webnovel

Prolog

Hai namaku Shirly Kenia, bisa di panggil Circi. Aku seorang anak tunggal dari pasangan suami istri bernama Tuan Aflah dan Nyonya Hafa. Tahun ini aku berusia dua puluh satu tahun. Yaps, harusnya sudah berstatus mahasiswa tapi Bunda dan Papa memutuskan agar aku tidak melanjutkan pendidikan, secara otomatis menjadi seorang pengangguran.

Sebenarnya aku juga tidak bisa dibilang menganggur karena hampir di setiap pagi dan malam sibuk membantu seorang wanita dewasa berusia empat puluh lima tahun untuk membuat adonan roti atau kue lain atau membantu lelaki paruh baya berusia lima puluh lima tahun, menyelesaikan pekerjaan kantor di ruang perpustakaan pribadi di sudut rumah.

Sesuai dugaan kalian, tepat sekali, bahwa Bunda, adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki bisnis kecil-kecilan berupa HAFA BAKERY dan Papa adalah seorang karyawan senior di kantor yang syukurnya memiliki jabatan penting.

Aku berasal dari keluarga sederhana, yang syukurnya masih sanggup untuk sekedar makan tiga kali dalam sehari. Benar, aku tidak belajar di dalam gedung sekolah seperti anak perempuan pada umumnya, bukan karena Papa tidak sanggup untuk membiayai tetapi karena aku memiliki masalah mental. Papa dan Bunda, mencoba mencari cara lain agar tetap dapat memberikan pendidikan yang berkualitas, yaitu, dengan cara home schooling. Aku sendiri tidak menolak. Sebab ini juga untuk kelangsungan kesehatan mental.

Mungkin tersimpan banyak pertanyaan, ada apa denganku? Masalah mental seperti apa yang tengah aku idap? Jawabannya pun aku sendiri tidak tahu. Papa dan Bunda selalu memilih tutup mulut ketika membahas sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan masalah ini dan berakhir saling diam lalu pergi menghindar entah menyibukkan diri pada tanggung jawab masing-masing atau sekedar melakukan hal lain.

Aku menyadari betapa berbeda dan anehnya diri ini, ketika berusia enam tahun. Sebenarnya sudah sangat lama merasa ada yang tidak beres. Namun, aku hiraukan, berpikir "mungkin hanya sekedar perasaan saja", tetapi itu terjadi secara berulang kali. Sangat jelas diingatan, disetiap byte memori otak, bagaimana aku yang selalu ketakutan ketika untuk pertama kali bertemu orang-orang selain Papa dan Bunda, berada di satu ruangan yang sama, padahal orang-orang itu sama sekali tidak berpenampilan menyeramkan atau semacamnya. Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, aku yang awalnya baik-baik saja, akan berubah menangis histeris, diikuti seluruh tubuh yang bergetar serta mengeluarkan keringat dingin, seolah-olah baru saja berhadapan dengan monster menakutkan, padahal faktanya tidak begitu.

Semua yang telah terjadi cukup membuat depresi di usia dini. Papa dan Bunda merasa tidak sanggup untuk melihat responku ketika keadaan 'asing' itu kembali aku hadapi, membuat mau tak mau, psikolog dan timnya tidak bisa mengawasi dua puluh empat jam secara tatap muka. Jika hal ini terjadi, pasti ada saja hal buruk yang akan aku lakukan. Itu terbukti, entah kepala salah satu dari mereka bocor karena aku lempari vas bunga atau benda apapun yang masih dalam jangkauan tangan. Hingga pada akhirnya, setelah melalui diskusi panjang, mereka sepakat untuk tetap mengawasi tetapi hanya sekedar melalui kamera pengintai yang sengaja dipasang disetiap sudut rumah terumah kamarku sendiri, meski harus menanggung resiko yang berat nan besar yang bisa berakibat fatal. Sebab, apabila aku melakukan hal-hal berbahaya di luar kendali dan mereka gagal untuk datang lebih cepat maka nyawa pun menjadi taruhan.

