webnovel

Tempat Paling Aman

Langit Biru memasuki angkutan kota berwarna jingga berpadu warna merah menuju ke pusat kota. Di dalamnya hanya ada beberapa penumpang dan seorang sopir yang sering berteriak menawari orang-orang yang berdiri di pinggir jalan—terutama di persimpangan jalan. Suaranya parau dan cara mengemudinya buruk. Sering berhenti seenaknya dan menggeber laju angkot seketika. Klakson sering kali terdengar. Klakson itu lebih mirip suara sirine, saking seringnya berbunyi.

Satu-dua orang berhasil menjadi penumpang baru di angkot ini. Walhasil Langit Biru harus beberapa kali menggeser tubuhnya untuk memberi kesempatan duduk bagi mereka. Namun, ulah sopir yang berteriak-teriak itu tak jua berhenti. Sepertinya semua penumpang sudah bebal terhadap kelakuan sopir itu. Tak ada satupun yang komplain.

Begitu pula dengan Langit. Dia tak ambil pusing. Karena kepalanya kian pening dengan pikirannya sendiri. Dia tiba-tiba teringat dengan Daun Merah. "Tinggal satu kali lagi. Jika sekali lagi Tuhan mempertemukan saya dan dia dengan cara di luar nalar, saya akan meyakinkan dirinya bahwa sayalah orang yang bisa membuatnya bahagia. Iya, satu-satunya orang. Saya akan berusaha segila usaha, sepenuh rasa, tanpa harus memaksa. Saya baru akan menyerah jika sudah diterima," batin Langit.

Namun seketika dia berusaha menepisnya. Masih ada persoalan nyata yang dihadapi menyoal gadis itu. Nyatanya dirinya dan gadis itu baru bertemu dua kali dan tidak meninggalkan alasan apapun untuk saling mengenal lebih lanjut.

"Iya, itu pertemuan yang sangat berkesan. Terus terang saya terpesona dengan paras cantiknya, dengan sikapnya yang sedikit aneh, tapi unik itu. Namun, saya tidak mau tertipu oleh pandangan mata. Biarlah Tuhan saja yang memberi isyarat-Nya kepada saya. Saya yakin Tuhan bukan penipu. Meski saya juga tahu bahwa Dia juga pembolak-balik rasa. Tiga pertemuan tak terduga adalah tanda dari-Nya bahwa saya telah diizinkan untuk membuka hati kepada gadis lain setelah sekian lama menutupnya hanya untuk Gadis Sepotong Pizza. Biarlah saya simpan kebersamaan dengannya di dalam palung rasa, tempat terdalam paling aman dan layak untuk dirinya. Saya yakin akan percuma jika harus melupakannya."

Langit Biru menghela nafasnya. "Perempuan seperti Daun Merah masih menjelma sebagai bayangan. Hanya sebatas fatamorgana. Memang saya akui dia adalah bayangan yang memesona. Tapi sayangnya dia bukan kenyataan saya."

Langit Biru memutuskan untuk mengeluarkan novel dari dalam tasnya. "Membaca bisa menghapus kegelisahan," batin Langit.

"Itu novel Ketika Cinta Berzikir, Mas?" tanya seorang penumpang di sebelah Langit Biru.

Langit masih hirau dengan sumber suara lembut itu. Beberapa detik kemudian menyadari ternyata ada yang memerhatikan dirinya. Padahal sama sekali dia tak memedulikan keadaan di dalam angkot ini. Dia hanya menyuntuki dirinya sendiri selama di dalam angkot.

"I.. ya," jawab Langit sambil memeriksa siapa gerangan yang sedang bertanya, "Eh, iya, Mbak." Segera saja Langit mengalihkan pandangan ke novelnya lagi.

"Keren, ada laki-laki yang membaca di dalam angkot," timpal penumpang perempuan itu.

Langit menengok ke arah perempuan itu lagi. Perkataannya terasa tajam. Langit memerhatikan lebih seksama. Perempuan itu, sih, lebih tepatnya disebut sebagai seorang gadis. Dia mengenakan pakaian yang didominasi warna merah muda. Berjilbab dan baju lengan panjang merah muda garis-garis, dan celana jeans warna hitam. Sepatu santai dikenakannya.

