1 The First Death

Badai mengerikan, yang selalu mengahantui Tenghen, sedang mengamuk diluar, dengan hujan lebat, dan Angin Utara yang bertiup kencang, yang dinginnya mampu membekekukan tulang siapapun yang tak bernasib mujur. Petir yang menyambar, juga datang bersama guntur, yang gemuruhnya mampu membuat kebanyakan orang bergidik ketakutan, dan bersembunyi dibawah kolong meja.

Bagian paling mengerikan akan ditemukan keesokan harinya, saat setiap orang mendapati rumah-rumah mereka hancur, akibat dihantam badai. Dan, pada saat itu akan banyak mayat yang harus dikuburkan, baik mati akibat tertimpa bangunan, atau karena dibunuh wabah Angin Salju. Penyakit yang datang bersama dengan berhembusnya Angin Utara, yang sampai saat ini masih belum ditemukan obatnya.

Malam ini, semua orang yang masih memiliki akal sehat akan berlindung didalam rumahnya masing-masing, dengan mengenakan pakaian tebal untuk mengusir udara yang membekukan tulang ini, dan menghabiskan sepanjang malam, berkumpul bersama keluarga didepan perapian yang hangat, dengan ditemani makanan yang baru diangkat dari pembakaran, dan minuman hangat. Dan mungkin berlindung dibawah kolong meja, saat badai sedang ganas-ganasnya.

Bagi kebanyakan orang, Badai Yunriv yang setiap tahun menerjang Tenghen adalah musibah yang sangat menyusahkan. Tetapi, bagi sebagian kecil orang lain, yang hidup didunia berbeda. Malam ini adalah berkah, yang wajib dimanfaatkan, setiap detiknya.

Aku mendongak, menatap dengan takjub ribuan orang yang hadir dikursi penonton. Mungkin sepuluh ribu orang, atau bahkan lebih, dan terus bertambah.

Mereka adalah orang-orang yang tak takut mati. Tak gentar pada wabah Angin Salju, juga tak bergidik saat memikirkan setiap detik mereka bisa kehilangan nyawa, jika atap Arena Tanding ambruk menimpa kepala mereka.

Malam ini, disaat kota sedang ketakutan, dan berusaha terlelap dengan kekhawatiran yang semakin membesar didada. Ditempat inilah, ketakutan dan kekhawatiran itu mati seketika.

Malam ini, adalah malam hari raya bagi siapapun yang hidup didunia kelam, seperti tempatku hidup selama ini. Malam ini semua kegiatan ilegal akan berlangsung bebas dan ganas selama semalam, karena seluruh prajurit diistirahatkan, dan patroli kota dihentikan. Ribuan keping tembaga akan berpindah tangan, pelabuhan akan aktif dalam kegiatan perdagangan opium, manusia, dan bahkan senjata-senjata terlarang, yang masih dalam pengembangan suatu kerajaan yang letaknya jauh dibelahan bumi yang lain.

Sedangkan, arena-arena tanding, akan dipenuhi penonton yang ingin menyaksikan pertarungan kematian. Pertandingan, yang tak akan dihentikan sampai salah-satu petarung terkapar tak bernyawa ditanah. Disaat inilah, uang mengalir deras untuk ditaruhkan, yang juga akan berdampak pada besarnya hadiah kemenangan pertarungan itu sendiri.

Hadiah untuk pertandingan kematian malam ini, sebesar lima puluh keping emas. Uang yang cukup banyak, untuk dapat mendapatkan hidup yang lebih dari layak, selama beberapa tahun. Tapi, aku membutuhkan uang itu dengan tujuan yang sama sekali berbeda.

Malam ini, aku akan melawan Jalinov Karogan. Pertarung kelahiran Greogori, dengan nama yang sangat termasyhur didunia hitam ini, yang reputasinya sudah mendahului kedatangan orangnya di Tenghen. Reputasi yang membuat siapapun bergidik saat mendengarnya, dan membuat petarung manapun, mengkerut bahkan sebelum bertemu Jalinov.

"Jangan takut, semuanya akan baik-baik saja." Aku berbisik pada diri sendiri, lalu menatap keatas, kearah kursi penonton yang semakin lama, semakin penuh saja. Tak jarang, aku harus mengusap keringat yang mengucur deras didahi, walaupun suhu udara dinginnya minta ampun. "Kalau tak baik-baik saja. Toh, kemungkinan buruk, aku hanya akan mati. Dan, mati adalah hal paling mudah untuk dilakukan dibumi, karena semua orang bisa mati ketika sudah datang waktunya."

Ketakutan, lebih membunuh daripada racun. Ucap Dhen dulu, kalimat yang sampai sekarang, masih terngiang dikepalaku.

