1 Snow Letter

Suara pedang saling beresonansi dan getarannya membuat tubuh kami berdua saling terempas.

Angin berembus semakin kencang dan air menetes jatuh dari langit semakin deras. Kulihat tekadnya telah bulat Apakah itu yang mereka sebut sebagai pahlawan? Ataukah seorang peniru sempurna?

Entah. Aku sendiri tidak tahu lagi harus berbuat apa lagi. Nyawa menjadi taruhannya, kehidupan kami sama-sama berada pada batas ambang kelam, dan tujuan hidup kami begitu abu-abu.

Namun, perbedaan kami hanya terletak pada mata. Tatapan dan tekadnya kokoh meski akan kehilangan segalanya.

Sedangkan aku putus asa untuk mencari kebenaran yang berada di balik dirinya

Sementara di sisi yang lain... aku merasa bahwa inilah akhir dariku. Akhir dari seorang lelaki yang belum menemukan tujuan hidupnya sendiri.

Ketika ia mengangkat pedangnya begitu pelan. Sebuah sinar bias perlahan muncul dari bilahnya. Air hujan pun bahkan menjauh dan Mana besar keluar dari tubuhnya. Menyelimuti pedang peraknya yang kini terlihat penuh ancaman.

Ia pun memejamkan matanya.

"Kau atau aku yang akan mati di sini," ucapnya dingin, lalu menatapku tajam.

Saat ini sosok itu bagai dewa kematian yang akan menjemput mangsanya. Terlihat ramah pada awalnya, tapi akhir berkata lain.

Separuh wajahnya tertutup dan hanya separuhnya lagi dengan mata tajam yang sedang menatapku lekat-lekat dari depan sana.

Sosok penuh tipu itu berubah menjadi ancaman serius dan terberat bagiku.

Ketika langit menangis, harapan baginya hancur seakan kaca yang pecah. Dengan lantang ia pun berteriak membawa pesan perpisahan.

"Aschaliooonnn!"

Suaranya pun bergemuruh penuh akan semangat tanpa keraguan. Ia pun mengayunkan pedangnya kuat sekali hingga mengeluarkan sebuah plasma cahaya.

Keheningan itu sirna dan detik terakhir bagiku akan segera datang. Semua tempat yang dilaluinya hancur. Air pun menguap dan suhu menjadi sangat panas.

"Jadi seperti ini akhirku, huh?"

Aku yang pada saat itu tidak tahu bahwa hal ini akan terjadi hanya dapat terdiam. Berdiri mematung dengan hati yang telah siap.

Lalu lambat laun semuanya menjadi menyilaukan. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi, hanya saja hati kecil ini membisikan sebuah kata padaku.

... Hiduplah.

"Huh?"

Sepertinya aku melamun lagi. Ini sudah kedua kalinya semenjak aku pulang dari acara kelulusan SMA.

Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Sosok mendiang Kakekku.

Rambut yang beruban dan perut buncit, kaos putih serta celana hitam bahan itu tampak sangat cocok di umurnya yang sekarang.

Ya. Itu adalah sosok terakhir yang bisa kuingat sebelum ia meninggal.

Entah mengapa tiba-tiba aku jadi memikirkan Kakekku yang telah tiada. Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Sosok pria yang akrab di sapa jagoan desa itu, walau sebutannya ia dapatkan dari penyergapan maling kambing.

Aku juga masih dapat mengingat bagaimana ia memanggilku dengan nada ringan nan ramah.

"Hahh... jangan lagi."

Hanya dengan mengingatnya saja membuat mataku sedikit perih.

Mendengarnya tertawa dan melakukan hal-hal bodoh yang kadang-kala memancing gelak tawa dari sekitarnya adalah momen yang paling terbaik. Ia seakan-akan menjadi pelawak papan atas dadakan.

Aku dibesarkan tanpa Ayah dan Ibu. Mereka pergi saat umurku masih tiga tahun—itulah yang Kakek ceritakan kepadaku. Percaya bahwa itu adalah sebuah kebenaran, diriku yang mungkin masih pipis di celana pada saat itu tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Kakek.

Aku juga bahkan tidak terlalu ingat seperti apa mereka saat masih hidup. Seandainya saja jika saat ini mereka masih bersamaku, mungkin sekarang aku tidak akan seperti anak hilang.

