webnovel

Turbulence

Bandung, 1999

Malam sekitar jam 11, Pak Nata mendadak meminta Uge membawa barang-barang penting dan berangkat bersamanya ke Jakarta untuk tinggal di sana sementara.

Di jalan Setiabudi, Bandung, Pak Nata menunggu Uge sendirian tanpa sopir pribadinya, sehingga Uge menawarkan diri untuk menyetir mobil Pak Nata.

"Pak Deden supir bapak, lagi cuti?" tanya Uge sambil menjalankan mobil.

"Bapak pecat. Dia itu udah dibayar jadi mata-mata koruptor yang kasusnya lagi Bapak usut."

"Astaghfirullahaladzim. Mang Asep?" tanya Uge kuatir.

"Mang Asep udah ikut Bapak sejak lama, Insya Allah bisa dipercaya. Dia udah jalan duluan tadi pagi, bawa Ibu sama Widi ngungsi ke tempat yang tadi Bapak bilang."

"Ngungsi? Keluarga Bapak diteror?"

"Kalo sekedar ancaman dan lemparan batu, kami sekeluarga udah biasa ngadepinnya. Tapi kali ini pelakunya enggak main-main. Sekarang rumah Bapak lagi dibakar."

"Astaghfirullahaladzim."

"Alhamdulillah, untungnya saya seperti sudah dapat firasat. Soal harta bisa dicari, yang penting keluarga aman. Bapak teh manggil Angga mendadak karena mau minta tolong untuk bantu ngejaga. Kebetulan, Widi udah cerita, katanya ternyata kalian udah saling kenal, malah udah sampai merencanakan masa depan, betul?"

"Iya, Pak. Kalo Widi bersedia, insya Allah, Angga segera melamar Widi ke Bapak dan Ibu."

Pak Nata tertawa. "Bapak sama Ibu sebenarnya memang punya niat ngejodohin kalian. Tapi, anak-anak muda jaman sekarang teh, mana mau dijodoh-jodohin, ternyata kalian udah sama-sama serius, ya Bapak dan Ibu tentu merestui. Pesan Bapak buat Angga. Bapak ngerasa belum sempat ngasih bekal cukup ke Widi untuk urusan agama, tolong bantu bimbing Widi, ya."

Uge terlihat sangat senang. "Insya Allah, Pak."

Pak Nata merebahkan jok "Oh, iya. anak buah Angga yang sama-sama pernah tinggal di panti asuhan Ustad Yusuf, siapa namanya?"

"Mas Santoso?"

"Iya, Santoso. Dia itu anak yang jujur dan setia. Kelihatannya, dia yang akan menjaga kamu dan Widi saat kalian sedang kesulitan."

"Betul, Pak. Mas Santoso memang begitu."

"Alhamdulillah, sekarang Bapak sudah ngerasa tenang."

Pak Nata memejamkan mata, tetapi bibirnya bergerak melafazkan zikir. Tak lama kemudian terdengar dengkuran halus.

*****

Jalan tol Jagorawi, 1999

Uge menyetir dengan kecepatan sedang. Diam tanpa ada teman bicara membuatnya mengantuk. Ia berusaha fokus melihat jalan di depan dengan mata terbuka, sehingga tidak berpikir macam-macam pada mobil yang mengikutinya. Ia pikir mobil itu hanya sedang mencari teman seperjalanan agar aman, karena kondisi jalan tol sangat sepi, padahal orang-orang di dalamnya adalah orang suruhan yang ingin meneror Pak Nata.

Uge menambah kecepatan mobilnya agar lebih cepat sampai. Pengemudi mobil belakang mengira sasarannya ingin kabur, sehingga memutuskan bertindak cepat sebelum tertinggal.

Uge melihat dari spion ada mobil yang melaju lebih cepat di belakangnya. Tiba-tiba mobil itu menyalip dan mengerem mendadak. Uge berusaha menghindar agar tidak terjadi benturan, mobilnya malah oleng menuju beton. Bagian depan kiri mobilnya langsung menghantam keras beton itu. Pandangan Uge seketika menjadi gelap.

*****

Uge mulai siuman dari pingsan, tetapi badannya belum bisa bergerak, telinganya menangkap ramai suara, matanya menyipit karena silau oleh kelap-kelip lampu sirene mobil ambulan dan polisi. Para polisi masih berusaha membuka paksa pintu mobil. Uge mencoba mengingat apa yang telah terjadi sambil melihat kondisi dirinya sudah berlumuran darah.