Aku tak takut, Dhen. Aku tak akan pernah merasakan takut lagi. Lalu, ini apa? Jantung berdebar-debar, keringat dingin yang terus mengucur, dan tangan yang gemetaran.

Aku menghela napas panjang, lalu menutup mata.

***

"Apakah kepalamu masih sama kerasnya, seperti semalam?" Tanya Pak Fitz dengan suara merenungnya yang khas, setelah aku menutup pintu ruangan tunggu, yang membuat dengung suara percakapan ribuan orang diatas sana, menjadi teredam, meskipun masih terdengar jelas, seperti dengungan lebah yang tak ada hentinya.

Aku hanya mengangkat bahu, lalu duduk didepan Pak Fitz dengan sopan, dan kembali membaca biodata lawan yang akan kuhadapi malam ini. Catatan Pak Fitz tentang Jalinov berjumlah belasan lembar, kebanyakan menjelaskan bagaimana lawan-lawannya sebelum ini dibunuhnya. Aku melewatkan bagian itu, dan membaca bagian formalnya saja.

Jalinov Karogan. Dijuluki Banteng Liar.

Tempat tinggal asal : Greogori, Kota Leninkov.

Usia 20 Tahun.

Rekor pertandingan, 36 kemenangan, dari 36 pertandingan.

"Pemuda ini, pembunuh." Pak Fitz menekankan kata terakhir yang diucapkannya.

Aku mengangguk setuju.

"Buat apa uang sebanyak itu, jika kau mati terbunuh malam ini?"

"Kalau bukan Jalinov yang membunuhku, Thaga yang akan menggantung kepalaku. Jadi, akan sama saja hasilnya. Anda sendiri tahu akan hal itu."

Setelah diam sesaat, Dia merapikan berbagai macam surat yang sekarang berserakan dimejanya yang luas ini. Meja yang sering digunakannya untuk bercinta dengan gadis asistennya yang berambut pirang itu.

"Seharusnya, tak berakhir seperti ini."

"Hidup memang aneh, juga tak pernah adil." Aku menjawab dengan tak bersemangat.

***

Aku menatap lawanku, yang sedang berdiri dengan begitu penuh percaya diri, didepanku, Jalinov Karogan nampak seperti pemuda normal pada umumnya. Hanya saja tatapannya yang setajam pedang Tenghen, memang cukup mampu menggetarkan nyali. Dia tak membawa tongkat sihir, juga tak mengenakan gelang alcatran seperti yang mengikat tangan kananku semenjak aku masih bayi, alih-alih Jaliov membawa dua bilah pedang panjang, yang sekarang tersampir dipunggungnya.

Tak seperti orang Greogori pada umumnya, Jalinov memiliki kulit kecokelatan akibat terbakar matahari, dengan potongan rambut aneh, dengan bagian samping kanan, dan kiri dicukur sampai habis, dan bagian tengah dibiarkan memanjang sampai dikuncir kuda kebelakang. Jalinov mengenakan pakaian tak berlengan, yang menampakan dengan jelas, luka-luka yang didapatkannya dari pertandingan yang dilakoninya sebelum ini.

Pemuda ini sangat ajaib. Aku membatin. Dia telah mengarungi tiga puluh pertandingan lebih, tak terbunuh dan masih mampu berdiri dengan tegak.

"Kau seharusnya melihat ekspresi diwajahmu sekarang." Jalinov berkata dalam bahasa Tenghen yang tak beraksen, sambil tersenyum menghina, dan berkacak pinggang.

"Kau boleh mengenalkan adikmu denganku. Dia pasti mabuk kepayang seketika."

Jalinov meludah.

Sekarang, aku yang tersenyum.

Sudah berapa kaya Si Jalinov ini? Mungkin, setelah memenangkan begitu banyak pertandingan, dia sudah cukup kaya raya, dengan memiliki rumah dibukit, dan kapal berukuran sedang untuk berlibur ke negeri seberang, dengan cukup banyak simpanan uang yang dapat menggaet gadis manapun yang dia suka.

Lalu, kenapa dia masih terus bertarung? Apakah karena kebanggan, dan kepercayaan diri yang berlebihan? Yang membuatnya terus bertarung, sampai akhirnya dia melupakan batas kemampuannya sendiri, dan membuat dirinya sendiri terbunuh.

Apakah, aku akan menjadi sepertinya nanti? Jika aku berhasil memenangkan pertandingan ini?

Pikirkan saja nanti.

Yang penting, jangan mati dulu malam ini.

***

"Pertandingan dimulaiiiiiiiiiiiiiiiii!" Seru Bentara.

Seketika sorakan ribuan penonton terasa memekakan telinga, hingga rasa-rasanya jika aku berhasil bertahan hidup malam ini, mungkin aku akan menjalani sisa hidupku, dengan telinga tuli.

