webnovel

Pokok Pangkal Taat dan Maksiat

 Apabila maksiat, syahwat dan kelalaian merupakan sebahagian dari sifat-sifat kemanusiaan yang tidak terpuji, maka hendaklah kita ketahui dimanakah pokok pangkalnya sifat-sifat jelek yang tidak terpuji itu. Untuk ini Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskan dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-35 sebagai berikut:

"Pokok pangkal setiap maksiat, setiap syahwat dan setiap kelalaian ialah ridha terhadap nafsu. Dan pokok pangkal setiap taat, terpelihara diri (dari syahwat) dan bangun (pada taat) yaitu tidakridha anda terhadap n afsu. Demi sesungguhnya jika anda bersahabat dengan orang jahil yang tidak ridha ia terhadap nafsunya adalah lebih baik bagimu daripada bersahabat dengan orang alim yang tunduk ia kepada nafsunya. Maka barang manakah ilmu (yang dapat bermanfaat) bagi orang alim yang ridha ia pada nafsunya, dan barang manakah kejahilan (yang sanggup merusakkan) terhadap si jahil yang tidak ridha ia pada nafsunya."

Demikianlah terjemahan sedikit bebas dari Kalam Hikmah yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary rahimahullah. Untuk mengetahui lebih mendalam makna Kalam Hikmah tersebut, marilah kita uraikan pengertian-pengertia nnya sejalan dengan tulisan-tulisan ahli tasawuf sebagai berikut di bawah ini:

I.

"Pokok pangkal setiap maksiat, setiap syahwat dan setiap kelalaian ialah ridha terhadap nafsu."

Di atas kita temui perkataan maksiat, definisinya ialah:

"Pelanggaran terhadap perintah Allah yang wajib."

Misalnya Allah telah memerintahkan kita mengerjakan sembahyang, puasa dan lain-lain, tetapi kita tidak patuhi; maka tidak menjalankan perintah Allah yang wajib itu disebut maksiat, yakni durhaka kepada perintah Tuhan. 

Apalagi kalau kita tidak mengakui bahwa itu perintah Allah, maka hukumannya bukan hanya sekedar maksiat saja, tetapi itu kufur, yang bersangkutan telah keluar dari agama Islam.

Definisi syahwat ialah:

"Melepaskan keinginan (beserta nafsu) pada mencari sesuatu yang dirasa enak dan lezat."

Jadi yang dimaksud dengan syahwat ialah lepas hati dan perasaan kita dari tanggung jawab terikat pada agama demi memenuhi hawa nafsu pada mencari kesenangan dan kelezatan yang sesuai dengan kehendak dan keinginan berdasarkan ciri khas tabiat kebinatangan. 

Misalnya memuaskan nafsu pada tidur sepuas-puasnya sehingga kita lupa pada kewajiban kita yang harus dikerjakan. Memuaskan nafsu pada seks, sehingga norma-norma keagamaan tidak kita perhatikan lagi dan tenggelamlah kita dalam memperturutkan kehendak syahwat dan nafsu kita. 

Demikianlah pada contoh dan misal-misal lainnya.

Definisi Al-Ghaflatu (kelalaian) ialah:

"Melengahkan segala hak yang disunnatkan dan segala hak yang wajib dengan melepaskan (semua hak-hak itu) serta segala sesuatu yang menimbulkan pada hawa."

Dari definisi Al-Ghaflah ini di mana dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan "Kelalaian", dapatlah kita fahami yaitu: tidak ada perhatian terhadap hak-hak agama, baik yang sifatnya sunnat maupun yang sifatnya wajib. Dan semua hak-hak itu kita anggap sebagai tidak ada saja, karena dorongan hawa nafsu kita yang menimbulkan kita malas beramal dan beribadat, maka hal keadaan ini disebut dengan: Al-Ghaflatu.

Apabila telah kita ketahui arti dari tiap-tiap maksiat, syahwat dan ghaflah, maka kita naik kepada masalah kedua: 

"Dari manakah pokok pangkal tiap-tiap hal keadaan itu?"

