1 1# Usir Dia!

"Air … haus …."

Frada meracau. Kesadarannya baru kembali separuh. Tenggorokannya rasanya kering. Tangannya menggapai meja nakas di samping tempat tidur.

Tidak ada gelas.

Apa bibi lupa menaruh air di sini?

Sayup-sayup ia mendengar music berdentum. Ia lupa hari ini ada pesta di rumahnya. Pesta anniversary ayah dan nyonya rumah ini. Bibi pasti tak punya waktu sekedar menyiapkan air untuknya. Sudahlah, jangan manja. Dia bisa mengambil sendiri. Dia punya tangan dan kaki.

Keringat menyerbak di pelipis. Frada turun dari ranjang dan melangkah keluar. Suara music semakin terdengar jelas. Tanpa sadar kakinya membawanya menuju jendela besar yang menghadap langsung ke taman rumah—tempat diadakannya pesta.

Orang-orang di sana berpakaian bagus dan tertawa bahagia. Frada ingin sekali turun dan berbaur. Namun itu hanya menyebabkan luka ditubuhnya semakin banyak. Ibu dan kedua kakak tirinya hanya akan semakin membencinya. Dan dia tak ingi itu terjadi.

"Haus. Sebaiknya aku segera mengambil air lalu kembali dan tidur."

Dia berbicara pada dirinya sendiri. Seperti itulah ia. Tak ada yang bisa di ajak mengobrol maka berbicara pada diri sendiri. Tak buruk juga.

Suara music yang semakin berdentum mengusik kepalanya. Rasanya sakit. Semakin kencang music itu berdengung maka kepalanya juga akan merasakan nyeri yang sama. Ugh, sakit. Frada ingin ambruk saja. Sebaiknya mengambil minum dengan cepat. Namun suara music itu semakin lama, membuatnya tak nyaman. Pandangannya juga ikut memburam. Oh tidak! Frada harus tetap sadar. Dia tak boleh pingsan di sini. Nanti saja di kamar.

PYAR!!

"Kamu nggak punya mata, ya!"

Minumannya tercecer dan serpihan beling menyebar dimana-mana. Ugh, sepertinya dia melakukan kesalahan fatal. Bagaimana nanti tanggapan ayah dan ibu tirinya? Apa dia nanti akan dikurung atau dipukul? Mendadak tubuh Frada mendingin.

Tidak! Jangan sampai!

"Mau kemana kamu? Kabur? Tanggungjawab dulu!" Lelaki itu menarik lengannya. Matanya menyorot tajam padanya.

Frada menelan ludah. Bertanggung jawab? Bagaimana caranya?

Dia memandangi lelaki itu. Seorang pria menawan bermata elang dan berdagu kokoh. Kulitnya seputih mutiara bahkan di tengah ruang dapur yang temaram ini masih nampak bercahaya. sekejap Frada terpana oleh sotot iris hitam legam itu.

"Kamu nampak tidak baik-baik saja. Tubuhmu juga panas. apa kamu sakit?"

Tangannya sudah tak memegangi lengannya. Nada suaranya juga tak sedingin tadi. Ada rasa bersalah yang menyusup dari sorot matanya saat ini. Ah, sepertinya pemuda ini memliki rasa kasihan juga.

Frada tersenyum samar. "Tidak apa-apa. Saya sudah merasa baikan."

Bohong!

Lagi-lagi suara music itu membuat kepalanya berdenyut. Ugh, Frada ingin pingsan!

"Kepalamu sakit? Aku akan mencarikan pelayan di sini untuk membantumu. Tunggu sebentar."

"Oh tidak. Jangan!"

Sial. Suaranya terlalu lemah untuk di dengar. Orang itu berjalan keluar dengan terburu. Lalu tak lama kemudian beberapa orang datang mengampiri. Hampir semuanya berdiri mematung. Tak ada yang berani mendekat.

"Siapa yang sakit?"

Suara itu terdengar ramah dan sopan. Namun Frada hafal. Setelah ini, suara itu akan terdengar dingin dan mencemooh. Dia tahu siapa yang mendekat ke arahnya. Maka dari itu, secara reflex tubuhnya mundur kebelakang. Tak peduli dia terjatuh dan tubuhnya terkena beling-beling tadi. Itu lebih baik dari pada sentuhan halus yang berusaha meraihnya.

Tubuh Frada bergetar. Rasa takut ini menyusup dan membuka begitu saja. Tak terkontrol ketika berada di dekat perempuan itu. nyonya besar kediaman ini. Larasati Adam. Perempuan yang tak akan segan melanyangkan tangan ketika ia berbuat kesalahan sekecil apapun.

"Nyonya. Jangan menyentuhnya. Sepertinya dia tak nyaman. Dan jika para pelayan tak ada yang mau membatunya mungkin lebih baik saya sendiri yang turun tangan." Suara dingin itu kembali lagi.