Di detik pertama, Jalinov langsung menyerangku dengan keinginan membunuh yang tampak jelas, di setiap tebasan pedangnya. Aku tak diperbolehkan membawa pedang, atau benda apapun yang bisa dijadikan senjata. Karena sebagai alcatran, gelang yang mengikat pergelangan tanganku yang kudapat semenjak masih bayi ini, sudah mereka anggap sebagai senjata yang layak.

Aku langsung mengambil, dan mengendalikan semua air yang berada dalam jangkauan mataku, dan menyemprotkannya ke wajah Jalinov dengan aliran air yang sangat deras, sehingga mampu membuatnya mundur beberapa langkah, lalu kubasashi tanah yang dia pijak, sehingga menjadi lumpur, dan menyedotnya kedalam tanah, sampai dia tenggelam hingga kepaha. Hal itu memperlambatnya, tapi tak menghentikannya sama sekali.

Pertandingan terus berjalan, hingga mungkin sepuluh menit telah berlalu. Baik aku, ataupun Jalinov sama-sama telah memiliki luka diberbagai tempat ditubuh. Walaupun, mungkin luka yang dialami Jalinov adalah luka organ dalam, akibat paru-parunya yang dimasuki cukup banyak air, yang sekarang membuat napasnya terus terengah-engah. Meskipun begitu keadaanku juga tak lebih baik, akibat luka tebas menyakitkan, yang setiap detiknya terus mengucurkan darah.

"Jika kau cukup gila, untuk melawan Jalinov malam ini. Jangan menggunakan kekuatan itu terlalu cepat, atau Thaga akan mencidukmu, setelah menyadari apa yang terjadi." Ucap Pak Fitz, beberapa menit sebelum pertandingan dimulai.

"Thaga menonton pertandingan kematian?" Tanyaku setengah geli, setengah tak percaya.

Thaga adalah pasukan khusus Tenghen, yang terdiri dari para petarung berpedang, penyihir, dan juga alcatran. Kebanyakan dari mereka telah dibesarkan untuk itu. Hampir seluruh anggota Thaga berasal dari keluarga bangsawan, yang setidaknya mengirimkan satu anggota keluarganya, disetiap generasi. Tugas Thaga hanya satu, yaitu menangkapi para kriminal yang berada di Tenghen, dan mengantarkannya untuk menemui algojo raja.

"Kalau Dewan Kota saja berkunjung ke rumah bordil. Jadi, kenapa tidak?"

"Tapi, tentu saja, mereka tak sedang bertugas."

"Dan, jika mereka melihat shenta didepan mata mereka. Kau kira apa yang akan mereka lakukan? Apakah berkata 'Oh, malam ini bukan waktuku bertugas, jadi biarkan saja.' Hmm?"

"Entahlah." Jawabku pasrah.

Aku sekarang sedang berada difase kehidupan, dimana aku merasa lelah terhadap semua hal. Semua yang pernah kulakukan tak pernah membawa hasil yang baik, dan hanya membuang-buang waktu saja. Jadi, terserah, sekarang aku pasrah, meletakan nyawa dan hidupku kepada Tuhan yang berada diatas langit.

Sekarang, aku seperti daun yang jatuh dialiran sungai yang deras, hanya mengikuti.

"Aku memang telah dikutuk, dengan berubah mejadi Shenta."

Mata Pak Fitz menyipit menatapku, tapi dia tak mengatakan apapun.

Shenta adalah alcatran yang kekuatannya berubah menjadi lebih mengerikan. Seperti diriku, seorang alcatran air, yang seharusnya hanya dapat mengendalikan air yang berada disekitarnya saja. Tapi, karena aku berubah menjadi shenta, sekarang aku juga dapat mengendalikan alirah darah ditubuh manusia, mempercepatnya, atau menghentikannya untuk membunuhnya.

Sekarang, shenta diburu, dan dibunuhi diseluruh negeri. Mereka dianggap terlalu berbahaya, untuk hidup ditengah-tengah masyarakat, karena kemampuan sihir mereka yang berada diluar batas nalar manusia.

Jadi, karena alasan itulah, aku harus pergi dari negeri ini sebelum umurku mencapai dua puluh tahun, yang akan terjadi seminggu lagi. Karena di usia itu, akan diadakan Ujian Kesucian Sihir, bagi setiap alcatran yang berada di Tenghen. Ujian yang akan yang membuat mereka tahu, apakah kekuatan alcatran yang dimiliki seseorang adalah kekuatan sihir normal yang mengalir dalam darah, ataukah sihir hitam yang tak dapat dimengerti mereka, yang sekarang disebut dengan shenta. Dan, jika jawabannya adalah yang kedua, maka alcataran malang itu akan dikirim untuk menemui algojo raja

Jadi, tak ada bedanya, aku mati malam ini, atau saat usiaku dua puluh tahun nanti. Aku menemui jalan buntu, dan satu-satunya cara untuk menembus jalan buntu itu adalah membunuh Jalinov.