Pokok pangkalnya ialah, apabila kita ridha kepada hawa nafsu kita, yakni senang kita kepada kehendak nafsu kita. Tegasnya, keinginan hawa nafsu itu kita turuti atau paling tidak hal keadaannya tidak kita bantah, tetapi kita sesuaikan dengan keinginan-keinginan hawa nafsu. Sedangkan senang atau patuh pada keinginan hawa nafsu adalah menutup segala keaiban-keaiban diri. Pada waktu itulah kita tidak melihat lagi kekurangan-kekurangan diri kita dan semua kejelekan dan keaiban diri, terlihat oleh kita merupakan suatu yang baik dan bukan suatu yang aib. Ridha atau senang menurut kehendak nafsu menunjukkan, bahwa ha! itu telah berjangkit pada diri seseorang manusia. 

Maka untuk mengetahui bahwa ia telah dihinggapi aib itu, dapatlah diketahui dengan tiga tanda: 

1. Kita selalu melihat, bahwa diri kitalah yang benar. Apa yang kita kerjakan, bahkan apa yang kita rencanakan semuanya itu adalah bcnar padahal dasar bertolaknya adalah pada keinginan hawa nafsunya dan bukan karena agama dan kemaslahatan umum.

2. Sayang pada diri dan bukan sayang pada agama dan kepentingan masyarakat. Takut dia, apabila dirinya kekurangan, apabila dirinya jatuh dari kedudukan, apabila dirinya tidak dihargakan orang, sedangkan penghidupannya adalah pada kedudukan dan penghargaan orang itu, maka demi sayangnya pada diri biarlah orang lain teraniaya karena dia.

3. Mentiadakan segala keaiban diri berupa membersihkan dirinya dari keaiban-keaiban dan kekurangan-kekurangan. Tegasnya, menutup segala keaiban-keaiban dirinya, sehingga dia tidak mempunyai kekurangan apa-apa, padahal ia merupakan tong sampah dari semua kejelekan-kejelekan dan sifat-sifat yang tidak terpuji.

Apabila tanda-tanda ini kita dapati pada seorang manusia, maka ketahuilah bahwa padanya itu telah berjangkit suatu penyakit yang berbahaya, yaitu penyakit rela terhadap kepentingan hawa nafsunya. Barangsiapa yang senang ia terhadap nafsunya, rela ia dan dipatuhinya kehendak hawa nafsunya, maka ia menganggap baik kehendak hawa nafsunya itu. Dan tenteramlah hati syaitannya apabila hawa nafsunya berhasil. Bagi orang yang begini, maka berkuasalah terhadap dirinya jiwa kelalaian terhadap Allah s.w.t.

Apabila hatinya telah dikuasai oleh kelalaian kepada Tuhan dan ajaran-ajaran agamanya, maka berpalinglah hatinya dari memperhatikan segala keindahan-keindahan, rahasia-rahasia Tuhan yang turun pada hati. Apabila hati sudah tidak memperhatikan itu lagi, pada waktu itulah timbul kekuatan syahwat yang merajalela dalam hati manusia. Sebab hati tidak sanggup menolaknya dan membasminya, disebabkan hati sudah lumpuh dan lemah, karena telah melalaikan Allah dan ajaran-ajaran agamaNya yang disebabkan karena si hati itu sendiri senang dan ridha pada gelora keinginan syahwat dan nafsu.

Apabila gelora syahwat telah berkuasa dalam hati, maka inilah yang menyebabkan anggota tubuh jatuh terlena tanpa sadar dalam jurang kemaksiatan, bermandikan lumpur maksiat dan bergelimang dengan debu kedurhakaan.

II.

"Dan pokok pangkal setiap taat, terpelihara diri (dari syahwat) bangun hati (pada taat) ialah tidak ridhanya anda terhadap nafsu." 

Definisi Taat ialah:

"Mengakui segala perintah Allah, baik yang wajib atau yang sunnat."

Misalnya, mematuhi perintah sembahyang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh agama, seperti sembahyang Jum'at di hari Jum'at, dan  bukan sembahyang Jum'at di hari minggu, seperti sebahagian orang Amerika yang mengerjakan sembahyang Jum'at pada hari minggu. Misalnya yang sunnat yaitu memakai pici dalam sembahyang, karena dalam sembahyang itu hendaklah bersopan yang sempurna kepada Allah s.w.t. sehingga agak kurang sempurna rasanya apabila shalat tanpa pici, terkecuali memang pada waktunya seperti orang-orang haji dalam mengerjakan shalat. Adapun mematuhi Allah dalam hati, dengan arti berniat baik, juga dapat pahala di sisi Allah s.w.t., sebab kita adalah hambaNya yang beriman kepadaNya (mukmin Muslim).

