webnovel

An Empress and Warrior

Seorang Putri Raja yang tomboi dan seorang bajak laut bengal dipertemukan oleh takdir tak terduga. Disclaimer : Cerita ini fiksi belaka mengambil latar di di Tiongkok berkisar tahun 1.000-an Masehi. Semua tokoh merupakan karakter fiktif. Segala kemiripan hanya kebetulan semata.

LordDevil_ · History
Not enough ratings
35 Chs

Putri yang Tidak Ingin Menjadi Putri

Kerajaan Tsai terkenal dengan raja yang adil dan bijaksana. Selama ratusan tahun, keturunan keluarga Tsai berkuasa karena memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Tidak ada kerajaan yang pernah menang perang melawan kerajaan Tsai, karena didukung dengan kekuatan prajurit perang yang kuat.

Dari sisi pemerintahan, Tsai terkenal bersih.

Selain itu, kekayaan alam yang melimpah juga menjadi berkah bagi kerajaan ini.

Tidak ada perebutan kuasa internal di kerajaan ini selama ratusan tahun terakhir, karena mereka selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan keluarga kerajaan saling mendukung dalam melayani rakyat.  Mirip dengan cerita dongeng.

Raja, Tsai Lun yang sedang memerintah saat ini memiliki tujuh orang putra dan seorang putri dari permaisuri dan tiga selir. Ketujuh pangeran tumbuh gagah, tampan dan perkasa.

Berbeda dengan ketujuh pangeran, Putri hanyalah seorang perempuan. Dia merupakan anak bungsu raja dari selir termuda kesayangan raja.

Tsai Fei atau biasa dipanggil Fei er (atau Fei kecil) gadis kecil berusia tujuh tahun. Dia tidak tampak bagai perempuan apalagi Putri Raja. Gadis kecil itu lebih menyukai memanah daripada menyulam, berpedang daripada belajar menari. Memilih membaca buku strategi perang daripada hanya sekadar buku bacaan ringan soal kebajikan menjadi istri yang baik.

Gadis itu sering berdandan bagai anak lelaki. Rambutnya yang panjang selalu diikat dan pakaiannya disamakan dengan ketujuh kakaknya, kecuali saat upacara atau kegiatan resmi lainnya.

Selain itu, wajahnya yang tampak tegas dan garis wajahnya memang tampak berwibawa membuatnya tampak seperti anak lelaki kuat dibandingkan seorang putri yang lembut dan manis.

Namun, bukan berarti dia tidak cantik. Bisa dikatakan, Fei adalah perpaduan antara cantik, manis, sekaligus tampan. Sekilas dia memang terlihat bagai lelaki karena tubuhnya masih kanak-kanak dan belum menonjol seperti perempuan pada umumnya.

Kendati demikian, raja tidak pernah marah atau melarang putri satu-satunya, diam-diam dia mendukung sang putri dengan menempatkan panglima muda kesayangan, He Xue untuk melatih Fei.

"Lakukan seperti yang kuperintah, tetapi jangan terlalu mencolok," perintah sang raja pada panglima muda itu.

Panglima memberi hormat dan siap melaksanakan perintah.

"Baik, Yang Mulia, hamba akan melakukan segalanya sesuai perintah," ucap He Xue yang biasa dipanggil dengan Xue Er oleh raja atau paman Xue oleh sang putri.

Di ruangan lain, Tsai Xia, selir ketiga atau yang termuda sedang pusing menasihati sang Putri. Gadis itu kembali mendapatkan luka di lengannya karena terlalu banyak latihan memanah.

"Lain kali, kau harus berhati-hati, lihat tubuhmu penuh luka seperti ini. Siapa yang akan menikahimu?" kata sang ibu menasihati Fei.

"Aku tidak harus menikah, tidak mau menikah," jawab Fei dengan sembarangan.

Fei bukan seperti gadis biasa, sifatnya sama sekali tidak mencerminkan seorang perempuan, apalagi putri raja. Di usianya yang ketujuh, dia sudah bisa memanah dengan sempurna, bahkan dengan mengendarai kuda.

Di antara semua anak raja, Putri Fei adalah yang terbaik dalam panahan. Bahkan, pangeran mahkota, Tsai Wei bisa dikalahkan oleh sang putri dengan mudah.

"Jangan bicara seperti itu, walau belum ada niat menikah, tetapi tidak baik ucapan seperti itu keluar dari seorang putri," jelas ibunya dengan sabar.

Beberapa pelayan sering kewalahan menjaga dan mengasuh putri nakal itu.

