webnovel

Perbatasan Nyata dan Mimpi

Kegelapan terhampar di hadapan Langit. Hening menjadi melodi. Sepi menimbulkan teka-teki.

"Apa saya masih Langit?" tanya Langit kepada dirinya sendiri.

Sedangkan gelap dan hitam menyatu. Dirinya pun melebur bersama benda-benda. Karena di dalam gelap yang ada hanyalah kegelapan. Satu dan menyatu.

Dia tidak menemukan jawaban. Tapi dirinya masih bertanya-tanya. Pertanyaan yang sama. Sama membingungkan dengan pertanyaan: lebih dulu ayam atau telur?

Di antara tanya dan jawaban yang belum ditemukannya itulah terdapat proses berpikir. Dan, dengan berpikir maka dirinya ada. Cogito ergo sum.

Langit mengingat bahwa dirinya baru saja terbang. Bukan sebagai super hero dengan super power. Dia terbang karena ada sesuatu yang menerbangkannya.

Maka, dia berpikir untuk segera mencatat sesuatu di daftar bahagia: merasakan sensasi terbang memeluk angin. Dia pun berusaha mencari bukunya. Namun, tiba-tiba rasa sakit terasa di sekujur tubuhnya, terutama di paha dan siku tangan kirinya.

Langit kembali merasakan berada di garis yang memisahkan nyata dan mimpi. Hingga sesuatu terjadi dan mengubah kegelapan.

Berkas sinar menerobos pikirannya melalui celah kelopak matanya. Kegelapan berangsur berganti terang. Meski awalnya tampak kabur, lambat laun keadaan menjadi jelas.

Habis gelap terbitlah terang. Pertanyaannya: lebih dulu gelap atau terang?

Langit terbaring. Dia mendapati wajah cemas seseorang yang dilihat Langit berada di atasnya. Gambar wajah itu pun direkam oleh Langit menggunakan dua bola matanya. Hasil rekaman itu sepertinya akan sering diputar oleh Langit. Meski kekuatiran tergambar di kedua mata dan bibir perempuan itu, jejak-jejak pesona masih terlihat. Apalagi degup jantung cepat dan nafas yang berkejaran itu menjadi soundtrack pengiring rekaman gambar wajah.

Rasanya waktu merambat pelan. Hingga Langit menyadari bahwa dirinya merasakan sensasi yang aneh. Di antara rasa sakit di beberapa bagian tubuh di sebelah kirinya, dia merasakan sesuatu yang keras di sekujur punggung dan kaki, namun sesuatu yang lembut dan hangat sekaligus empuk berada di kepala. Rupanya aspal menjadi alas tubuhnya dan sesuatu yang nyaman itu adalah ... di pangkuannya.

"Di pangkuan ..., hah, perempuan? Bukankah dia perempuan yang memesona itu...," Langit terkaget dalam ingatannya sendiri.

Lalu, dia pun bangkit. Terduduk. Pusing dirasakan oleh kepalanya. Dia berpikir sejenak. Mengamati keadaan di sekitar. Dia mendengar perempuan itu mengajaknya berkomunikasi. Kalimat-kalimat tanya berulang-ulang yang dilontarkan perempuan itu dijawab oleh diam oleh Langit. Langit sedang menikmati pusing di kepala dan rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya. Namun, dia berusaha menjawab pertanyaan perempuan itu dengan tindakan.

Dengan berdiri. Iya, berdiri. Itu berarti dirinya tidak apa-apa. Tidak ada suatu apapun yang perlu dikuatirkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan berulang yang bernada penuh kecemasan.

Lantas Langit pun berusaha berdiri. Tangannya memegang pundak perempuan itu. Saat Langit sudah berdiri, perempuan itu ikut berdiri. Tangan perempuan itu didermakan untuk menjadi pegangan tangan Langit.

"Tangan yang lembut," pikir Langit.

Dia berusaha menggerakkan kakinya dan hendak meluapkan kemarahan. Langit ingin menegur sikap ugal-ugalan pengendara mobil yang telah menabraknya. Namun setelah mendapati dirinya masih hidup dan hanya merasakan sakit yang tak seberapa itu, amarah Langit berangsur turun. Terlebih saat mendengar pengakuan perempuan itu bahwa dirinyalah yang menabrak Langit tanpa kesengajaan. Berkali-kali permintaan maaf didengar Langit. Hal ini menjadikan kemarahannya menghilang.

Dilihatnya beberapa orang mendekat. Mungkin, mereka penasaran terhadap peristiwa yang baru saja terjadi di perempatan yang berangsur sepi.

Malam menepikan orang-orang di ruang-ruang sempit. Mengistirahatkan siang atau memeriahkan malam. Lagi-lagi pertanyaannya: lebih dulu siang atau malam?

Lampu lalu lintas di jalurnya masih berwarna hijau. Langit tertatih menyeberang. Berjalan menghiraukan pandangan. Sebelum gelap menghapus sosok perempuan yang memberi pengalaman terbang, di seberang jalan Langit menoleh untuk memandang. Dilihatnya tatapan perempuan itu berganti dengan kebingungan: ketegangan terjadi dan seketika berakhir. Seperti tidak pernah terjadi apapun. Bagai mimpi.

Nyala lampu berganti. Suara klakson memecah sunyi. Waktu perlahan menghapus pesona dalam pandangan. Menggantinya dengan rekaman ingatan.

Perempuan itu masuk ke dalam mobil dan melajukannya pelan seiring waktu yang terasa semakin cepat.

Langit mantap berjalan. Semantap dia mengingat, "Daun Merah, nama yang unik."