webnovel

An Extras of Abimayu's Story

Adult Content 21+ Dalam sebuah cerita, ada 3 jenis pemain di dalamnya. Yang pertama, pemeran utama perempuan. Yang kedua, pemeran utama laki-laki. Dan yang ketiga, adalah pemeran antagonis. Abimayu Kai Damian adalah laki-laki populer dengan sejuta keahlian yang dimilikinya. Lahir dari keluarga kaya raya, dan terkenal sangat jenius. Apalagi, dia juga atlit voli. Dan ya, dia adalah pemeran utama dalam cerita ini. Ada Kania pula. Dia pemeran utama perempuan dalam sebuah cerita. Pasangan dari pemeran utama pria di sini. Dan ada Larasati. Tukang bully, penjahat, penyuka Abimayu garis keras, sekaligus temanku. Dan aku? Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya pemeran figuran dalam cerita ini.

MadeInnEarth · Teen
Not enough ratings
27 Chs

Extras 4 : Abimayu Jenius

"Ada apaan?" Tanyaku heran, menatap Abimayu yang berdiri di depan pintu kelas.

"Ikut gue." Katanya sambil berbalik dan berjalan duluan.

"Hah? Nggak mau!" Kataku, kesal. Membuat Abimayu tersentak, dan berbalik dengan wajah yang lebih kesal dari sebelumnya. "Gue belum selesai nyatet, dan jam pelajaran pertama juga belum selesai. Nanti kalau gue nggak selesai nyatet sebelum jam pelajaran kedua, gimana?" Jelasku.

Abimayu menggeram kesal. Dia berjalan kembali ke arahku. "Ikut gue bentar!" Lah maksa.

"Kenapa? Kan bisa ngomong di sini!"

"Ikut aja apa susahnya sih?!" Abimayu malah tambah kesal. Padahal aku yang seharusnya kesal di sini. Dia bahkan sudah menarik tanganku tanpa seizinku.

Aku menarik tangaku balik walaupun tidak dapat membuatnya melepaskan tanganku. "Gue belum selesai nyatet!"

"Ikut gue sebentar!!" Abimayu makin menarikku, kali ini malahan membuatku sampai berjalan mengikuti langkahnya.

"Tapi catatan gue-ah! Abimayu!!" Si Sialan ini!! Dia malah berlari dan membuatku tertarik ke hingga mengikuti langkahnya yang gorila itu. Hah ..., Selamat tinggal, catatanku. Aku tidak mungkin bisa menyelesaikanmu. Karena sekarang saja, aku sudah berjalan sekitar 1 menit lebih, yang mana membuatku harus kembali 1 menit lebih juga. Total berarti 2 menit lebih sudah disia-siakan. Belum lagi, aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Abimayu sampai dia harus membawaku ke belakang sekolah yang sepi dan baru melepaskan tanganku di sana.

"Ada apa?" Tanyaku, datar. Lebih tepatnya, aku kelelahan. Lelah karena memikirkan catatanku yang tidak akan terselesaikan.

"Lo harus rahasiain apa yang udah lo liat kemarin."

"Um, oke." Kataku, mengangguk dan berbalik, mencoba untuk pergi dari sana. Walaupun aku tidak tahu dia menyuruhku merahasiakan yang mana. Paling semuanya saja aku rahasiakan. Lagipula, tidak ada bagus-bagusnya menceritakan tentang dia.

"Woy! Gue serius!" Kesal Abimayu, sudah berada di depanku lagi. Wah, cepat sekali dia berada di sana. "Awas aja kalo yang kemarin nyebar! Gue udah tau pasti kalo lo pelakunya!"

"Iya, oke. Lo budek apa gimana sih?" Kataku kesal. Dia hanya membuang-buang waktuku.

"Trus tadi lo ngobrolin apa sama si Laras-Laras itu?! Kenapa ada nama gue?"

"Oh. Itu karna gue ngasih tau dia kalau gue jadi manager voli."

"Trus kenapa nama gue dibawa-bawa?"

"Nah, kalo itu, tanya dia aja. Gue juga nggak ngerti. Udah ya? Gue mau nerusin nyatet." Kataku sambil berjalan melewatinya. Aku kira, dia akan membicarakan tentang sesuatu mengenai voli. Ternyata, mengenai dirinya sendiri.