Definisi Al- 'Iffatu ialah:

"Meninggalkan keburukan-keburukan tiap-tiap sesuatu."

Atau dengan kata lain diartikan juga dengan:

Dari dua pengertian Al-'Iffah ini kita fahami bahwa Al-'Iffah itu maksudnya ialah, menjaga diri kita dari sifat-sifat dan perbuatan yang menjatuhkan moral dan akhlak. Apabila seseorang bersih dari keinginan-keinginan yang tidak baik dan perbuatan-perbuatan rendah yang menjatuhkan moralnya menurut agama, maka orang itu telah ada padanya sifat 'iffah. 

Misalnya saja "seorang ustaz" agama dipelihara dirinya, sehingga tidak makan yang haram dan terpelihara pula dirinya dari hal-hal yang tidak baik, tidak pergi ke Night Club, tidak pakai celana jengki, tidak berdansa-dansi, tetapi gerak-geriknya selalu sihat dan tidak menjatuhkan moralnya, maka sudah ada padanya sifat terpuji, yaitu 'iffah. Demikian pula "seorang pejabat kepala", tidak menganiayai anak buahnya, berlaku adil terhadap bawahannya dan tidak ada perbedaan padanya antara anak buahnya selain pada akhlak dan taqwanya kepada Allah s.w.t. Maka perlakuan pejabat yang demikian sudah disebut dengan 'iffah. 

Demikianlah pada contoh-contoh yang lain yang begitu banyak apabila dikaji tentang sifat 'iffah ini.

Definisi Al-Yaqadhah ialah:

"Masuk ke dalam hadirat Tuhan dan sentiasa memberikan perhatian pada segala sesuatu yang diridhai olehNya."

Maksudnya, hamba yang telah dekat dengan Allah s.w.t. sehingga selain dari Allah tidak menjadi gangguan lagi terhadap hatinya, sebab hatinya sudah demikian menjurus melihat Allah dengan keagungan segala sifat-sifatnya. 

Dengan demikian hatinya selalu bangun pada segala sesuatu yang diridhai olehNya. Apa saja, di mana saja dan kapan saja, asal pada semuanya itu ada keridhaan Allah, di sanalah dia. Maka hati yang selalu sedar dan tidak pernah mati, selalu bangun dan jaga pada segala sesuatu yang diridhai oleh Allah s.w.t. itulah yang disebut dengan Al-Yaqadhah. Maka barangsiapa yang tidak rela terhadap nafsunya, maka ia tidak memandang baik hal keadaan nafsunya dan ia tidak tenteram diam di samping nafsunya itu.

Ketahuilah, bahwa nafsu yang dimaksudkan di sini, di mana kita harus tidak ridha dan tidak tunduk kepadanya ialah nafsu yang dijadikan sebagai ikutan, sebagai imam dan bukan sebagai makmum. Barangsiapa yang bersifat tersebut, maka berarti dia bangun dan bukan tidur. Dia mengetahui dan menjaga jalan-jalan mana yang membahayakan dan jalan-jalan mana pula yang menguntungkan. Dia mengetahui dan menjaga terhadap segala perkembangan yang terjadi atas dirinya, karena itu ia dapat memadamkan api syahwat, sehingga apinya tidak membakar cahaya rohaniahnya. Karena itu, meskipun ada padanya syahwat, tetapi bukanlah syahwat yang mengendalikan dia, bahkan dialah yang berkuasa dan lebih menentukan atas syahwatnya.

Pada waktu itu dipeliharanyalah sekalian apa yang diridhai Allah s.w.t. dan disingkirkannyalah jauh-jauh segala sesuatu yang dilarang oleh Allah. Inilah arti taat dan inilah arti kepatuhan kepada Allah s.w.t. 

Tidak ridha kepada nafsu dalam arti tersebut di atas, di mana nafsu itu mempunyai tanda-tanda yang tak dapat tidak hanya diketahui pula. 

Barangsiapa ada padanya tanda-tanda ini, berarti orang itu menguasai nafsunya, dan bukan nafsunya yang menguasai dia.

Tanda-tanda itu ada tiga macam:

1. Selalu tidak percaya kepada nafsu apa saja yang dikerjakannya. Apabila pada pekerjaan itu masuk campur tangan nafsunya, maka diselidikinya lebih dahulu apakah baik dikerjakannya atau tidak. Kalau akalnya mengatakan baik, karena tidak bertentangan dengan ajaran agama, maka barulah dikerjakannya.

