1 Arthur I (Prolog)

"Kudengar Tuan George yang menguasai perbatasan dibunuh."

"Yang benar? Burung-burung Flagel juga katanya bermigrasi besar-besaran."

Arthur Fox sebagai seorang lelaki sejati yang tak sengaja menemukan dua gadis tanggung di jalanan, berduaan, malam-malam, merasa perlu andil dalam pembicaraan itu untuk mengungkap eksistensinya. "Benarkah? Sepertinya kiamat sudah dekat."

Seorang gadis berkulit kemerahan dengan pipi bintik-bintik bernama Caroline, menatapnya balik, bergiddik dalam keterkejutan, dan hampir menjatuhkan lampu petromaknya kalau-kalau kawannya tidak menahan

Gadis lain bernama Diana langsung mencak-mencak. "Pergi sana."

"Kalian ini dingin sekali, padahal niatku baik."

Diana yang memang tampilannya sudah menyerupai lelaki—rambut sebahu, sepatunya berupa bot lusuh dengan sol hampir robek, dan pakaiannya adalah tunik kecoklatan yang kusam alih-alih gaun atau korset—kini nampak lebih jantan ketika maju menantang Arthur dan mengepalkan tangan. "Hah. Baik apanya? Mana mungkin kami percaya orang yang kerjanya setiap hari cuma membual dan melecehkan—"

"Hei, hei. Jaga mulutmu, Manis. Melecehkan? Ya ampun, kalian dengar gosipnya darimana? Jelas-jelas mereka sendiri yang sukarela meminta untuk ditiduri karena tak tahan dengan pesona—hei, jangan tinggalkan aku sendiri disini." Arthur tergopoh-gopoh menyusul dua gadis itu yang sudah kembali berlalu.

Arthur terengah-engah setelah akhirnya berhasil mengimbangi. 'Gadis-gadis ini staminanya boleh juga'. Pikirannya langsung melayang kepada hal yang tidak-tidak. "Dengar, aku cuma ingin mengobrol. Bertiga. Lihat? Bahkan jika aku berani macam-macam, aku tetap kalah jumlah. Dan…, kau bilang kalau George mati, benar begitu?"

Suara anggun milik Caroline yang menjawab gugup. "Y-ya. "

Arthur kali ini yang merinding. "Baiklah, ini terdengar semakin buruk. Aku juga dengar proyek pertambangan di Braun dihentikan kerajaan, mereka bilang karena keterbatasan fasilitas dan pekerja, tapi aku dengar gosip aneh yang menarik. Katanya para pekerja menghilang tanpa jejak dan tempat mereka bekerja dihancur-leburkan oleh sesuatu. Sekarang seorang Lord yang dibunuh. Para hewan pada gelisah. Kalian tahu apa artinya?"

"Ehmm…, pertannda bencana?" Caroline menebak.

Arthur cuma tersenyum manis. "Jawaban yang bagus, tapi kurang tepat. Ini lebih seperti sesuatu yang jahat, terkutuk, dan siap menghancurkan segalanya. Seperti draga—"

Diana mendengus. "Jadi ini tehnikmu memikat para gadis? Mengatakan kalau besok kiamat dan cara terbaik menghabiskan sisa waktu di bumi adalah dengan saling berbagi kehangatan?"

"Oh, Manis, kau memang pintar. Tapi itu keliru." Arthur mengelus dagu, "Tapi idemu bagus juga. Mungkin akan kupratekan kapan-kapan."

Diana berdecak. "Keliru? Para draga terakhir muncul tigaratus tahun yang lalu—"

"Tiga ratus tigapuluh tiga tahun. Dan masih ada sampai sekarang." Arthur mengedikkan bahu, "Semua hal tentang itu; kepunahan, saling menghancurkan atau memakan, adalah kebohongan orang-orang dewasa lainnya ketika masih kecil. Mereka yang masih terperangkap oleh dongeng itu…, yah, kalau bukan orang dungu, ya delusional. Tidak bermaksud menyinggung."

Namun, muka Diana sudah merah dan sendi-sendi wajahnya mengeras marah. "Aku juga bisa katakan kalau aku punya testis sekarang, tapi tentu orang-orang tidak akan percaya kalau aku tidak akan tunjukkan bukti. Bukankah itu yang seharusnya kau berikan dari tadi? Bukti?"

Menanggapi itu, sebenarnya Arthur belum siap. Faktanya, yang dia punya cuma sekumpulan berita angin tak mengenakkan dan prediksi asal, sisanya dibuat-buat supaya semakin seru.