Tapi, apa yang harus aku rahasiakan, ya? Apa aku tanya saja? Ah, tidak usahlah. Untuk apa juga aku menanyakannya? Lupakan saja semua pertemuan kemarin.

Ting!

Oh? Aku membawa ponselku? Mengejutkan sekali. Biasanya aku bahkan sering lupa membawa ponsel. Semenjak aku mengganti wallpaper, tanganku tidak melepaskan ponsel, memang. Aku membuka layar ponsel dan mendapati pesan Kak Fifah di sana.

Kak Fifah

Zee, gue mau ingetin hari ini ada latih tanding sama sekolah lain

Kalo lo ketemu Abi, kasih tau dia supaya jangan telat

Dia biangnya telat

Aku mengedip dan berbalik, mencari si Abimayu yang tadi ada di belakangku. Ke mana dia? Tiba-tiba hilang.

"Kenapa wallpaper lo nama anak-anak voli?"

Aku tersentak terkejut. Si Abimayu ternyata sudah ada di depanku. Aku memang belum membuka layar kunci dan hanya melihat pesan Kak Fifah dari pop up saja. "Kak Fifah bilang jangan telat."

"Kenapa nggak ada nama gue?"

Aku mengedip dan mengetuk layar ponselku 2 kali agar layarnya padam. "Itu nama-nama orang yang belum gue hapal. Gue kan udah tau muka lo, jadi nggak dicatet di sana."

"Hm ..., gitu."

"Kak Fifah bilang jangan telat."

"Gue udah baca, kali."

Aku mengedip. "Itu nggak sopan," ucapku datar. "Latih tanding itu apa?"

"Lo jadi manager tanpa tau apapun tentang voli?" Tanyanya dengan senyum miring mengesalkan.

Tapi dia benar juga. Aku harus mencari tahu banyak hal tentang voli. Walaupun aku dipaksa Kak Fifah untuk gabung, dan aku menyetujui karena kesal dengan kelakuan Abimayu, voli adalah tanggung jawabku sekarang.

"Latih tanding itu ya latihan bertanding. Sama anak sekolah lain." Jawab Abimayu.

"Jadi, kita latihan di sekolah lain?"

"Bisa di sekolah lain, bisa jadi sekolah lain yang dateng ke sekolah kita. Biasanya sih, yang lemah nyamperin yang kuat." Ucapnya, dengan senyum miring yang makin mengesalkan.

"Jadi, kita nyamperin sekolah lain?"

Abimayu tersentak. Dia melotot. "Woy! Maksud gue, sekolah lain yang dateng ke sekolah kita!"

"Ah, oke."

"Lo beneran nggak maksud nyindir kalo sekolah kita lemah, kan?"

"Ah, nggak, kok," kataku datar. "Cuma, bukannya nyebelin kalo lo ngomongin sekolah lain lemah dengan muka ngeselin gitu?"

"Lo ini!" Abimayu kelihatan seperti ingin meremas wajahku. Atau kepalaku? Kenapa mukanya makin mengesalkan?

Suara ringtone kerincing yang diputar di seisi sekolah membuatku tersentak kaget. "Sial!" Kesalku, menatap Abimayu. "Ini gara-gara lo, tau nggak?! Gue belum selesai nyatet!!"

Abimayu mengangkat kedua alisnya. Dia malah tertawa. "Lo bisa teriak juga."

Aku mengerutkan alis mendengar ucapannya. Kenapa kalau ngobrol apapun sama dia, aku tidak bisa berhenti di satu topik saja? Dia selalu mengatakan apapun yang ada di pikirannya. "Yah, gue juga makhluk hidup." Kataku kemudian.

Aku mendengus kesal dan mulai berjalan menjauhinya. Bagaimanapun, ini sudah jam pelajaran selanjutnya. Sudah seharusnya aku kembali ke kelas. Dan lagi, si Sialan Abimayu malah membicarakan sesuatu yang tidak penting-penting amat denganku.

"Emang, lo tadi belajar apaan?"

"Seni Budaya."

"Oh ...."