Saat ini aku memilih untuk tinggal di sebuah mini house yang terletak di pinggir kota, jauh sekali dari keramaian. Lagi-lagi karena alibi kondisi mental, sedangkan Papa dan Bunda harus berbesar hati untuk ikhlas tinggal terpisah karena alibi bisnis yang tak dapat ditinggal dan mempertimbangkan jarak menuju kantor. Harusnya memang aku tinggal satu atap bersama orang tua untuk mempermudah psikolog dan tenaga medis melakukan tindakan cepaf ketika terjadi hal serius, juga mempertimbangkan jarak menuju rumah sakit di kota yang jelas-jelas memiliki fasilitas lebih lengkap dari pada sebuah klinik kecil di pinggiran kota.

Penyebab mereka bersedia memberi izin, karena sejak usia 16, syukurnya secara perlahan-lahan aku mulai berhasil menerapkan sistem kontrol diri untuk memperkecil kemungkinan timbul hal buruk selama di mini house. "Ya, sebenarnya tak memberi pengaruh apapun padaku. Tetap saja seperti dulu. Yang ada aku semakin tertutup dan menjauhkan diri dari dunia luar. Yang diketahui hanya minihouse, rumah di kota, Hafa Bakery, Kantor tempat Papa bekerja, Bunda, Papa, keluarga besar, dan si kurir perempuan." Batinku yang telah tersimpan selama ini.

Walaupun begitu, Papa dan Bunda tetap datang mengunjungi mini house setiap hari minggu, entah sekedar mengecek listrik, air, atau bagian-bagian mini house yang memang sudah waktunya diperbaiki atau diganti. Hingga saat ini aku tetap membantu Papa dan Bunda seperti biasa. Oh ya, saat mengingat perihal HAFA BAKERY, ada satu orang 'asing' yang berhasil mendekatkan diri padakh, yaitu seorang perempuan muda yang bertugas ketika telah menjelang subuh selalu datang ke minihouse untuk menjemput adonan kue dan roti lainnya yang sengaja diendap selama beberapa jam atau semalaman di dalan box pendingin sekaligus sebagai kurir. Berbicara tentangnya, pernah sekali, ketika jam 4 subuh dia telah sampai di minihouse mengendarai sebuah sepeda motor matic, aku bertanya, kenapa mau mengambil pekerjaan ini, yang dia jawab 'untuk menambah uang jajan'. Ah, mendengar itu, aku menjadi begitu salut padanya. Juga berpikir, betapa beruntungnya gadis muda itu, leluasa tanpa rasa khawatir, cemas, atau takut dapat bepergian kemanapun serta bebas bersosialisasi dan bertemu orang-orang baru. Sedang diri sendiri tidak bisa begitu.

Ternyata jika membahas permasalahan mental yang aku derita, memberikan efek samping positif, seperti rasa ketertarikan terhadap makanan begitu besar dan tidak suka pada jenis minuman apapun. Cukup hanya air mineral, susu vanilla, dan coklat batangan yang dicairkan. Hm, itu juga sudah masuk dalam kategori lezat bagiku. Sesimple itu.

Selama di minihouse disetiap hari, aku tidak banyak memasak beraneka macam makanan karena aku sendiri tidak pandai memasak makanan berat. Paling mentok ya, seperti mie instan, telur goreng entah berbentuk mata sapi atau dadar, lalu nasi merah goreng, dan yang lainnya. Hehehe, maksudnya, kalau hanya berurusan dengan goreng menggoreng maka itu hanya sebuah urusan kecil tapi saat akan membuat bumbu dasar sebelum makanan itu digoreng pasti akan terjadi banyak drama. Hingga sering sekali merepotkan Bunda. Jangan ditiru ya, cukup aku saja yang begini, kalian jangan.