Jadi. Aku akan melakukannya. Aku membuat tameng air, yang mengunci Jalinov dan aku didalam.

"Ingin mati?" Tanyanya meremehkan, sambil memandang dinding air yang mengelilingi kami berdua.

"Tidak." Jawabku, lalu aku meraih, dan mengendalikan darahnya.

***

Setelah aku menurunkan dinding airku, seketika seluruh penonton sunyi senyap, saat melihat yang ada didepan mereka. Aku masih berdiri, dan hidup, walaupun terluka parah. Sedangkan, Jalinov terkapar ditanah, dengan pandangan mata kosong, menatap atap-atap tinggi arena.

Kejadian hening itu terjadi cukup lama, menegangkan, dan terasa aneh, sampai ada beberapa puluh penonton yang bersorak atas kemenanganku. Kebanyakan dari mereka adalah teman-teman Pak Fitz yang tahu kalau aku adalah shenta, tapi tak melaporkannya pada Thaga. Sehingga sudah jelas, kalau mereka mempertaruhkan uang mereka, untuk kemenanganku.

Sedangkan, sekarang didalam dadaku, timbul rasa ngeri yang semakin menjadi-jadi saat aku menyadari bahwa diriku baru saja merenggut nyawa satu orang. Pemuda yang sama sepertiku, yang lahir dikeadaan yang salah, yang diperkenalkan akan kerasnya hidup semenjak usia belia.

"Dunia ini yang salah, dunia yang memberlakukan hukum rimba." Itu adalah salah-satu perkataan Lugar yang sangat terkenal. Dia adalah alcatran air sepertiku, yang mencapai usia dua puluh tahunnya, sepuluh tahun yang lalu.

Yang membedakan aku dengan Lugar ialah, Lugar menyadari kalau dirinya berubah menjadi shenta, dan sama sekali tak menolak akan fakta itu. Pada usianya yang ketujuh belas, dia berhasil kabur dari Tenghen dengan menumpang kapal nelayan yang hendak pergi menuju ke Boyanska.

Beberapa tahun berselang, kelompok kriminal paling brutal muncul di Tenghen, yang mengatasnamakan dirinya Darah Hitam. Kelompok yang berhasil membunuh Raja Lun Ren diatas ranjangnya sendiri.

Dan, pemimpin kelompok itu adalah Lugar.

Kalian membunuh kami, karena kami berbeda.

Sekarang, bagaimana kalau kami membunuh kalian, untuk membalas dendam

Lugar Dragomir

Darah Hitam

Itu, adalah surat yang terletak disebelah jasad Raja Lun Ren, saat dia ditemukan tewas oleh pelayannya.

Semenjak itu, sering terjadi pembunuhan misterius yang terjadi pada pejabat-pejabat kerajaan. Dan sejauh ini, hanya ada satu anggota Darah Hitam yang tertangkap, pemuda yang bunuh diri seketika, dengan meneggak racun yang tersembunyi dalam giginya, agar tak ada informasi mengenai Darah Hitam yang bocor.

"Kau menang!" Seru Pak Fitz, dari bangku paling depan. Menyadarkanku dari kehidupan dikepalaku yang terus berkecamuk.

"Ya." Aku mengangguk, merasa sedikit senang.

Kalau aku tak membunuhnya, Jalinov akan membunuhku. Tak ada pilihan lain, ini adalah pertandingan kematian.

"Kau menang!" Teriak Pak Fitz lagi, dengan raut wajah senang yang nampak sekali dipaksakan. Lalu, aku menyadari kalau kalimat yang sebenarnya ingin ia katakan adalah Bersoraklah, seperti pemenang lain. Jangan termenung, bodoh!

Aku seketika paham, dan ikut bersorak bersama beberapa puluh orang lain.

"Ya!" Jawabku lantang, berteriak. Lalu menyambut sorakan penonton, yang sedang bersuka cita, karena baru saja memenangkan uang taruhannya.

Aku terus berlagak seperti pemenang, bersorak, tersenyum, dan tertawa. Sampai, aku melihat wajah itu. Wajah yang terpahat tanpa emosi, bagaikan patung yang berdiri ditengah dilautan manusia.

Disana, berdiri dengan angkuh, seorang pria, yang selalu menjadi mimpi buruk bagi shenta manapun yang hidup dibumi.

Taseen Lom. Kapten Thaga.

Dan, sekarang dia menatapku. Menatap lurus, kemataku.

Kemudian dia tersenyum.

avataravatar