Setelah Kakekku pergi, aku kembali dilanda kabar yang cukup kelam. Sayangnya hal seperti ini tidak akan pernah bisa kuhindari.

Kali ini berasal dari keluarga Arvin—sahabat yang kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Ia juga telah pergi jauh dan tak akan pernah kembali lagi.

Saat ini aku sedang berjalan di atas trotoar menuju pemakaman sahabatku. Menurut kabar yang kudengar dari keluarganya, ia mengidap penyakit akut, dan telah menginjak stadium empat.

Bukankah ini lucu? Surat terakhir setelah kelulusan darinya adalah sebuah surat wasiat.

Aku menatapi langit yang kelam. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Hingga saat ini hanya dialah satu-satunya orang yang sangat dekat denganku.

Mengingat kebiasaan anehnya terkadang meninggalkan sebuah kesan misterius yang membuatku selalu ingin bertanya-tanya. Tanpa kusadari ada sebuah suara yang sedang memanggilku dari kejauhan sana.

"Rivan!...."

Ketika aku melirik, ternyata suara itu berasal dari Ibu Dede, seorang pedagang buah-buahan yang biasa aku kunjungi setiap pulang sekolah.

Wajahnya memang terlihat garang layaknya preman stasiun angkot, tapi dari seramnya raut wajah itu, ia selalu menanyakan kabarku setiap saat dan memberiku sebuah apel gratis.

Mungkin itu hanya sebatas rasa empati ketika melihat seorang anak laki-laki yang tidak memiliki orang tua. Namun, sejujurnya aku tahu mengapa ia selalu berbuat baik kepadaku.

"Ya?"

"Bagaimana kabarmu hari ini—sepertinya aku tidak perlu bertanya. Apakah semuanya baik-baik saja?"

"Begitulah," sahutku sambil tersenyum kecut.

"Pasti berat, ya?"

"Menurut Ibu?"

Setelah pertukaran kata-kata dingin itu, aku pun menunduk dan berusaha menghindari tatapannya. Apa yang ia katakan memanglah benar.

Mendapatkan kabar duka secara berturut-turut dengan selang waktu yang tidak terlalu lama membuat jantungku merasa terpukul. Seandainya aku tidak memiliki keterikatan yang kuat dengan Arvin, mungkin perasaan seperti ini tidak akan pernah muncul.

"Apakah setelah ini kau kosong, Rivan?"

"A-ahh... tidak, aku masih harus pergi membereskan kamarku"

"Hahaha! Anak yang rajin."

Tawanya pun sungguh khas. Sayangnya meskipun ia telah berusaha mencairkan suana, aku tidak mengerti mengapa aku masih terasa kosong. Tidak ada ketegangan, keseruan, atau bahkan sesuatu yang membuat jantungku berdetak menantikannya.

"Terima kasih. Karena sudah mengkhawatirkanku," ucapku lalu mengangguk.

Bu Dede hanya tersenyum ke arahku sambil membuat pose seperti orang berhasil.

Setelah itu aku kembali meneruskan perjalananku dan tidak lama aku tenggelam dalam pemikiranku. Ada sesuatu yang terlintas di benakku begitu saja. Hingga akhirnya aku tiba di tempat peristirahatan terakhir Arvin dengan kebingungan.

"Bagaimana?—Ah, lupakan saja. Kupikir ini tempatnya...."

Pemakamannya terletak tidak jauh dari distrik perbelanjaan. Hanya perlu menaiki tangga menuju ke atas bukit dan sampailah aku di sana.

Setelah akhirnya tiba, aku hanya dapat memasang wajah kecut melihat jajaran batu nisan yang berdiri tegak. Begitu kelam, beberapa bunga dapat kulihat tergeletak di depannya.

Setidaknya inilah yang bisa kulakukan sebelum memulai kehidupan baruku sebagai mahasiswa.

Niat awalnya memang seperti itu, tapi setelah aku berdiri tepat di hadapan batu nisannya. Ingatan itu kembali muncul. Tidak seperti kebanyakan orang yang datang dan langsung berkenalan. Ia adalah salah satu dari sekian banyak orang yang memiliki sapaan aneh.