"Sudah membaca?" tanya Langit Biru didorong insting ingin tahu.

"Sudah. Sudah dua kali malahan," jawab gadis itu datar.

"Bagaimana penilaianmu?"

"Hmmm, sebagai sebuah karya imajinatif, novel ini menyenangkan. Senang saja bisa membacanya hingga tuntas. Jarang-jarang saya bisa membaca buku tanpa merasa bosan."

Langit terlihat mengernyitkan keningnya.

"Suka membaca buku?"

"Tidak juga. Baru kali ini membaca buku tanpa terpaksa. Biasanya, sih, membaca buku-buku pelajaran, buku kuliah, dan buku resep bahagia. Hahaha."

Ledakan tawa terdengar dari mulut berbibir tipis milik gadis itu. Tawa yang terlihat dipaksakan.

"Mbaknya lucu juga, ya, hehehe."

"Saya suka dengan tokoh utamanya. Ahham. Seorang yang pekerja keras, tanggung jawab, pintar, tampan, sholeh, dan sayang hanya ada dalam novel."

Perempuan itu tiba-tiba meminta sopir untuk menghentikan laju angkot. Melewati Langit dan keluar begitu saja usai menyerahkan ongkos. Langit Biru memandangi gadis itu dari balik kaca angkot yang kembali melaju meninggalkan perjumpaan yang aneh ini. Ada sebarisan pertanyaan yang tak sempat diajukan Langit kepada gadis itu.

***

Langit Biru sampai di tempat kerjanya. Beberapa menit sebelum jam kerjanya dimulai. Dia segera berganti pakaian dan beraksi dengan alat-alat kebersihan.

Bekerja menjadi cleaning servise adalah tantangan tersendiri bagi Langit Biru. Terlebih ini merupakan pekerjaan part time kesekian bagi Langit. Dia harus pandai mengatur waktu, mengelola kegiatan harian, dan tentunya menjaga kebugaran badan dan kejernihan pikiran. Di antara kegiatan perkuliahan dan tugas-tugas yang menumpuk, aktivitas jurnalistik, dan beberapa pekerjaan pendek harian lainnya, Langit benar-benar dituntut untuk menjaga ritme waktu sesuai dengan ritme semua kegiatannya itu. Jika tidak, maka bisa berantakan semua.

Selain tertantang oleh waktu, Langit berupaya belajar memahami sisi kemanusiaan dari bekerja sebagai cleaning servis. Bagaimana mungkin pekerjaan bersih-bersih mengajarkan tentang kemanusiaan? Tentu saja mungkin.

Karena pekerja kebersihan ini masih dinilai sebagai pekerja rendahan. Kotor oleh pandangan-pandangan yang dipenuhi oleh perasaan menghinakan. Mungkin, satu-dua level berada di atas pemulung di tempat pembuangan sampah akhir. Bedanya, cleaning servis berseragam dan bertugas di tempat yang adem di dalam gedung-gedung bertingkat.

Langit Biru merasakan hal demikian. Beberapa kali peristiwa menunjukkannya. Bagaimana seorang pengunjung memarahinya habis-habisan karena terpeleset di lantai yang baru saja Langit pel. Padahal dirinya telah memasang peringatan bahwa lantai basah. Orang itu tetap saja marah dan baru mereda setelah orang tersebut menumpahkan kemarahannya (lagi) kepada atasan Langit. Orang itu menuntut ganti rugi karena ponselnya ikut jatuh dan rusak. Selain itu, memaksa Langit untuk memohon maaf. Langit dengan santai menjawab, "Ponsel juga akan terpeleset saat berjalan menggunakan kaki."