2. Selalu takut kepada akibat-akibat kehendak dan keinginan nafsu. Karena itu hendaklah diperiksa lebih dahulu sampai di mana kemaslahatan pekerjaan kita itu, di mana nafsu itu telah turut campur di dalamnya.

3. Selalu menarik nafsu itu kepada hal-hal yang tidak disenangi nafsu itu sendiri, itulah yang baik pada hakikatnya. Umpamanya saja keinginan nafsunya menganiaya orang, karena di situlah membawa keuntungan yang paling besar, tetapi dia tidak mau mengikuti kehendak nafsunya itu, sebab hal itu dilarang Allah s.w.t. 

Seorang ahli tasawuf bernama Abu Hafas Al-Haddad telah berkata sebagai berikut:

"Barangsiapa yang tidak merasa curiga kepada nafsunya selama waktu atau zaman, dan barangsiapa yang tidak mau bertentangan dengan nafsunya pada semua keadaan, dan barangsiapa yang tidak mau menarik nafsunya pada hal-hal yang dibenci oleh nafsu pada seluruh harinya; maka orang itu tertipu dengan nafsunya."

Barangsiapa yang telah memandang baik sesuatu yang diridhai nafsunya itu, maka sungguh telah membinasakan ia akan dirinya. Dan bagaimanakah baik pada orang berakal, ridha ia kepada nafsunya, padahal yang mulia Nabi Yusuf a.s. putera yang mulia Nabi Ya'kub telah bersabda:

"Dan aku tidaklah membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesunguhnya nafsu itu suka menyuruh kepada yang buruk, kecuali orang yang telah diberi rahmat oleh Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku Pengampun danPenyayang."(Yusuf: 53)

Teranglah bagi kita bahwa manusia tidak sunyi dari nafsu dan tidak mungkin pula melepaskan diri dari nafsu. Karena apabila tidak ada nafsu pada manusia, maka hilanglah kemanusiaannya dan bukanlah dia manusia lagi. 

Tetapi yang dicela oleh agama, yaitu tunduk dan menjadi makanan hawa nafsu. 

Nafsu itu laksana api. Besar api membahayakan, dan apabila secukupnya dan tidak berlebih-lebihan maka akan bermanfaat buat keperluannya. Karena itu manusia untuk menuntun nafsunya tak dapat tidak perlu ada yang membantu, apakah yang membantunya itu saudaranya atau gurunya; tetapi dengan syarat, betul-betul yang bersangkutan dapat mengerti terhadap perkembangan nafsu temannya atau muridnya dan dapat pula memberikan nasihat-nasihat yang berguna agar seseorang itu tidak dihambakan oleh nafsunya. Maka tentu sajalah orang yang membantunya itu harus yang tidak rela pula terhadap nafsunya. 

Dan apabila tidak demikian maka tidak akan mungkin ada perbaikan. Sebab pada adat, tidak mungkin orang sakit dalam penyakit yang sama mengubati seorang pasien tentang penyakitnya. Karena itulah maka guru atau teman yang memberi nasihat buat kita harus lebih baik dari kita. Atau dengan kata lain, penyakitnya tidak separah penyakit kita. Demikianlah pendapat para ahli ilmu tasawuf dalam hal ini.

III.

"Demi sesungguhnya jika anda bersahabat dengan orang jahil yang tidak ridha ia terhadap nafsunya adalah lebih baik bagi anda daripada bersahabat dengan orang alim yang ia tunduk kepada nafsunya."

Meskipun orang itu awam terhadap ilmu agama, tetapi ia tidak dikendalikan oleh hawa nafsunya, maka akhlak tasawuf berfatwa, bahwa bersahabat dan bergaul dengan orang awam itu lebih baik daripada bergaul dengan orang alim, orang yang berpengetahuan tentang agama, tetapi ia tunduk dan patuh menurut keinginan nafsunya.

Orang awam yang tidak mau tunduk kepada keinginan nafsunya yang tidak baik, menurut akhlak tasawuf orang tersebut adalah orang baik. Sebab pada orang itu telah berkumpul padanya tiga sifat utama:

1. Insaf kepada diri. Sebab ia mengetahui dan yakin, bahwa amal ibadat yang diterima oleh Allah s.w.t. ialah yang betul-betul diamalkan semata-mata karena Allah. Karena itu ia jaga betul supaya dirinya tidak dipengaruhi oleh hawa nafsunya.