Pak Nata?

Uge menoleh ke samping. Ia terkejut melihat kondisi Pak Nata yang jauh lebih mengenaskan dari dirinya. Uge berusaha mengumpulkan tenaga untuk menolong Pak Nata, tetapi ia tidak mampu banyak bergerak.

Uge hanya bisa memandangi Pak Nata yang ia duga sudah tewas, ia pun menangis karena merasa terhimpit jutaan ton beban rasa bersalah.

Gue udah jadi penyebab meninggalnya Pak Nata dengan kondisi hancur lebur gitu. Terus, gue harus ngomong apa ke Widi? Ya Allah, kenapa takdirku seburuk ini?

Uge berteriak-teriak histeris. "Buat apa selama ini gue sujud! Buat apa! B-buat apa…"

Kemudian bagai orang kesurupan, ia membentur-benturkan kepalanya ke setir mobil hingga pandangannya menjadi gelap lagi.

*****

Rumah Sakit, Jakarta, 1999

Sudah 5 hari Uge berada di kamar rumah sakit. 2 hari pertama Uge terbaring tidak sadarkan diri. Di sebelah Uge, Santoso setia menunggu, sesekali ia membaca Al Qurán kecil di tangannya.

Menurut dokter kondisi fisik Uge akan segera membaik. Sayangnya kondisi kejiwaan Uge mengalami trauma yang harus ditangani serius. Saat Uge siuman, ia sering berteriak sambil memukuli dirinya sendiri, hingga tak sadar diri lagi.

2 hari berikutnya, Uge sudah bisa tenang, ia juga sudah mulai mau bicara pada Profesor Fikri, ahli kejiwaan yang menanganinya.

Santoso telah menyerahkan urusan kantor pada rekan-rekan kerjanya yang lain. Ia merasa kehadirannya lebih dibutuhkan Uge ketimbang kantor.

Santoso menutup Al Qurán yang dibacanya, ia mendekati Uge yang ternyata telah terbangun mendengarkan bacaan Santoso. Wajahnya terlihat lebih tenang.

"Mas Santoso, gue harus berapa lama lagi di sini?" tanya Uge.

"Angga, kamu masih perlu istirahat sampai bener-bener sembuh." jawab Santoso.

"Mas, tolong juga tanya ke dokter, cuma luka gini aja, kok lama banget di rumah sakit. Gue kan harus ngawasin pembangunan kantor baru kita."

"Nanti saya tanya. Oh iya, aku mau ambil barang-barang kamu yang masih di Bandung, tapi enggak tau alamatnya."

"Bandung? Kenapa bisa ada di Bandung?" tanya Uge heran.

Uge terlihat berusaha mengingat. Tiba-tiba kepalanya jadi pusing, ia mengerang kesakitan.

Santoso memandangi Uge dengan wajah sedih, ia teringat penjelasan Profesor Fikri.

*****

Beberapa hari yang lalu Profesor Fikri bicara pada Santoso di ruangannya.

"Kondisi kejiwaannya masih belum pulih. Kalau bicara kejiwaan bukan berarti gila, ya," ujar Profesor Fikri sambil tersenyum.

"Iya, saya mengerti, Prof," sahut Santoso.

"Kasusnya Pak Erlangga sangat langka. Ia mengalami Amnesia Disosiatif yang dulu dikenal sebagai Amnesia Psikogenik. Ini merupakan gangguan kejiwaan yang ditandai dengan perubahan identitas, memori atau kesadaran pasien. Orang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat berbagai peristiwa penting, bisa juga lupa dengan identitasnya bahkan membentuk identitas baru," ujar Profesor Fikri.

"Astagfirullah. Kecelakaannya sampai berdampak seperti itu, Prof?" tanya Santoso.

"Ada hal traumatik. Dia bisa saja trauma pada kecelakaannya, trauma menyaksikan peristiwa pembunuhan atau trauma karena merasa bersalah pada korban meninggal. Banyak kemungkinan, yang jelas karena trauma," ujar Profesor Fikri.

"Apakah gangguan ini cuma bersifat sementara, Prof?" tanya Santoso.

"Gangguan Amnesia Disosiatif dapat berlangsung cuma beberapa jam, namun dapat pula bertahun-tahun. Semuanya tergantung kesanggupan dia menghadapi kenyataan atas kejadian yang membuatnya trauma itu. Masalahnya, mereka yang terkena gangguan Amnesia Disosiatif, biasanya menjauhi segala hal yang akan membuka memorinya, seperti tempat, barang hingga orang. Oh iya, gangguan ini dapat menghilang dengan tiba-tiba, sama seperti ketika muncul. Kabar baiknya, jika berhasil sembuh, kemungkinan kambuhnya relatif kecil," jawab Profesor Fikri.