Seorang lainnya pernah dengan sengaja menumpahkan minumannya, memuntahkan makanannya, dan menjejakkan alas kakinya di tempat yang sedang dibersihkan Langit. Mereka bahkan pernah membuang sampah di hadapan Langit dan dengan sengaja bilang minta dibersihkan sekalian. Belum lagi kelakuan penonton di dalam bioskop. Tak jarang air liur dan ingus membekas di kursi penonton. Disertai kudapan dan bungkusnya yang berserakan di lantai. Bermacam rupa perilaku menghina pekerjaan Langit. Padahal sebagian besar dari mereka berpakaian necis, bergaya mengikuti trend mode, terlihat berpendidikan tinggi, namun tak sedikit yang berperilaku menghinakan orang lain seperti itu.

Di sinilah letak pelajaran kemanusiaan yang didapat Langit Biru dari perkerjaan bersih-bersih ini. Langit belajar bahwa soal manusia menghinakan manusia lainnya, di manapun saja tempat di muka bumi ini selalu saja terjadi, bahkan berjalan beriringan dengan sejarah umat manusia.

Setelah sekian lama beristikomah menjadi petugas kebersihan, dia menemukan jawaban yang sekian lama dicarinya mengenai kemanusiaan. Jawabannya adalah pada saat manusia mengagungkan kemuliaan, kehebatan, kekayaan, keindahan, kepintaran, dan segala jenis superioritas manusia, maka terjadi pula upaya-upaya sebaliknya. Karena kemuliaan tidak akan tampak nyata tanpa disandingkan dengan kehinaan. Kehebatan tak ada apa-apanya tanpa ke-tak-berdaya-an. Kekayaan tak ada artinya tanpa adanya kemiskinan. Maka, selalu saja ada pihak-pihak yang melabeli dirinya dengan sesuatu dan memberi label lain kepada liyan agar perbedaan itu selalu nyata dan jelas.

Langit Biru menyimpulkan bahwa manusia saling berebut menginjak kepala manusia lainnya untuk menunjukkan sisi superioritas yang dimiliki—secara sadar atau tidak.

***

Langit Biru tak kaget saat diminta oleh rekan kerjanya untuk membersihkan kursi nomor sekian pada baris ke sekian. Temannya itu menyodorkan plastik yang berisi kudapan Dia berjalan santai ke tempat yang dimaksud.

Ruang bioskop ini temaram dengan beberapa lampu yang menyala. Namun, cahayanya cukup terang bagi Langit Biru yang telah terbiasa. Dia seorang diri membersihkan ruangan seluas ini. Ada jeda dua puluh menit lagi sebelum penonton kembali berdatangan dan sepuluh menit berikutnya mulai menikmati sajian tontonan film yang diputar.

Tugas membersihkan seperti ini, meski dilakukan seorang diri, bisa dilakukannya dengan cepat. Karena rekannya yang bertugas memandu penonton masuk dan keluar ruangan, tak hanya bertugas itu saja. Dia juga memeriksa baris demi baris bangku-bangku penonton. Baru kemudian melaporkan kepada Langit Biru di bagian mana saja yang perlu dibersihkan segera. Sehingga pekerjaan Langit Biru bisa langsung terarah. Tidak perlu memeriksa satu per satu bagian. Bahkan rekan kerjanya itu juga sering kali membantu memunguti bungkus makanan dan minuman yang ditinggalkan oleh penonton.

Pekerjaan berat dalam hal menjaga kebersihan ruang tonton justru berada di pundak pekerja full time yang berkerja dari pagi sampai sore hari yang kemudian digantikan oleh pekerja semacam Langit. Mereka yang bekerja fulltime berkewajiban membersihkan seluruh bagian bioskop centi demi centinya. Sebelum jadwal film pertama diputar, setiap sudut di dalam bioskop ini harus sudah dalam keadaan bersih. Setiap bangku penonton harus dibersihkan satu per satu. Tanpa ada yang terlewatkan.

Sedangkan pekerja semacam Langit Biru hanya bertugas yang ringan-ringan saja. Kecuali terjadi hal yang tak terduga. Misalnya, ada air minum yang tumpah, makanan ringan yang berserakan, atau terjadi aksi vandal yang dilakukan oleh penonton tak bertanggungjawab. Hal ini membuat pekerjaan Langit Biru cukup berat dan menyusahkan.