2. Tidak berlaku sombong terhadap manusia sesamanya. Hal keadaan ini telah begitu mendalam dalam perasaannya, sehingga ia selalu merasa bahwa amal ibadat yang dikerjakannya dalam arti yang luas masih saja dalam kekurangan. Dia tidak menganggap, bahwa amalnya telah baik dan lebih banyak dari amal orang lain. Dengan perasaan yang begini, maka tidak ada jalan bagi nafsunya untuk menonjolkan dirinya.

3. Mencari kebenaran dengan jalan yang benar. Sifat ini mempengaruhi betul kepadanya, sehingga yang menjadi perhatiannya adalah bagaimana ia·dapat beramal dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan tuntunan-tuntunan agama sebagai yang telah dijalani oleh Rasulullah s.a.w., sahabat-sahabat beliau dan para ulama Islam yang salihin.

Di mana saja kebenaran dan kebaikan pada beramal di situlah dia, dan dia berusaha untuk itu melalui jalan-jalan yang benar pula. Karena itulah 

seorang ahli tasawuf bernama 'Ammar r.a. telah berkata: 

"Barangsiapa yang berkumpul padanya tiga macam sifat di atas, berarti ia telah mengumpulkan 

hakikat-hakikat keimanan sebagai berikut:

Pertama, insaf terhadap diri.

Kedua, mengucapkan salam kepada orang yang kenal padanya, dan

Ketiga, berbelanja (kepada kepentingan agama dan masyarakat) 

meskipun ia belum begitu mampu." Syarah Hikmah oleh Syeikh Zarruq, Tahkik Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud–Cs.

Berteman atau bergaul dengan orang yang mempunyai sifat-sifat di atas, membawa kepada tiga sifat terpuji bagi orang-orang yang berteman dengannya. Sifat-sifat itu ialah:

1. Pergaulan itu membawa rahmat. Betapa tidak, sebab kita telah bergaul dengan orang baik, orang yang kuat berpegang pada ajaran agamanya, orang yang tidak dikendalikan oleh hawa nafsunya. Maka hal keadaan ini memindahkan kebaikan orang itu kepada orang yang bergaul dengannya, sebab seseorang itu menurut kenyataan adalah bagaimana menurut agama orang berdekatan dengannya.

2. Tenteram jiwa dari hal-hal yang dapat mengganggu hati, jiwa dan akal dari persoalan-persoalan duniawi yang berpokok pangkal kepada nafsu dan hawa. Maka apabila kita bergaul dengan orang yang betul-betul menjalani ajaran agamanya, maka pembawaan orang itu akan memindah pula pada kita, sehingga kita mendapat kelimpahan kebaikan dari pergaulan yang demikian.

3. Keselamatan duniawi dan agamawi dari hal-hal yang tidak perlu difikirkan. Kita semua maklum, bahwa kita ingin selamat di dunia, yakni jauh dari kita segala sesuatu yang dapat menjatuhkan nama kita, segala sesuatu yang boleh membawa kita pada malapetaka dan segala sesuatu yang sama sekali tidak kita inginkan.

Demikian pula pada agama, semua kita bermaksud supaya kita hidup di bawah naungan agama dan supaya hidup dan kehidupan kita dihayati-oleh moral agama. Untuk ini semua tidak ada jalan bagi kita selain bergaul dengan manusia yang baik-baik, yakni segala orang yang selamat dari gangguan-gangguan akibat bahaya-bahaya. hawa nafsu yang kejam itu.

Dengan pergaulanlah segala keberatan dunia akhirat yang tidak perlu difikirkan itu kita akan selamat daripadanya. Adapun orang yang dapat dikendalikan oleh hawa nafsunya menurut hakikat ilmu tasawuf, orang itu tidak dapat menjauhkan dirinya dari tiga sifat kekejian:

[a] Sifat takabbur. Ini adalah sifat yang keji sekali, karena sifat takabburlah membawa seseorang sehingga matanya buta terhadap kebenaran dan keadilan. Sebab ia merasa bahwa kebenaran yang mutlak adalah pada dia saja dan tidak ada pada orang lain.

[b] Sedikit keinsafan terhadap diri, masyarakat dan agama. Sifat kedua ini membawa seseorang untuk tidak bertanggung jawab terhadap kewajibannya, baik terhadap Tuhan atau terhadap masyarakat. Yang penting bagi dia adalah bagaimana keinginan nafsunya boleh terkabul. 

