1 Awal Mula

Alinka duduk di cafe sendirian. Memandangi hujan sambil meratapi nasibnya. Bagaimana mungkin dia bisa dipecat karena dituduh selingkuh?. Padahal dia tidak pernah punya hubungan dengan atasannya yang bernama Pak Hasan. Hidup memang terkadang tidak adil, kata Alinka.

"Ya ampun Lin. Loe kenapa telepon gue mendadak sambil nangis?. Gue kan jadi khawatir." Tiba-tiba ada yang datang dengan heboh.

"Gue dipecat Re." Jawab Alinka lemas.

Wanita bernama Rere yang baru saja masuk ke coffe shop memeluk Alinka erat. Menepuk-nepuk punggungnya. Alinka jadi merasa beruntung masih mempunyai sahabat seperti Rere di keadaan terpuruknya seperti sekarang ini. "Udah. Loe itu kan pinter, berpotensi lagi jadi gak usah takut. Pasti banyak kerjaan buat loe." Rere duduk di hadapan Alinka dan ikut memesan minuman.

"Re, bukan itu aja masalahnya. Reputasi gue Re. Loe bayangin, gue di cap pelakor sama istri Pak Hasan. Dia nyerang gue gila-gilaan tadi dikantor dan.... banyak karyawan yang liat. Udah bisa dipastiin dong gosip itu bakal nyebar dan melekat sama gue Re. Aduh kalau ade gue denger, gimana coba reaksinya. Bisa dipecat jadi kakaknya gue sama dia." Curhat Alinka panjang lebar. Dia membayangkan sambil menceritakan kembali pada Rere bagaimana kejadian tadi siang. Alinka baru saja kembali dari istirahat siang di kantin dan mendadak istri Pak Hasan keluar dari ruangan Pak Hasan langsung menyerang Alinka dengan brutal tanpa aba-aba. Menjambak rambut Alinka dan menampar pipinya keras. "Dasar wanita jalang. Kamu pikir saya gak tau apa yang kamu lakuin sama suami saya diluar?."

"Maksud ibu apa sih?. Saya bener-bener gak ngerti." Alinka sudah dikerumuni banyak karyawan. Sementara Pak Hasan terus menahan istrinya agar tidak berbuat kasar padanya.

"Sok polos banget sih kamu. Saya liat pake mata kepala saya sendiri, kamu sama suami saya makan siang bareng." Alinka coba mengingat-ngingat. Ah ya ampun, itu kan cuman makan soto mana bertiga pula sebetulnya sama Tora cuman memang Tora balik duluan karena ada pekerjaan mendadak, jawab Alinka dalam hati.

"Mah udah dong malu. Saya beneran gak ada apa-apa sama Alinka. Waktu makan siang itu sama Tora juga kok." Pak Hasan mencoba menghentikan istrinya yang membuat keributan dan menyerang Alinka tanpa belas kasihan. "Kasihan Alinka sampai kayak gitu."

Bukannya mereda, istrinya menoleh dengan pandangan sinis dan menampar kembali Alinka. "Saya liat kamu berdua. Jangan ngeles pak jelas-jelas kalian berdua disana. Dan intet jangan belain dia juga."

Pak Hasan merasa frustasi atas sikap istrinya yang selalu cemburu dengan membabi buta. "Mah, aku bilang aku gak ada maen sama Alinka."

"Kalau kamu gak ada maen sama dia, pecat dia sekarang juga dan ganti sekretaris kamu sama cowok. Aku sadar, kalau sekretaris kamu cewek pasti selalu ada jalan dan celah."

Alinka melihat wajah Pak Hasan yang serba salah. Alinka sadar mungkin memang jalan terbaik dia harus keluar dari perusahaan ini karena kalau dia tetap bertahan di perusahaan itu dia akan selalu dapat perlakuan tidak enak dari istri Pak Hasan. Selain itu pun gosip pasti menyebar cepat di kantor. Jadi Alinka akhirnya maju dan bilang, "bapak bisa pecat saya. Keadaan nya gak akan bagus kalau saya tetep disini."