Langit Biru tak pernah merisaukan hal itu. Bagi Langit, seberat dan sebanyak apapun pekerjaan, lebih baik segera dikerjakan. Langit dipekerjakan untuk bekerja, bukan untuk mengeluh. Toh, dari sekian jam waktu bekerja, tak melulu bekerja terus. Ada saat-saat untuk istirahat, ada waktu untuk bercengkerama dengan rekan kerja, dan ada waktu-waktu yang bisa dimanfaatkan untuk dirinya sendiri menulis catatan harian. Waktu-waktu itu ada yang terjadwal, juga ada yang hadir dengan sendirinya dengan cara menekuni dan memahami alur kerjanya, serta memahami siapa saja teman-teman kerjanya dan kebiasaan-kebiasaannya saat bekerja dan tentu saja kepribadiaannya. Saat itulah dengan mudah dapat menemukan celah di antara rutinitas pekerjaan.

Selain itu, dengan memahami lingkungan kerjanya, Langit Biru menemukan tempat favorit bagi dirinya sendiri. Tempat yang menunjukkan teritori dirinya. Dimana teman-teman sekerjanya bisa dengan mudah menemukan dirinya karena saking seringnya berada di sini. Di sini Langit bisa menjangkau ke berbagai tempat. Tempatnya cukup luas dan agak tersembunyi. Jarang dilalui oleh pengunjung, kecuali sedang nyasar. Dan, tidak jauh dari ruang bagi petugas kebersihan. Sehingga dia masih bisa sering bersendau gurau dengan kawan kerjanya. Di sini, di undakan tangga darurat, kawan-kawannya itu sering menyebut "pangkalan" Langit Biru. Tak jarang mereka pun ngobrol di sini.

Langit berada di pangkalannya usai melaksanakan tugas. Tangannya memegang plastik yang berisi makanan ringan dan minuman dalam botol. Juga sebuah kunci dengan gantungan yang unik. Bunga maple berwarna jingga. Tadi seorang rekan memberikannya kepada Langit. "Mas, minta tolong simpankan dulu," begitu pesannya.

Langit memasukkan kunci itu ke dalam sakunya. Lalu, langsung membuka botol minuman yang isinya berkurang sedikit, lalu menenggak hingga tandas. Nasib serupa juga dialami oleh camilan yang ada di dalam plastik. Semuanya tandas, kecuali bungkusnya. "Sudah saya simpankan. Lumayan buat mengganjal perut," batin Langit.

Saat hendak membuang bungkus-bungkus itu, mendadak rekannya datang kembali.

"Mas Langit, kunci yang tadi saya serahkan mana?" tanyanya.

"Ini!" Sambil mengambil kunci itu dari sakunya dan menyodorkannya. "Sudah dicari pemiliknya?" balas Langit.

"Iya. Dia ada di depan. Sana serahkan!" pintanya.

"Ini saya serahkan ke kamu. Kamu berikan ke dia." balas Langit lagi.

"Yakin ndak mau menyerahkan?"

"Iya, yakin, Dik Ana Nananana Nananana." Langit menyenandungkan nama itu.

"Ihhh..., pemilik kuncinya cantik, lho. Cantik banget malahan. Saya sampai minder." rayunya seraya mengembangkan senyum lebar-lebar.

"Sana, sana!" Langit menggerakkan jari-jari tangan kanannya, memberi kode kepada seseorang yang dipanggil Dik Ana itu untuk segera pergi menyerahkan kunci ke pemiliknya.

"Iya, saya ke sana. Tapi yang lain?"

"Lainnya? Apa?" Langit bertanya-tanya mendadak bingung.

"Camilan dan minuman yang tadi saya berikan."

"Ini!" sambil memegang perut lalu mengelus-elusnya.

"Huh, dasar Mas Langit! Kalau sudah lapar tidak bisa lihat makanan nganggur. Kalau ditanya bagaiamana?"

"Sampaikan saja sudah disimpan."

"Disimpan?"

"Iya, disimpan di tempat paling aman. Saya yakin dia hanya butuh kuncinya. Sudah sana berikan kuncinya!"

"Iya, deh, tapi ndak usah dorong-dorong kali."

"Hehehe" [ ]