Bukannya memanggil namaku melainkan ia memanggilku dengan sebuah alias ....

....Raven.

"Sejak kapan aku menjadi memikirkan hal-hal kecil seperti ini?"

Terkadang hidup itu penuh misteri.

Akhirnya kubuka surat itu. Surat putih dengan beberapa guratan kasar pada bagian pojok kanan dan sebuah kata tidak asing tertera di bagian tengah-tengahnya—Si Gagak Penyendiri.

"Hahh. Rasanya benar-benar cukup aneh, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi saat ini aku merasa—"

Hanya ingin membaca isi surat saja sudah memberiku beban yang cukup berat. Pada akhirnya helaan napas terdengar.

"—Sial. Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan benar."

Walaupun ini hanya secarik kertas, kenapa rasanya sulit sekali untuk kubaca? Namun, aku cukup terkejut dengan isi pesan terakhirnya yang begitu sangat sederhana.

"Hiduplah...."

Pada awalnya aku cengigisan sendiri. Namun, saat ini aku tersenyum kecut dan memaksakan diri untuk tetap tegar.

Ia hanya meninggalkan satu kata untukku. Bukankah ia kejam sekali memberiku perintah yang tidak masuk akal ini? Apa ia masih bisa memberiku sebuah lelucon di saat-saat seperti ini? Sial.

Itu adalah salah satu permintaan paling egois yang pernah ia minta dariku, bahkan ketika mementingkan keluarga atau kehidupannya. Ia lebih memilih kehidupannya daripada keluarganya sendiri.

Perasaanku tiba-tiba saja tidak enak dan rasanya tidak nyaman berada di tempat ini terlalu lama.

Bukan berarti aku tidak ingin berada di sini, melainkan aku tidak ingin mengingat kembali hari itu. Hari di mana sosoknya yang selalu usil itu tersenyum dengan wajah kegirangan dan terkadang sangat misterius.

Namun, kini ia tertidur selamanya. Takdir memang berkata lain.

Kuremas surat itu cukup erat. Entah apa nama perasaan yang saat ini kurasakan. Saat ini aku hanya ingin sendirian, tetapi kulitku tiba-tiba saja merinding.

Entah dari mana sebuah benda kecil putih muncul tepat di hadapanku... jatuh perlahan.

Melihatnya seakan mengingatkanku pada sebuah benda bernama salju.

Dengan sensasi sentuhan yang dingin, aku pun terbawa suasana aneh itu hingga tak sadar bahwa dalam penglihatanku rasanya jadi sedikit aneh. Warna yang bisa kulihat hanyalah hitam dan putih

Namun, aku termenung ketika benda bulat putih kecil itu mendarat di atas hidungku.

Bersamaan dengan bulan raksasa yang muncul tiba-tiba di siang bolong ini. Aku benar-benar bingung, bagaimana bisa ada bulan bersinar di siang hari?

Selain itu, aku bisa melihat cahaya terangnya memiliki warna biru yang indah. Ini tidak masuk akal.

Mengapa sebelumnya yang bisa kulihat hanya hitam dan putih. Namun, setelah bulan ini muncul, semua warna kembali terlihat.

"Huh?—"

Suaraku tak keluar bagaimanapun aku ingin mengeluarkannya, tubuhku juga tampak seperti tak bisa kugerakkan.

Tidak lama setelah itu, sebuah fenomena aneh muncul.

Sangat singkat, tapi kali ini mataku benar-benar dimanjakan oleh bunga yang mulai mekar tepat di atas makamnya.

Memiliki enam buah kelopak biru transparan. Dengan aura biru yang menyelimutinya, sekilas aku mengira bahwa bunga ini hanyalah ilusi semata.

Telingaku sedikit berdengung seakan-akan ada yang berbisik memaksaku untuk bisa meraihnya.

Aku juga merasakan ada sesuatu yang merayap di lenganku, semakin mendekat, dan menarikku untuk menggapainya.

Perlahan tanganku bergerak dan akhirnya aku berhasil menyentuhnya. Setelah itu pandanganku mengabur dan hal pertama yang kulihat adalah hamparan putih luas sejauh mata memandang.

avataravatar
Next chapter