"Bagus kalau kamu sadar."

"Tapi kamu mau kerja dimana Lin?. Mendadak kayak gini pasti susah." Kata-kata yang terasa bijak di telinga Alinka, malah terdenger seperti sebuah kekhawatiran pada lawan jenis di telinga istrinya. Istri Pak Hasan langsung menatap tajam mata Alinka.

Alinka dengan wajah setenang mungkin membereskan rambutnya. Menyisirnya memakai tangan dan membereskan penampilannya. "Saya gak apa-apa kok. Saya yakin orang yang gak bersalah akan dapat kebahagiaan Pak. Jadi saya pasrah aja. Lagipula percuma saya kerja disini, tapi makan ati dan dituduh yang enggak-enggak." Wajah istri Pak Hasan memerah menahan emosi karena perkataan Alinka.

"Jadi kamu pikir kamu ini korban?. Mulut kamu itu ya."

Alinka membawa tasnya dan sedikit membungkuk. "Saya pamit dulu, permisi."

Rere menggebrak meja setelah mendengar cerita Alinka. "Gila ya itu ibu-ibu maen nuduh loe gitu aja cuman gara-gara makan bareng."

Alinka menyesap kopinya. "Ya emang istri Pak Hasan itu terkenal cemburuan banget. Gue gak bisa gimana-gimana Re." Rere prihatin melihat sahabatnya. Dia mengelus tangan Alinka yang berada di atas meja.

"Ya udah loe besok cepet cari kerja lagi."

Alinka mengangguk. "Tapi gimana ya gue ngomong sama Mas Panji?." Panji adalah pacar Alinka. Mereka sudah berpacaran lebih dari empat tahun. Panji merupakan pacar yang sangat mengayomi dan mencintai Alinka. Terkadang Alinka merasa tidak enak pada Panji karena Panji selalu membantu Alinka dengan berlebihan.

"Udah loe ngomong aja. Mas Panji kan baik banget."

Alinka mengusap wajahnya. "Panji itu terlalu baik buat gue sebenernya Re." Alinka sadar betul, dia bukan wanita yang baik. Dia kadang-kadang minum kalau pusing dengan masalah hidupnya. Dia juga kadang mengumpat kalau kesal. Berbanding terbalik dengan Panji. Dia selalu berkata sopan, sabar dan juga tidak pernah aneh-aneh. Anehnya walaupun Panji tau Alinka seperti apa, dia tetap mencintai dan menerima Alinka apa adanya.

"Namanya pasangan itu kan saling melengkapi Lin." Hibur Rere.

"Loe kan sama pacar loe serasi, pas. Kebiasaan kalian sama, hobi kalian juga sama." Bantah Alinka setelah mengingat bagaimana Rere dan pacarnya yang selaras seirama. Memang sering bertengkar, tapi justru Alinka terkadang syirik dengan hal seperti itu. Dia dan Panji, selalu Panji yang akhirnya mengalah dan meminta maaf walaupun bukan Panji yang salah. Terkadang Alinka ingin sesekali bertengkar dengan Panji, lalu setelah bertengkar akan mesra lagi.

"Loe tau gue sama Nono kan udah kayak Tom and Jerry, sehari akur eh sehari kemudian berantem. Cape lama-lama. Enak kayak loe adem ayem." Memang manusia itu terkadang tidak puas dengan apa yang dia dapat hari ini dan juga tidak mensyukurinya, ucap Alinka dalam hati.