"Lalu apakah dia masih bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya, Prof?" tanya Santoso.

"Kasus Amnesia Disosiatif memang unik, hanya memori yang berkaitan dengan kejadian traumatiknya yang hilang. Sedangkan bagian memori yang tidak berhubungan langsung dengan traumanya atau pola kebiasaan dasar, seperti kemampuan membaca, berbicara, dan berbagai keterampilan yang pernah dimiliki tetap berjalan normal," jawab Profesor Fikri.

"Bagaimana cara menangani orang yang terkena Amnesia Disosiatif, Prof?" tanya Santoso.

"Setiap kasus memiliki cara penanganan berbeda. Untuk menangani Pak Erlangga, tentunya kita harus mempelajari kondisinya, agar tahu mana yang terbaik untuk dia. Untuk saat ini, saya menyarankan agar membuatnya merasa tenang saja terlebih dahulu," saran Profesor Fikri.

"Apa yang sebaiknya saya lakukan untuk membuatnya tenang, Prof?" tanya Santoso.

"Jangan terburu-buru memaksa dia mengembalikan memorinya yang hilang, biarkan dia kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa, jika ada sifat barunya yang aneh, itu adalah bentuk pelarian yang tidak ia sadari, untuk menjauhkan diri dari kenangan yang dapat membuatnya trauma. Cari cara agar dia mau berkonsultasi dengan ahli kejiwaan, saya tahu itu tidak mudah, akan terdengar seperti memvonisnya gila kan? Baik, ini saja yang dapat saya sampaikan untuk sementara, Pak Santoso," kata Profesor Fikri.

"Baik Profesor Fikri, terimakasih atas penjelasannya," ujar Santoso, lalu pamit untuk menemani Uge di kamarnya.

*****

"Bandung sialan! Tiap gue coba inget sesuatu yang berhubungan sama kota itu, tiba-tiba muncul darah! Mayat!" omel Uge.

Uge bangkit dari tempat tidur. Santoso ingin memeganginya, tetapi Uge menghalaunya.

"Gue kecelakaan di Bandung, ya?" tanya Uge.

"Di jalan tol."

"Gue doang atau ada orang lain yang kena kecelakaan itu?" tanya Uge.

"Angga, manusia tidak bisa menolak takdir. Umur itu rahasia Allah. Kalau sudah waktunya, mau di mobil, mau di kantor atau di tempat tidur, sama aja."

"Oh, ada yang meninggal, siapa?" tanya Uge.

"Pak Nata," jawab Santoso.

"Siapa itu?" tanya Uge.

"Dia itu…" Santoso ragu menjawab.

"Enggak pentinglah. Mending sekarang lu datengin dokter, bilang, gue mau pulang sekarang juga."

Santoso tampak bimbang. "Angga. Sebaiknya, kita tunggu…"

"Heh, San! Lu denger enggak perintah gue? Makin lama di sini, ditanya ini-itu terus sama dokter, bisa pecah kepala gue! Yang ngerasain sakit itu gue, bukan elu!"

"Baik, Angga," sahut Santoso sambil ingin berlalu.

"Nanti dulu!" tahan Uge.

Santoso menahan langkahnya.

"Selama gue sakit, kayaknya lu juga di sini terus, enggak ngawasin kantor, bener?"

"Betul, Angga. Aku sedang fokus menangani masalah kesehatan kamu."

"Hah? Emang lu dokter? Lu fokus sama bidang lu, urus kantor! San, lu gue ajak karena gue pikir bisa kerja. Fungsi elu apa? Aduh, untung lu temen lama gue."

"Iya, maaf Angga."

"Heh, San! Satu lagi! Mentang-mentang teman, jadi lu enggak bisa sedikit hormat sama gue? Panggil gue, Pak Erlangga!"

Santoso tercengang. "Maaf, baik Pak Erlangga."

"Ya udah, sana, bilang sama dokter, gue mau pulang."

"Baik, Pak Erlangga," sahut Santoso, lalu pergi meninggalkan Uge.

Uge menghampiri cermin, dia pun berkaca sambil memegangi wajahnya. Sejak kapan gue ngebiarin muka gue enggak kerawat gini?

*****

Next chapter