Frada memandangi lelaki itu. suaranya memang masih terdengar jelas namun pandangannya sepertinya semakin berat dan memburam. kayaknya sakit kepalanya sama sekali tak mau pergi.

"Apa yang kalian lakukan? Jangan sampai Tuan Muda Adriyansyah mengotori tangannya karena kalian tak mau menyentuh bocah itu."

"Kotor? Sepertinya ucapan anda keterlaluan, Nyonya. Dia manusia, bagaimana bisa anda menggunakan kata itu untuk menyebut dirinya."

"Bukan itu maksud—"

Frada tak mampu lagi mendengar. Sakit kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia tak kuat lagi.

***

Sakit.

Frada mengernyit ketika kesadarannya mulai kembali. Kelopak matanya dipaksa dibuka. Ini tempat tidurnya. Syukurlah. Setidaknya ini bukan di gudang atau kamar mandi.

BYUR!

"Uhuk!"

Air es itu memaksa masuk pada rongga hidungnya. Frada berusaha duduk dengan susah payah.

"Ma, dia sudah sadar. Untuk apa masih menyiramnya?"

Itu suara tuan besar rumah ini sekaligus ayah kandung Frada. Yudhistira Adam.

"Untuk apa? Ini untuk penghinaannya. Beraninya dia menampakkan diri ketika ada pesta. Dan mencari perhatian dengan Noval Adriyansyah!" Mata itu menyorot tajam. "Dia harus diberi pelajaran!"

Frada menggigil. Tubuh yang sebelumya terasa panas, kini beralih menjadi dingin bagai batu es. Air itu sepertinya sangat mujarab mengubah suhu tubuhnya.

"Ma, dia sedang sakit."

"Karena dia sedang sakit, makanya aku ingin memberi pelajaran untuknya. Jika dalam keadaan sehat mungkin dia akan melunjak dan tidak mau mendengarkan!"

"Ma …."

Sepertinya ayahnya sudah mulai kalah. Seperti itulah. Kedua orang itu akan selalu bertengkar jika berhadapan dengannya. Si perempuan akan selalu mencaci dan laki-laki berusaha melindunginya—meski tak bisa.

"Aku tidak mau tahu lagi. Besok pagi … besok pagi aku tidak ingin melihatnya di rumah ini. Atau di kota ini. terserah kamu mau membuangnya kemana. Yang jelas, aku tak mau melihatnya! Dia hanya mengingatkanku dengan perempuan busuk itu."

"Tidak bisakah menunggunya lulus SMP?"

"Itu terlalu lama."

"Tapi—"

"Aku tidak mau tahu, besok pagi … dia harus pergi. Jika tidak, jangan salahkan aku mengambil alih perusahaan itu. kamu juga tidak akan bisa bertemu Aron dan Arka." Larasati meninggalkan kamar dengan gebrakan pintu.

Apa dia harus meninggalkan rumah ini?

Sebenarnya ada rasa lega yang datang, hanya saja perasaan Frada tak sepenuhnya seperti itu. Meski rumah ini seperti neraka untuknya. Tetap saja masa kecilnya ia habiskan di sini. Dan di neraka ini pulalah setidaknya Frada pernah merasakan memiliki orang tua—meski tak sempurna.

"Ayah akan menyuruh pelayan untuk membereskan barangmu. Sebaiknya kamu segera tidur. Besok mungkin kita akan pergi pagi-pagi sekali."

Dia bahkan tak menanyakan keadannya.

"Lalu sekolahku?"

"Besok adalah hari perpisahanmu. Jangan terlalu banyak tanya. Kamu hanya akan terima beresnya saja."

Dingin. Sikap lelaki itu memang tak pernah berubah. Meskipun selalu membelanya setiap dimarahi namun bicara tak pernah ramah dan hangat seperti kepada anak-anaknya yang lain.

Setidaknya pria itu tidak mengabaikannya, itu sudah cukup.

"Ayah, bolehkah aku bertanya?"

Suara Frada menghentikan langkahnya. Sekejap kepalanya menoleh. "Ini sudah larut. Besok saja." Lalu pergi begitu saja.

Frada meringis. Hanya satu pertanyaan yang ingin ia ketahui jawabannya. Siapa yang menolongnya tadi? Dia hanya ingin tahu siapa itu. Dan juga … apakah ayahnya tidak mengkhawatirkan kondisi tubuhnya? Dia bahkan hampir mati menggigil di depannya tapi orang itu sama sekali tak peduli. Mungkin dia memang sudah tak lagi dipedulikan. Ah, bukan. Mungkin dari awal pria itu memang tak ingin peduli.

Sudahlah. sebaiknya ia tidur saja.

****

Hai hai.

nama saya Zafa Diah. seorang penulis baru yang masih sangat amatir. semoga kalian menyukai cerita saya yang masih jauh dari kata baik ini. hehehe

Senin, 26 Oktober 2020.

salam sayang,

Zafa Diah

avataravatar
Next chapter