"Pokoknya, loe harus bangkit Lin. Jangan terpuruk karena masalah ini." Alinka mengangguk dengan setengah hati. Bagaimana dia bisa tenang saja sementara adiknya yang sedang kuliah tinggal bareng dia karena ayah dan ibunya sudah tidak ada. Warisan?. Alinka niatkan hanya untuk biaya kuliah adiknya itu, Pingkan. Ya walaupun memang kalau urusan rumah, Alinka bersyukur karena orang tuanya meninggalkan rumah yang cukup besar. Jadi Alinka hanya perlu memikirkan biaya hidup saja. Tapi yaitu anak jaman sekarang kan, apalagi kuliah biayanya tidak sedikit. Dia butuh buah make up, maen ke mall bahkan nongkrong. Alinka tau betul, dia sangat memanjakan Pingkan tapi bagaimana lagi karena sebenarnya memanjakan Pingkan adalah bentuk sayang Alinka sebab merasa kasihan pada Pingkan. Kedua orang tuanya meninggalkan mereka disaat Pingkan sedang butuh-butuhnya perhatian yaitu SMA. Padahal Pingkan anak yang sangat manja dan bergantung pada kedua orang tuanya. Jadi Alinka mau melakukan apapun agar Pingkan tidak merasa sedih dan kekurangan.

Alinka benar-benar pusing kalau sampai dua bulan kemudian dia belum dapat pekerjaan. Tabungannya hanya cukup untuk biaya hidup tiga bulan kedepan.

**

Satu bulan kemudian.

Alinka mulai pusing dan gelisah karena dia belum juga dapat pekerjaan. Sementara waktunya tinggal sebulan. "Ka kok suntuk banget?." Pingkan mendekati Alinka yang sedang melamun di meja makan dengan sereal yang belum disentuh. "Belum dapet kerjaan juga?."

"Iya nih de. Bingung. Do'ain aja ya moga bulan ini dapet kerjaan."

Pingkan yang duduk di hadapan Alinka mengambil roti sambil menyemangati kakaknya. "Pasti dapet. Loe kan cantik, pinter."

"Moga deh. Eh ada kuliah pagi ini?."

"Hem. Mata kuliah Pak Agus. Ngantuk pasti nih dikelas pagi-pagi denger dia ngejelasin." Canda Pingkan sambil tertawa. Tiba-tiba ada bunyi bel. "Biar gue yang buka." Ucap Alinka dan segera membuka pintu. Ternyata Panji.

"Morning sayang." Sapa Panji sudah rapih dengan kemeja dan celana kerjanya.

"Morning juga. Sarapan gak?. Yuk bareng." Panji menangguk dan mengikuti pacarnya masuk ke dalam rumah. Pingkan langsung tersenyum ceria saat melihat Panji. "Pagi Ka Panji. Udah ganteng aja nih." Goda Pingkan.

"Iya dong, masa mau kerja kusut." Balas Panji sambil duduk. Alinka mengoleskan selai pada roti kemudian menaruhnya di piring dan diberikan pada Panji. "Makasi sayang."

"Hem, kamu mau kopi?."

"Boleh."

"Aduh udah kayak suami istri aja kalian. Udah ah mau berangkat daripada jadi obat nyamuk. Kebetulan juga Candra udah jemput didepan." Canda Pingkan sambil membereskan map dan tasnya.

"Hati-hati dek. Jangan macem-macem dan jangan pulang telat." Teriak Alinka dari dapur.

"Iya kakak bawel." Teriak balik Pingkan.

Panji mengeluarkan dompetnya dari saku celananya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. "Nih buat tambahan jajan kamu." Pingkan tersenyum sangat lebar sekali mendapat uang yang cukup lumayan banyak dari Panji. "Makasi ya calon kakak ipar."

Setelah membuat kopi Alinka berdiri disamping Panii dengan tatapan laser. "Pasti kamu ngasih gede lagi sama Pingkan. Jangan ah, aku gak enak sama kamu mas. Kebiasaan juga buat dia."

Panji santai saja menyesap kopinya. "Pingkan juga kan Ade aku. Gak apa-apa sesekali."