Aku menghentikan langkahku seketika. Benar juga. Si Abimayu ini kan ada satu tingkat di atasku. Sial, mengingatnya makin membuatku kesal pada orang ini. Namun, aku harus mengendalikan diri untuk dapat memanfaatkannya.

Aku berbalik, menatapnya. "Lo udah nyatet Seni Budaya sampe mana?" Tanyaku, siapa tahu dia tidak pelit tugas.

"Hm?" Tanyanya sambil mengedip. "Gue nggak pernah nyatet. Dan kenapa muka lo kayak gedek gitu ngeliat gue?"

Hah?

Apa tadi dia bilang? Nggak pernah nyatet? Tapi, "Lo kan juara pertama se-sekolah?!" Pekikku, tidak percaya.

"Oh huuh tapi gue emang nggak pernah nyatet. Gue seringnya main voli."

Sial. Tidak cukup membuatku kalah dalam hal juara, dia juga ingin membuatku terhina dengan tidak memiliki catatan? "Trus, lo kalau ujian gimana? Apa lo nggak pernah belajar?!"

"Iya. Gue nggak pernah belajar. Lagian, gue nggak ada waktu. Gue latihan voli tiap hari."

Apa-apaan cowok ini?! Dia berbohong apa bagaimana? Kenapa dia yang tidak pernah belajar malah duduk satu tingkat di atasku?! Apa dia membayar guru?!

"Cih." Tanpa sadar, aku menatapnya dengan dengki. Namun hanya sejenak karena setelah melihat wajah terkejutnya, aku berbalik dan mulai berjalan menjauh kembali.

"Cih?! Apa lo tadi baru aja nge-cih-in gue?! Woy! Gue?! Seorang Abimayu?! Like, really really GUE?!"

Jangan dihiraukan. Jangan hiraukan si Sialan itu. Bukan hanya dia yang sedang marah saat ini. Aku juga sangat marah! Benar-benar marah! Bisa-bisanya dia berada satu tingkat di atasku tanpa belajar! Benar-benar tanpa belajar! Sialan!!

"Woy! Lo denger kagak?! Woy!!"

Abaikan. Abaikan.

"Heh! Lo nggak bener-bener benci gue kan?! Nggak mungkin ada cewek yang benci gue sampe nge-cih-in gue!"

Aku menghentikan langkahku kembali. Menghela napas kesal, kemudian berbalik. "Maaf-maaf aja kalau lo ngerasa gue benci sama lo. Gue merasa tersaingi sama keberadaan lo. Dan seenggaknya, apa lo nggak bisa bohong sedikit sama orang yang setingkat di bawah lo? Orang jenius kayak lo, seharusnya nggak nyombongin kejeniusannya di depan orang yang berusaha keras kan?"

"Hah? Lo ngomong apaan, sih? Nggak nyambung banget."

"Oh maaf aja karna gue juga cewek yang nggak bisa berkomunikasi dengan baik! Maaf-maaf aja kalo cowok super jenius kayak lo nggak ngerti apa yang gue omongin! Cih!"

"Cih?! Lagi?!"

Aku kembali berjalan cepat, penuh emosi. Dasar sialan. Baru kali ini aku merasa sangat amat kesal! Bisa-bisanya dia berada di juara pertama tanpa harus belajar?!

***

Entah aura apa yang kukeluarkan saat ini. Entah ekspresi wajah seperti apa yang kubuat saat ini, sampai-sampai seorang Larasati bahkan terlihat ragu-ragu menyapaku ketika aku sedang membereskan seluruh bukuku ke dalam tas.

"Z-Zee, l-lo nggak papa kan?" Tanyanya takut-takut. "Gue pengen ikut ke lapangan nih. Kalo muka lo kayak gitu, gue jadi takut, Zee."

Aku tidak menjawab dan tetap membereskan peralatanku. Setelah selesai, aku meresleting tasku dan menatap datar pada Laras. "Orang selain bagian dari voli, dilarang datang kecuali kalau lagi latih tanding atau perlombaan resmi." Ah, sekarang kan latih tanding. Dia boleh ikut, bukan?

Larasati malah merinding di hadapanku. Ekspresinya makin terlihat ketakutan. "O-oh ya? Trus kenapa muka lo gitu banget? L-lo diapain Abi?"