Berbicara tentang mini house, ya namanya saja mini house tentu saja hanya ada kamar mandi, dapur, kamar tidur sekaligus ruang belajar, lalu teras rumah. Dan yang menjadi spot favorit adalah kamar tidur, disini aku merasa lebih leluasa melakukan apapun. Mulai dari menonton televisi, menari, menyanyi, beribadah, belajar, dan menghangatkan badan. Seperti malam ini, mini house terasa sangat dingin, membuat tubuh berisi ku membeku di samping perapian yang bahkan nyala apinya sudah mulai mengecil. Semua ini terjadi karena alat penghangat ruangan, hadiah ulang tahun dari si kurir itu rusak. Mau tak mau aku hanya bisa meringkuk dibalik selimut tebal yang membalut keseluruh tubuh, namun tetap tak dapat mengurangi rasa dingin sedikitpun.

Ponsel hitam, hadiah ulang tahun dari Papa terletak cukup jauh dari jangkauan tangan, niat hati menghubungi Papa atau Bunda atau si kurir pun membuat otak berpikir dua kali. Embusan nafas yang berubah seperti kepulan asap rokok, berulang kali nampak keluar dari mulut kecil ku layaknya seekor naga api. Penderitaan malam ini tak berhenti sampai disitu, sebab sedetik kemudian seluruh lampu di mini house padam seketika membuat aku tak bisa lagi mengontrol diri.

Gelap adalah musuhku sejak kecil. Dan kini melihat suasana sekitar tubuh berubah gelap gulita ditambah pencahayaan dari perapian ikut padam, cukup membuat sekujur badan bergetar serta berkeringat dingin. Tiba-tiba aku merasa sesak di dada. Sepertinya suhu benar-benar sedang berada di minus derajat celcius. Baiklah, kedua mata yang telah berair karena menangis ini mengatup. Batin berkali-kali berteriak memanggil Papa atau Bunda atau si kurir, berharap salah satu dari mereka ada yang datang. Namun tak ada bantuan apapun.

Baru sepuluh menit berlalu tetapi tubuhku benar-benar tidak dapat toleransi lagi dalam jangka panjang. Seperti saat diri ini memilih menyerah bahkan telah berdoa pada Tuhan, semisal aku akan benar-benar mati di dalam sini seorang diri semoga Tuhan menyampaikan permintaan maaf sekaligus terima kasih kepada orang-orang yang aku sayang melalui mimpi mereka, dalam 3 detakan jantung, sebuah endusan terasa di tengkuk leher dan wajah.

"Ya Tuhan, apalagi ini? Apakah ini hewan buas? Atau hantu? Atau apa? Aku takut. Aku hanya ingin Papa dan Bunda atau si kurir disini. Tolong beri aku kesempatan hidup yang lebih panjang. Aku masih ingin membantu Papa dan Bunda. Aku sayang mereka berdua. Aku mohon Tuhan," batinku merasa ketakutan berlebihan.

Entah hal gila apa yang telah merasuki. Dengan sisa keberanian, kubuka kedua mata, dan betapa terkejutnya. Tepat dihadapan, seorang lelaki tidak dikenal, half shirtles serta bahu lebar nan lengan berotot itu tengah duduk. Tanpa aku tahu ia datang dari mana sebab langkah kakinya pun tak terdengar di telinga atau mungkin aku yang terlalu fokus pada penderitaan. Hidung mancungnya mengendus-ngendus rambut, wajah bahkan area leher hingga pundak. Namun kedua matanya tertutup. Tepat ketika kedua mata terbuka, pandangan ku bersitatap dengan bola mata berwarna biru pekat, aku yang tak mampu berteriak hanya bisa berbisik.

"Kamu siapa,"

Tanpa sempat mendengar jawaban pria asing itu aku telah jatuh tak sadarkan diri membawa seluruh rasa terkejut, takut, cemas, khawatir dan rasa lainnya hanyut dalam kegelapan.

Next chapter