Alinka duduk. "Sering, bukan sesekali." Alinka yang berkata dengan cemberut hanya ditanggapi senyum oleh Panji dan mengacak rambut Alinka.

"Kamu udah dapet kerjaan?." Tanya Panji serius.

"Belum. Susah banget."

Panji mengambil tangan Alinka. "Sesuai kesepakatan kita, kalau kamu susah dapet kerjaan kamu kerja di tempatku."

"Gak enak ah, nanti kamu dianggap bos yang gak kompeten"

"Gak akan sayang." Balas Panji dengan senyuman. "Lagipula sekarang kan Pingkan lagi butuh biaya." Alinka menghela napas. Benar juga apa kata Mas Panji, batinnya.

"Ya udah deh."

Panji langsung tersenyum sangat lebar. "Good. Gitu dong. Asyik aku bisa liat kamu tiap hari." Alinka hanya bisa ikut tersenyum walaupun dalam hatinya dia berat menerima bantuan Panji.

"Makasih ya." Panji mengangguk dan mencium tangan Alinka lama. Terlihat sekali kalau Panji begitu mencintai Alinka. Alinka sendiri suka jadi bingung dan bertanya pada dirinya sendiri apa sih yang buat Panji cinta banget sama dia?. Karena selalu tidak mendapat jawaban. Pada akhirnya Alinka selalu berpikir mungkin Panji adalah rejeki saja dan anugerah dalam hidupnya. Walaupun dia juga tidak tau hal baik apa yang diperbuatnya sampai mendapat rejeki seperti Panji. Ya wajah Alinka memang cantik dan juga modis, tapi laki-laki sebaik Panji sangat jarang.

**

Sorenya saat Alinka sedang bermain game, ada satu telepon masuk dan memberitahukan kalau dia diterima di salah perusahaan besar yang dia kirim CVnya dan sudah melakukan dua kali wawancara. Alinka tidak menyangka dia akan diterima karena merasa saingannya banyak dan berkompeten. Jadi ketika Alinka mendapat kabar bahagia itu dia langsung melompat kegirangan dan lega karena tidak jadi mendapat bantuan dari Panji. Dia langsung memberitahukan Panji. Panji bahagia Alinka mendapat pekerjaan, tapi dia juga sedih karena itu artinya Alinka tidak jadi kerja di tempatnya. Bayangannya yang akan selalu melihat Alinka tiap hari pupus diterpa angin.

"Loe diterima kerja?." Tanya Rere heboh begitu Alinka menelepon dan memberitahukannya.

"Iya. Di perusahaan Jtech." Jawab Alinka bangga.

"Wah gila, itu kan perusahaan gede. Tuh apa gue bilang, loe bakal dapet yang lebih. Eh rayain kali. Minum yuk sambil ngemil cantik. Gue yang traktir." Alinka berpikir kemudian akhirnya mengiyakan. "Ajak Mas Panji juga, gue ajak Nono."

"Loe kan tau Mas Panji gak minum."

"Ya udah deh berdua aja."

"Oke sip. Jam sembilan ya."

"Oke." Alinka langsung melesat menuju kamar, mencari baju yang cocok. Rere emang hebohnya gak ada dua kalau urusan perayaan-perayaan. Alinka diterima kerja dulu, di rayain. Pingkan ke terima kuliah di universitas bagus di rayain. Alinka lulus S2 di rayain. Sampei Alinka punya kucing di rayain. Dan selalu uangnya dari Rere karena Rere adalah anak orang kaya. Dia hobi sekali menghambur-hamburkan uang. Alinka juga sesekali suka menyenangkan dirinya sendiri, tapi mungkin hanya satu tahun sekali. Uangnya habis untuk biaya hidup dan meneruskan ke S2. Bersyukur dia bisa lulus cepat jadi tidak terlalu lama Alinka mengencangkan ikat pinggang.

Sedang memilih baju, ada telepon dari Panji. "Sayang kita makan malem yuk?." Tanya Panji langsung dengan bersemangat.