"Aku tidak ingin menjadi putri, aku ingin jadi pejuang, sama dengan panglima atau seperti nenek moyang kita yang pandai memanah dan berpedang," kata Fei menjelaskan cita-citanya.

Tidak ada yang menganggap serius ucapan putri kecil itu. Mereka menilai dia hanyalah gadis kecil yang belum dewasa sehingga belum bisa memutuskan apa yang baik dan kurang baik.

"Baginda datang!" pelayan mengumumkan kedatangan raja mereka.

"Ayahanda," panggil Fei dengan senang.

Gadis kecil berlari ke arah ayahnya sementara ibunya dan semua pelayan berlutut dengan hormat.

"Mengapa berlarian, kau masih terluka," kata ayahnya.

Fei tidak peduli dia melompat dan memeluk ayahnya dengan senang.

"Maafkan Yang Mulia, putri tidak tahu dia salah," pinta selir pada raja.

Baginda tersenyum dan memerintahkan selir serta semua pelayan untuk berdiri.

"Tidak masalah, aku suka Fei yang begini," kata Raja Tsai dengan senang.

Tak bisa dipungkiri gadis nakal itu memang kesayangan Baginda. Selain karena dia anak bungsunya dan satu-satunya perempuan. Fei lahir dari selir kesayangan dan karakternya sangat disukai oleh raja.

"Fei sudah pandai memanah dan berkuda," ucap Fei dengan bangga.

"Benarkah, lalu bagaimana dengan lukamu?" tanya raja memeriksa lukanya.

Ada beberapa bekas luka lama ditambah luka baru di kaki dan lengannya.

"Itu tidak sakit, hanya sedikit perih. Fei tidak kesakitan," kata Fei dengan senang.

Dia menggembungkan pipinya yang putih seperti giok dan masih menyisakan lemak bayi.

"Bagus, itu baru putriku," puji sang ayah dengan bangga.

Fei tertawa kecil, suaranya yang masih seperti anak-anak terdengar lucu memenuhi ruangan itu.

"Ayahanda, Fei ini berkuda dengan ayahanda sore ini," pinta Fei tiba-tiba.

Wajahnya seperti memohon dan membuat hati ayahnya tidak bisa menolaknya.

"Baiklah, tapi jangan sore ini. Setelah lukamu sembuh kita akan berburu dan memanah, bagaimana dengan itu?" tanya sang raja memberikan opsi menarik.

Fei tampak mengangguk beberapa kali, setelah berpikir beberapa saat itu setuju.

"Baiklah, Fei akan menjadi anak baik. Tapi, Fei harus bertarung. Tidak mau hanya memanah. Fei ingin membuat pertandingan," kata Fei meminta ayahnya.

Baginda yang memang tidak pernah bisa menolak permintaan sang putri hanya bisa pasrah.

"Baiklah, tapi kau tidak boleh kalah," kata sang raja memberikan semangat.

Fei turun melepaskan pelukan ayahnya dan mundur beberapa langkah.

"Fei tidak akan kalah, seperti perintah Ayahanda, Fei akan menang," ucap Fei sambil menepuk dadanya yang masih rata.

Raja tersenyum dan mengelus lembut kepala putrinya.

Dia lain sisi, sang selir tampak sangat khawatir dengan sikap dan permintaan putrinya yang semakin lama semakin berani dan kadang membuat hati cemas. Wajahnya sejak tadi raut wajahnya sangat khawatir.

"Baginda, sebaiknya jangan terlalu menurutinya," pinta sang selir dengan sopan.

Sang raja tersenyum.

"Jangan khawatir, dia tidak selemah yang kau pikirkan. Dia anakku, tentu saja darah raja dalam tubuhnya membara," kata sang raja dengan bangga.

Fei terkikik kecil mendengar ayahnya mendukung dirinya. Hanya ibunya yang begitu khawatir padanya. Namun, mengingat posisinya hanya seorang selir, Tsai Xia atau yang bernama asli Jiang Xia tidak berani membantah putri apalagi perintah sang raja.

Dia hanya berharap gadis kecilnya selalu ceria dan selamat. Entah dia menolak sebagai putri atau menjadi apa pun kelak, semoga kesehatan, kebahagiaan dan keberuntungan selalu bersamanya.

Begitulah sang putri yang tidak ingin menjadi putri menjalani kehidupan yang menarik dibandingkan hanya sekadar kehidupan yang teramat membosankan di istana dengan segala peraturannya.