapapun, bisa datang dan membantuku…

Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu. Ketukan yang terdengar lirih, menandakan waktuku merenung telah habis.

'Ah, sial sekali,' batinku menatap langit yang masih belum sepenuhnya terang. Ini lebih awal dari biasanya. Apa yang terjadi kali ini? Semoga hanya masalah sepele.

Aku menarik napas panjang, lalu berujar, "Masuklah, Laras," menahan diri agar tidak mengerang kesal.

Melakukan itu hanya akan membuat Laras, yang kini mengintip di balik pintu merasa terluka.

"Aku, tidak mengganggu Kakak?" bisik anak perempuan itu ragu.

Aku menggeleng pelan, sambil tersenyum menepuk bangku di sampingku. Memberi isyarat padanya untuk duduk.

Laras yang biasanya langsung mendekat, kini menggeleng cepat. Reaksinya membuatku mengernyitkan dahi. Jangan bilang Yoda, si Biang Kerok itu, mengganggunya lagi? Namun sebelum aku membuka mulut untuk bertanya, dia menundukkan kepala sambil bergumam, "Mada mencari kakak."

Aku segera bangkit, menyentuh pundak Laras perlahan. "Mada? Mada sudah bangun?" gumamku sangsi. Aku tidak meragukan Laras. Tapi kabar yang dia bawa terdengar sangat ganjil.

Mada adalah anggota paling kecil dalam keluarga ini, dan biasanya, anak terakhir yang bangun. Aku ingat benar, sejak kedatangannya di rumah ini, Mada baru akan bangun setelah persiapan makan pagi berakhir, saat aroma masakan memenuhi seisi rumah.

Satu-satunya pengecualian adalah ketika--

"…Sudah kuduga. Pasti Yoda membuat masalah lagi, kan?" tanyaku pada Laras, mengungkapkan dugaan yang sedari tadi memenuhi pikiranku.

Anak perempuan itu menunduk semakin dalam, menggeleng kuat.

Aku menghela napas keras, sebelum berjongkok, berusaha menatap matanya. "Bukankah kakak sudah bilang, jangan menutupi kesalahan orang lain? Itu hanya akan--"

"Tapi Mada memang bangun karena aku!" serunya dengan mata berkaca-kaca.

Aku mengangguk-angguk, seolah mengerti ucapannya. Meski perkataannya terdengar meragukan, hanya itu yang bisa kulakukan sekarang."Baiklah, kakak mengerti. Bisa ceritakan apa yang terjadi?"

"Tapi Mada…"

"Kak In!"

Bersamaan dengan ucapan Laras, pintu kamar anak-anak berdebam, terbuka dengan cepat.

Aku meringis, dalam hati berdoa semoga ajian yang menjaga rumah ini tetap utuh. Aku tak bisa membayangkan, dana apa yang bisa dipakai andai ajian itu sudah luntur, dan rumah tua ini tak lagi bisa bertahan sebab perlakuan kasar anak-anak padanya.

Sambil menghela napas panjang, aku menatap anak-anak yang berlarian ke arahku. Berusaha mengungkapkan kekecewaan pada mereka yang membuat keributan sepagi ini.

Beruntung, mereka, anak-anak itu memahamiku, dan berhenti hanya beberapa langkah dariku. Hampir semua, karena Mada justru menubrukkan diri ke arahku.

"Jadi," aku menarik napas dalam-dalam, "beri alasan yang baik kenapa kalian membanting pintu, tadi."

Seolah menunggu aba-aba dariku, Mada berteriak di telingaku, "Yoda!"

Aku mengangguk-angguk, menutup mulutnya. Menghentikan Mada yang siap menjelaskan semuanya padaku. Hari masih terlalu pagi untuk mendengar suaranya yang melengking. Dan membiarkan Mada kembali berteriak, tak hanya akan membuat telingaku berdenging seharian, tapi juga membuatnya menangis karena tenggorokan yang sakit beberapa jam lagi.

"Jadi, apakah hanya Mada yang bebas dari tugas bersih-bersih toilet, minggu ini?"

Mereka berpandangan, sebelum Darma, anak paling tua di sini membuka mulut. "Harusnya hanya Yoda yang dapat tugas membersihkan toilet."

"Kenapa? Dia bahkan nggak ada di sini."

Seolah menunggu reaksi dariku, satu persatu anak di rumah ini membuka mulut.

Bahkan Mada, yang berhasil melepaskan tanganku dari mulutnya, sesekali menambahi.

Dan, Darma benar. Bocah tengil itu memang perlu diberi tugas toilet. Dan kalau aku tak punya rasa kasihan, mungkin aku akan mengunci Yoda di luar seharian kalau berhasil menemukannya nanti.

Argh. Tidakkah anak itu setidaknya memberitahuku sebelum berniat meninggalkan tempat ini?