"Maaf Mas, aku ada janji sama Rere malem ini. Biasa dia heboh mau ngerayain aku ke terima kerja." Jawab Alinka dengan posisi handphone yang di capit di bahunya.

"Dasar Rere. Kebiasaan. Ya udah, tapi kasih tapi kasih tau dimananya ya. Jadi nanti mas yang jemput." Panji hapal kebiasaan Rere kalau Alinka dapat sesuatu yang membahagiakan. Selama empat tahun pacaran tentu Panji tau betul fase hidup Alinka dan kebiasaan Alinka juga orang disekitarnya. Sebenarnya Panji juga sudah melamar Alinka dari dua tahun yang lalu, tapi Alinka berasalan dia masih kuliah S2 waktu itu dan Pingkan juga masih butuh biaya. Dia tidak ingin membebankan Panji dengan biaya hidupnya. Padahal kalau pun iya dibebankan pada Panji, dia tidak masalah. Panji merupakan seorang eksekutif muda. Anak dari orang konglomerat. Tapi Alinka tidak ingin merepotkan Panji.

"Oke."

Alinka langsung mengambil handuk untuk mandi, berganti baju kemudian bersiap-siap.

**

Di bar malam itu tidak terlalu banyak orang. Selain karena Rere selalu memilih bar berkelas, Rere juga malas bertemu pria kurang ajar. "Loe pesen apa Lin?."

"Apa aja terserah loe. Tapi jangan yang kadar alkoholnya tinggi ya, besok gue kerja." Rere langsung memanggil pelayan dan memesan minuman. "Eh padahal kalau loe mau ajak si Nono juga gak apa-apa loh." Nono alias Tono. Pacar Rere selama dua tahun ini.

"Gak ah, gak rame kalau cuman dia sendiri aja. Jadi gak bisa ngeceng juga kan kita."

"Males ah. Loe aja kalau mau ngeceng."

"Tau deh yang punya Panji. Si super paket lengkap." Ledek Rere yang langsung Alinka hadiahi dengan tissue bekasnya. "Eh Lin, loe gak pernah gitu berantem sama si Panji sekalipun?. Atau nemuin si Panji gitu genit sama cewek lain?." Rere selalu penasaran, apa iya ada laki-laki sebegitu lurusnya kayak jalan tol seperti Panji. Gak pernah neko-neko. Gak pernah macem-macem. Bahkan gak pernah nakal sedikitpun.

"Gak bosen loe nanya kayak gitu?. Loe tau lah jawabannya. Panji gak pernah macem-macem. Chatnya aja lempeng semua. Banyak sih yang godain dia, tapi gak di ladenin."

"Ah si Nono mah berapa kali ketauan chat genit sama cewek. Belum lagi kalau udah mabuk sama temen-temennya sampai tepar. Gue pasti yang repot."

"Bukannya Nono itu kata loe emang terlalu ramah sama cewek?." Tono adalah type laki-laki yang terlalu ramah dan suple. Banyak perempuan yang kegeeran dan Rere yang posesif sangat tidak menyukainya. Alhasil mereka selalu bertengkar karena hal itu. Dan Rere mengecap pacarnya itu genit.

"Kalau loe pernah macem-macem gak?." Tanya Rere random. Dia sangat tau, walaupun Alinka sahabatnya Alinka termasuk orang yang tidak terlalu mengumbar kehidupannya. Termasuk pada Rere. Beda halnya dengan Rere yang sangat terbuka mengenai semua hal pada Alinka.

"Gak lah, mana ada gue kepikiran maen belakang."

"Hem.. hem.. loe kan ngurusin terus sekolah sama kerjaan."

"Loe tau. Gue kan seneng-senengnya kalau sama loe doang." Balas Alinka sambil mengambil minumannya yang baru dibawakan oleh pelayan. Lalu meminumnya. "Loe pesen tequila?."