Ketika menjawab, dia berusaha untuk tak terlihat gugup, "Hah? Bukti? Tentu, aku punya. Mampir saja ke rumah dan bakal kuceritakan semuanya. Dari mulai draga sampai kebohongan doktrin-doktrin agama." Namun, tangannya berkeringat, begitu juga dahinya yang tersorot binar petromak.

"Dan membiarkan kami diberikan ramuan tidur lalu diapa-apa—" Sebenarnya Arthur akan menyela, tapi Diana berhenti tiba-tiba lebih dulu. Matanya menyorot terkesiap kepada apapun pemandangan yang terpampang nun jauh di belakang Arthur.

Karena penasaran, Arthur akhirnya berbalik dan juga melihat itu.

Itu semacam bola api berekor seukuran kepalan tangan yang meluncur deras dari timur ke Ecalp—desa mereka. Kembang api? Kalau dilihat dari sudut pandang postitif, ini suatu hal yang lumrah. Jauh di sebelah barat sana, mewujud wilayah kedua termaju dan teramai di Kerajaan Synder Timur, Noun. Tiap kali ada festival, terdapat perayaan meriah yang melibatkan atraksi sirkus, penyihir, dan pelawak.

Tapi itu masalahnya. Sekarang tahun genap, dan sebagai penganut agama Tided yang taat, tak ada yang berani mengadakan acara apapun karena takut kena sial. Terlebih, kembang api itu meluncur bukannya dari bawah ke atas, tapi…, mendatar? Arthur langsung sadar kalau bola api itu membesar dan hampir seukuran kepala manusia dewasa.

Perlahan melayang rendah, tapi seceepat suara. Ketiganya terpekur takjub kala permukaannya menyentuh salah satu atap rumah yang tak jauh dari sini.

Berikutnya, udara didominasi oleh debum ledakan dahsyat dan suara api yang meringis-ringis. Dari kejauhan, kontras dalam kegelapan pekat yang cuma dinetralisir lampu-lampu minyak temaram, atap itu menyala dalam gejolak si jago merah yang melalap tiap inti batu dalam kehangusan kekal.

"A-apa itu?" Tak disangka, Caroline jadi yang pertama pulih dari kebingungan itu.

Arthur sendiri masih tak habis pikir. 'Serangan musuh?' Pemuda itu menggeleng. Meski tak semaju wilayah lainnya, Ecalp masih punya pos-pos menara pengawas mumpuni di tiap penjuru mata angin, dan siapapun yang berusaha melancarkan serangan melalui medan apapun, bakal kena ringkus bahkan ketika ia belum siap merapal mantra atau mempersiapkan amunisi.

'Orang iseng?; Pemikiran ini terjawab oleh ledakan selanjutnya. Kali ini dari sudut kiri. Arthur menoleh dan mendapati menara pengawas yang barusan ia elu-elukan, justru terbakar, reyot, dan perlahan tumbang. Orang-orang di dalamnya berkeliaran keluar, punggung mereka berapi-api, mulut mereka berteriak-teriak minta tolong.

Menara itu menimpa tiga rumah di bawahnya yang langsung ikut luluh-lantah.. Euforia mulai membeludak oleh pekikan ketakutan dan lolongan meminta bantuan.

Arthur mendapati sekujur badannya bergetar. 'Mengerikan.' "Tapi setidaknya kita masih—" Pemuda itu tak menemukan kedua gadis yang barusan bersamanya dimanapun. Meninggalkan Arthur yang sendirian dan linglung, dan pergi entah kemana dengan sembrono tanpa mempedulikan resiko yang akan mereka dapat. 'Bagaimana kalau ini benar-benar musuh dan mereka justru kenapa-kenapa karena tak menyertakanku'

Sebagai pria sejati berjiwa kesatria, Arthur cuma mengumpat-umpat dan langsung tancap gas menuju rumahnya sendiri. Dia memasuki alun-alun desa dan mendapati pemandangan yang lebih mengerikan.

Masyarakat berlarian dan histeris tak keruan. Tak jauh dari tempat Arthur menatap, sekumpulan mayat tak utuh, hangus, dan terpotong-potong terbaring dalam urutan acak. Membentuk kolam darah dan harum busuk yang menyengat.

Rumah-rumah terbakar. Gelegar ledakan memekkakan dan seolah mengurung semua orang dalam lingkup kengerian semu.