Aku bahkan akan memberinya uang saku karena simpati. Dia bisa membawa anting terakhir yang kumiliki, untuk ditukarkan uang. Tapi berhubung Yoda memutuskan untuk menyelinap diam-diam di saat fajar dan membuat semua anak panik, yang kini kurasakan hanyalah rasa kesal, dan keinginan untuk menghajarnya habis-habisan.

Hal yang tidak akan benar-benar terjadi, karena menjitak kepalanya saja, sudah membuat tanganku berdenyut kesakitan.

"Oke. Oke. Aku mengerti."

Aku melepaskan rangkulan Mada yang begitu kuat di punggungku, sambil berdiri.

"Baiklah, sekarang kita harus menyiapkan sarapan, sebelum mencari saudara kalian. Lalu, Darma dan semua yang tidak bisa membantu memasak, tolong persiapkan diri untuk turun ke desa nanti. Kalian bisa mengantarkan hasil kebun ke Tuan Abi tanpa aku, kan?"

Darma mengangguk, dan beberapa anak bersorak. Mungkin mulai membayangkan manisan yang bisa mereka minta dari Tuan Abi, salah satu penjual sayur di desa.

Melihat itu, aku menggelengkan kepala sambil berjalan menuju dapur, diikuti oleh beberapa anak yang terlihat murung, kemungkinan besar kesal karena kesempatan mereka mendapat manisan menghilang begitu saja.

***

Butuh waktu beberapa lama sampai sarapan tersaji, dan anak-anak yang bertugas turun ke desa berganti baju.

"Laras, Darma, tolong jaga adik-adik kalian dengan baik, ya?" ujarku begitu mereka sudah bersiap di meja makan. Aku lantas membuka pintu setelah memastikan jubah yang kupakai terpasang dengan baik.

Aku benci melakukan ini. Tapi meski terlihat aneh, ini lebih baik daripada harus bertemu dengan orang-orang yang bisa mengenaliku, meski warna rambutku sudah berubah.

Aku tahu, beberapa orang di dunia ini cukup gila untuk menghabisi nyawa orang yang tak bersalah, hanya karena mengingatkan mereka pada kenangan buruk.

Meski tak ada jawaban dari anak-anak, aku tetap berjalan keluar, menuju jalanan ke hutan.

Walaupun Yoda dengan begitu bodohnya memilih kabur di pagi hari, dia cukup pintar untuk tahu bahwa kabur ke arah desa hanya akan membuatnya tertangkap lebih cepat.

Tapi kabur ke hutan saat matahari bahkan belum terbit... bagaimanapun juga, itu perbuatan bodoh.

"Semoga saja dia masih hidup, karena aku akan membuatnya menyesal melakukan kebodohan ini. Apa dia pikir, binatang buas di hutan ini akan diam saja, melihat ada sasaran empuk sepertinya?"

"Ah, jadi sasaran empuk ini, kau mengenalnya?"

Aku segera berbalik ke arah suara itu, menggenggam bola sihir yang tak pernah ku keluarkan dari saku jubahku.

Hanya beberapa meter dari tempatku berdiri, seorang pria berambut perak memanggul tubuh bocah.

Sial. Sial. Sial.

Setidaknya kalau binatang buas, satu atau dua bola sihir cukup untuk mengusir mereka. Tapi pria itu, yang raut wajahnya serupa dengan cinta masa laluku, dia berbahaya. Dua puluh bola sihir mungkin tak cukup untuk melumpuhkannya.

"Apa yang kau lakukan padanya?" desisku berusaha menguasai diri. Kalau aku menyerangnya begitu saja, sosok yang diikuti seekor macan kumbang itu mungkin akan menyakiti Yoda, yang masih tidak bergerak sedari tadi.

Dia menatapku dalam diam. Kami bertatapan beberapa lama, sampai dia tiba-tiba menoleh ke belakang.

Aku tak mengerti apa yang dia lakukan, tapi binatang yang mengikutinya melenguh, sebelum menghilang entah kemana.

"Jadi, kemana aku perlu mengantarkan kalian?"

Aku yang mengulurkan tangan untuk menggendong Yoda yang ternyata hanya pingsan, mengerjap mendengar pertanyaan itu. Apa maksudnya?

"Terimakasih, biar aku bawa sendiri adikku."

Dia mengangkat alis, berkata, "Kau tahu, saat adikmu pingsan karena ketakutan melihat peliharaanku, dia terkencing-kencing--"

"Ikuti aku!" sahutku cepat.

Jika pria berambut perak ini benar-benar kerabat dari pria terkutuk itu (kuharap bukan. Semoga saja bukan), maka dia akan terus mengungkit kejadian ini, kecuali bila aku memenuhi permintaannya.

Dan kalau membawanya ke rumah kami bisa mencegah hal itu terjadi, aku akan melakukannya dengan senang hati.

Semoga saja aku tak menyesali ini nanti.

avataravatar
Next chapter