Rere mengangguk bahagia. Alinka hanya geleng-geleng melihat kelakuan sahabatnya. Lalu tiba-tiba Rere berdiri dan menyapa seseorang dengan heboh. "Bian.... loe baru pulang dari Singapura?." Teriak Rere heboh sambil cium pipi kanan dan kiri. "Lin kenalin, ini temen aku yang deket rumah itu. Dia baru pulang dari Singapura."

"Bian. Kenalin ini temen aku Beno." Bian berjabat tangan dengan Alinka kemudian Bian memperkenalkan temannya yang berbadan tegap dan memiliki wajah tegas. Memakai turtle neck dengan jaket kulit cokelat.

"Beno Dharmawan." Beno mengulurkan tangan. Menatap mata jernih Alinka dengan fokus. Seketika Alinka merasa terhipnotis.

Alinka menerima uluran tangan Beno. "Alinka Putri." Seperti ada hal aneh yang dirasakan Alinka ketika tangannya bersentuhan dengan Beno sehingga dengan cepat Alinka melepaskan genggaman tangan Beno.

Akhirnya Beno dan Bian yang baru datang ikut bergabung dengan Alinka dan juga Rere. "Gila Bian, loe lama banget di Singapura. Padahal loe bilangnya cuman setaun paling lama. Ternyata tiga tahun." Cerocos Rere yang mulai mabuk.

"Loe sih gue ajak gak mau."

"Loe tau kan gue lagi skripsi waktu itu." Rere mencubit lengan Bian keras. Bian hanya tertawa saja. "Eh kalau loe Ben, dari Singapura juga?." Tanya Rere beralih ke Beno.

Beno yang sedari tadi diam langsung membuka suara. "Enggak. Gue kerja disini." Rere manggut-manggut. "Bi kok loe gak pernah bilang punya temen cakep." Bisik Rereyang masih terdengar oleh Alinka dan juga Beno. "Ah loe takut ya gue suka sama Beno. Loe kan suka sama gue dari dulu. Seneng nyium gue." Alinka langsung speechless.

"Nih anak udah mulai ngaco nih. Pulang yuk?. Loe bareng gue aja Re." ... "Eh Lin yang bawa mobil siapa?."

"Rere kok."

"Ya udah gue bawa mobil Rere. Ben, loe anterin Alinka ya pake mobil gue."

Beno hanya berdehem sambil meminum minumannya yang baru dia sentuh. Baru saja Alinka akan bilang kalau dia dijemput pacarnya, tapi mendadak Panji bilang kalau dia harus terbang ke Surabaya. Mamahnya sakit. Jadi Alinka tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran Beno untuk mengantarkan Alinka ke rumah.

Setelah Bian dan Rere pergi. Alinka dan Beno masih duduk berdua. "Mau langsung pulang?." Tanya Beno.

"Terserah." Jawab Alinka acuh.

"Kalau sebentar lagi gimana?."

"Oke." Alinka dan Beno yang awalnya diam, mereka menjadi akrab karena ternyata Beno dan Alinka sangat cocok mengobrol. Walaupun memang yang mereka obrolkan itu bukan hal pribadi, melainkan hal-hal yang ringan tapi tidak tau kenapa mereka merasa cocok. "Jadi menurut kamu cinta itu ribet?."

"Iya, ngejalin hubungan gak pake cinta itu lebih simpel dan ringan." Jawab Beno dengan senyum. Alinka baru sadar ternyata Beni memiliki lesung pipi yang agak dalam. Dan Alinka seketika langsung berdebar melihatnya.

"Tapi bukannya hambar terus gak bahagia ya kalau gak pake rasa?."

"Ya tergantung kita. Dibawa seneng aja. Yang nyiptain bahagia itu ya kita sendiri. Cinta cuman bikin kita bodo Lin." Alinka terperangah dengan pemikiran Beno. Selama ini dia dekat dengan Panji yang sangat lurus dan seperti pangeran dalam negeri dongeng. Jadi mendengar pemikiran Beno, Alinka sangat terkejut. Dia juga merasakan sesuatu yang lain dalam hatinya. Seperti ada gelenyar aneh.