'Sedikit lagi.' Sembari menahan napas dan berusaha untuk tidak jatuh lalu teirnjak-injak, Arthur kembali menelusuri jalur kacau-balau itu cepat-cepat.

Matanya kini bisa melihat rumahnya. Bangunan sederhana yang lebih mirip kandang kuda alih-alih tempat tinggal. Berdiri kokoh secara muskil sementara bangunan di sekelilingnya perlahan-lahan lenyap karena meleleh dilahap api atau runtuh duluan.

Namun, masalah muncul dari sana. Telinga kiriya mendengar suara berderak samar yang teredam oleh teriakan orang-orang. Arthur melihat ke samping dan menemukan sebuah kuil yang digerogoti kobaran api yang menjalar dari rumah pandai besi bernama Felix. Tiang penyangganya setengah meleleh, dan fondasinya bisa runtuh kapan saja.

Arthur sebenarnya bisa langsung tancap gas ke rumah dan berlindung ke ruang bawah tanah khusus buatan ayahnya yang dipersiapkan sejak dulu untuk menghadapi situasi seperti ini. Namun, tangis yang menggema nyaring dan dekat menyita perhatian dan motivasinya untuk lari.

Di dekat kuil, dantara masyarakat yang membaur bingung, duduk anak laki--laki kisaran lima tahun tengah menggelepar-leparkan kaki putusasa. Suara serak-cemprengnya meneriakkan pilu kata 'Ayah', usaha satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang meski sejatinya tak berguna.

Arthur langsung disambar delima. Setelah menggigit bibir cukup kuat dan berpikir keras selama satu setengah detik, dia menyumpah. 'Para dewa sangat kejam.' Arthur meluncur ke sisi anak kecil, menggendongnya dengan kesulitan karena si anak berontak dalam keheranan, lalu kembali berjalan.

Suara berderak makin kuat. Embun debu berayun menyerbak memenuhi pelupuk mata. Arthur terlalu ngeri baik untuk berkedip atau sekedar mendongak.

Coba diambilnya langkah lebar-lebar, tangannya yang membopong si anak perlahan kendur oleh keraguan.

Tiang penyangga kuil yang pertama ambruk dan setengah bagiannya hampir menimpa punggung Arthur kalau pemuda itu tak cukup cepat berkilah. Disusul kubah berbentuk pentagon dari perak murni yang menggelinding ke arah sebaliknya dan menginjak beberapa orang yang berdatangan. Dan seperti barisan domino yang didorong ujungnya, ketika salah satu bata tanggal dan melipir ke tanah, debuman dahsyat beserta ragam reruntuhan konstruksi berat luluh-lantah ke tanah.

Arthur menghela napas lega. Tubuhnya masih bergetar dan untuk sesaat ia merasa lupa darat sehingga rumahnya terlewat.

Arthur pun berhenti dan menurunkan si anak. Si anak yang awalnya defensif, justru kini tak mau melepas pelukannya dan kerap menangis. "Aku takut, Paman," katanya ketika mereka bertatap muka. "Aku mau pulang."

Arthur berdecak, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kau tahu dimana rumahmu?"

Si anak menggeleng.

"Orangtuamu? Kemana mereka?"

Si anak menjelaskan sambil terisak. Suaranya yang setengah mencicit hampir teredam oleh euforia sekitar sehingga Arthur harus mendekatkan telinganya tiap kali lawan bicaranya bicara. "Aku tidak tahu. Kata Ayah, Ibu pergi ke tempat yang jauh. Aku disini tinggal cuma sama Ayah."

"Ya, ya. Dimana Ayahmu?" Lama-lama, Arthur jadi tak sabar. Sudah banyak waktuku yang terbuang

Si anak terdiam, mendongak. Lalu menangis lebih kencang.

'Bodohnya aku bertanya kepada anak yang linglung.' Anak itu langsung Arthur gendong kembali, lalu berdiri, ingin berbalik. Saat itu, tubuhnya menjadi aneh.

Kepalanya sangat pusing dan bagian belakangnya terasa perih. Penglihatan Arthur berkunang-kunang dan mulai memaparkan fatamorgana tak masuk akal. Kakinya menjadi tak seimbang. Tangannya mati rasa. Ketika Arthur sadar, tubuhnya sudah sepenuhnya disfungsi dan ambruk ke tanah.

Samar-samar, sebelum matanya menutup, dia dapat melihat gerombolan makhluk berbentuk asing. Berombong-rombongan. Menyeringai.

Detik berikutnya, Arthur pingsan.

avataravatar