"Hah?" Tanyaku datar, makin menatap Larasati dengan pandangan tanpa ekspresi. Mendengar nama Abimayu disebut, aku jadi sangat kesal.

Larasati tersentak kembali. Dia malah memundurkan langkahnya. "Lo serem banget, Zee ...."

Aku berdecih kesal, menyampirkan tasku di punggung dan berjalan keluar dari kelas. Ya, ini sudah jam pulang. Dan saatnya kegiatan voli dimulai.

"Zee, ada apa sih?" Tanya Laras lagi, berjalan di belakangku. "Abi bikin lo kesel tentang apaan?"

Aku menghentikan langkahku. "Bikin kesel?" Tanyaku sambil mendengus. "Ah, daripada kesel, dia bikin gue makin ngerasa direndahkan. Gimana bisa dia ngomong seenaknya dan bikin gue ngerasa diejek tanpa dia sadari?"

"Eh?! Bukannya itu keahlian lo, ya, Zee?"

"Huh?" Aku menengok ke arah Laras dengan jengkel. Laras hanya cengar-cengir tidak jelas. Aku menghela napas panjang dan berjalan kembali. "Dia bilang, dia nggak pernah belajar sekalipun. Bener-bener nggak pernah nyatet dan-argh! Gue nggak bisa cerita! Pokoknya gitu!"

"Kan udah dibilang, Zee, kalo si Abimayu itu jenius."

"Ya. Dan kejeniusannya bikin gue bener-bener muak! Kesel!"

Laras malah tertawa. Dia yang tadi berada di belakangku, kali ini menyamakan langkah dan berjalan di sampingku. "Jangankan elo, Zee. Anak kelas 3 aja bisa dikalahin sama Abimayu. Abimayu itu, asal di mata pelajaran dia nggak tidur, dia bisa ngikutin materi tanpa nyatet!"

Aku menganggukkan kepala. "Hm ..."

"Makanya, gue jatuh cinta banget sama Abi! Keren banget, kan?"

"Oh ...."

"Zee, gue mau ngerjain Si Jalang Itu lagi pas balik sekolah. Kali ini, kakak kelas juga ikutan. Lo mau ikutan juga nggak?"

Aku kembali menghentikan langkahku. Larasati yang masih berjalan di depanku ikut menghentikan langkahnya dan berdiri berhadapan di depanku. "Kenapa? Buat apa? Apa dengan ngusik pacarnya Abi, lo bisa dapetin Abi?"

Larasati menghela napas panjang. "Ya enggak, sih, Zee-"

"Itu tau."

"Tapi kan seenggaknya dia bisa putus sama Abi!"

Aku mengedipkan mata cepat. "Oh ya?"

"Iyalah! Kan dia pastinya takut kalo tetep sama Abi dan terus-menerus dibully."

Aku memiringkan kepalaku dengan bingung. Memangnya, bisa begitu, ya?

"Jadi, lo mau ikut nggak?" Tanya Larasati.

"Kapan emang?"

"Besok. Pulang sekolah."

Aku menghela napas panjang. "Nggak mungkin dong. Gue kan ada voli."

Laras cemberut. "Sok sibuk, lo!"

Aku tertawa pelan mendengarnya. "Jangan keterlaluan, ya, main-mainnya!"

"Iya, iya," kata Laras sambil mengacungkan jempolnya. "Ya udah gue duluan ya! Semangat ya Bu Manager!" Katanya sambil berlari menjauh dan melambai ke arahku.

Aku mengangguk dan melambaikan tangan ke arahnya. Aku menghela napas panjang. "Bu Manager, ya?" Tanyaku sambil mengeratkan genggaman pada tas. "Ridwansyah, tinggi 186, kapten. Ciri yang menonjol, alis. Sagara, tinggi 188, wakil kapten. Ciri yang menojol, mata belo. Caesar, tinggi 189, anak kelas 2, ciri yang menonjol, hidung mancung. Yang paling menonjol dari dia, dia adalah anggota paling berisik. Raja, tinggi 189 dan ..."

Dan selama perjalanan, aku terus menghapalkan nama-nama anggota voli. Semoga saat bertemu, aku sudah bisa memanggil nama mereka.