Selama di perjalanan pulang, Beno dan Alinka berlanjut mengobrol banyak hal. Beno sampai menyerahkan jaketnya pada Alinka karena melihat Alinka yang kedinginan memakai baju yang terbuka. "Udah pake aja Lin." Ucap Beno sambil membuka jaketnya setelah menepikan dulu mobilnya.

"Bener nih Ben?." Tanya Alinka tidak enak, tapi akhirnya mengambil jaket pemberian Beno karena memang dia kedinginan.

"Iya. Kamu pasti kedinginan." Jawab Beno tersenyum. Alinka hanya bisa berterima kasih saja.

Sesampainya di depan rumah Alinka. "Ben makasih ya udah nganterin."

"Iya sama-sama. Masa cewek cantik dibiarin pulang sendirian naik taksi." Jawabnya dengan tertawa. Lalu mereka pun berpisah.

**

Besok paginya, Alinka sudah siap dengan setelan kerjanya yang rapih. Beruntung dia malam hanya minum sedikit saja jadi dia sangat segar buat hari pertamanya bekerja di perusahaan baru. "Do'ain gue ya lancar hari ini." Ucap Alinka pada Pingkan yang sedang mengerjakan sesuatu di laptop.

"Iya, sukses." Pingkan mencium pipi kakaknya.

Tiba-tiba ketika Alinka akan membuka pintu, dia ingat kalau belum menelepon Panji pagi ini. "Halo Sayang. Maaf ya aku mendadak harus terbang ke Surabaya malem." Ucap Panji langsung ketika mengangkat telepon.

"Hey gak apa-apa sayang. Aku cuman pengen nanya aja gimana kabar mamah?." Alinka sangat mengenal mamah Panji. Beberapa kali Panji membawa Alinka ke Surabaya dan memperkenalkannya kepada kedua orang tuanya. Untung kedua orang tua Panji sangat baik dan menerima Alinka dengan baik sekalipun mereka tau bagaimana latar belakang Alinka yang sudah tidak mempunyai kedua orang tua.

"Udah baikan sekarang. Kemarin kayaknya mamah kecapekan berkebun. Kamu malem pulang sama siapa?."

Jantung Alinka langsung berdetak. Bagaimana kalau dia bilang malam dia pulang diantar Beno. Panji bakal marah. Panji paling gak suka Alinka dekat-dekat sama cowok lain. Panji termasuk cowok posesif.

"Ehm... sama Rere."

"Syukur kalau gitu. Aku khawatir banget."

"Salam buat mamah ya mas. Semoga mamah cepet sembuh, maaf aku belum bisa kesana. Aku baru ke terima kerja, jadi gak mungkin aku minta cuti. Ya udah aku berangkat kerja dulu ya."

"Iya gak apa-apa sayang. Ya udah kamu ati-ati ya. Jangan lupa makan." Akhirnya Alinka menutup panggilannya dengan Panji kemudian berangkat ke kantor dengan taksi online.

**

Sesampainya di kantor, Alinka pergi ke HRD terlebih dahulu. Lalu setelah ketemu HRD dia diantar ke mejanya. Alinka menjadi sekretaris seorang direktur muda.

"Selamat pagi. Kamu sekretaris baru saya?." Sapaan mendadak dari seseorang membuat Alinka yang sedang menata mejanya menoleh dan berdiri. "Alinka?."

Tubuh Alinka menegang. Bertanya dalam hatinya kalau ini bukan mimpi kan?. "Beno?, eh maaf Pak Beno." Alinka rasanya bermimpi bisa bertemu kembali dengan Beno dan dia juga sekarang menjadi atasannya. Sungguh sulit untuk Alinka percaya.

avataravatar