Dan apabila beramal atau beribadat, maka tidak lebih dari sekedar melepaskan hutang saja terhadap Tuhannya, karena itu dia tidak berusaha supaya amal ibadat yang dikerjakannya itu sebaik-baiknya dan menurut ajaran agama yang sebenar-benarnya.

[c] Selalu berusaha mengepalai dan menguasai sesuatu. Sifat terkeji ini yang banyak kita lihat dalam masyarakat kita. Orang tidak berfikir pada kesanggupan dan tanggung jawab, tetapi lebih banyak manusia itu berfikir bagaimana menguasai sesuatu.

Dengan itu maka banyaklah kesempatan yang diperolehnya, seperti kesempatan pada mendapatkan rezeki dan fasilitas, meskipun orang lain yang lebih patut dari dia ada, tetapi sengaja disisihkan bahkan dianiaya supaya orang yang lebih berpatutan itu jangan sampai mengimbanginya. Inilah yang banyak kejadian dalam masyarakat kita dan dari ini pulalah timbul bermacam-macam fitnah dan serba macam praktik yang tidak menyenangkan dari satu golongan kepada golongan yang lain. Dari sifat-sifat di atas, maka timbullah pula sifat-sifat .keji yang beraneka warna pula apabila kita bergaul dengan orang-orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang tidak mempunyai sifat-sifat yang tidak baik sewajibnyalah bagi diri kita sendiri membatasi dalam pergaulandengan orang-orang itu. Sebab apabila orang-orang itu mempunyai ilmu pengetahuan, maka ilmunya tidak mempunyai arti atau tidak ada artinya selain dari menambah kejahatan dan kekejian kemasyarakatan saja.

Jika orang itu awam, tidak berilmu atau sedikit sekali ilmu pengetahuan dalam dadanya, sedangkan sifat-sifatnya sudah demikian keji dan jahatnya, maka kejahilan orang itu adalah bala atasnya dan atas orang yang bergaul dengannya.

Apabila ia kebetulan seorang pemimpin atau kepala dalam suatu pekerjaan, maka tidak ada manfaatnya orang yang demikian, baik dunianya dalam pergaulan kemasyarakatan atau agamanya untuk dijadikan contoh dan ikutan. Karena itulah seorang alim besar bernama Sahl bin Abdullah r.a. berkata:

"Takutilah bergaul (dengan) tiga macam manusia. Pertama, orang-orang yang mengerti tentang agama (tetapi) selalu berminyak air. Kedua, orang-orang yang beramal tasawuf yang jahil pada ilmu agama. Ketiga, penguasa-penguasa yang lalai (pada agama dan masyarakat)."

Dari perkataan ini dapat kita fahami, bahwa tidak ada artinya kita bergaul dengan orang-orang yang berilmu pengetahuan, tetapi niatnya tidak baik. 

Demikian juga bagi orang-orang yang beramal ibadat, tetapi tidak mau belajar, maka tentulah amal ibadatnya itu tidak disertai dengan ilmu pengetahuan. Dan demikian pulalah penguasa-penguasa yang tidak beragama atau tipissekali agamanya yang tidak memperhatikan masyarakat yang dipimpinnya sebagaimanamenurut ajaran agama dan moral kemanusiaan.

Semua norma dan moral yang berlandaskan keagamaan dankemanusiaan juga keadilan, tidak menjadi perhatiannya. Dalam hal ini akhlak tauhid dan tasawuf mengajarkan kepada kita supaya berhati-hati apabila bergaul dengan mereka. Dan apabila kita tidakmungkin memelihara diri kita dari bahaya-bahaya yang timbul dalam pergaulan, maka seharusnyalah kita meajauhkan diri dari mereka, sebab tidak ada manfaatnya bergaul dengan mereka, selain hanya melibatkan diri kita ke dalam lapangan yang lebih menjauhkan kita lagi, dari agama kita, bahkan juga dari Allah s.w.t. 

Jangan lupa bahwa tujuan pergaulan dengan orang baik ada tiga macam:

1. Dapat nasihat yang bermanfaat.

2. Kasih sayang antara satu dengan lainnya.

3. Bantu-membantu dan tolong-menolong.

Semuanya itu tidak ada pada orang yang lalai, yakni orang yang tunduk dan patuh di bawah keinginan hawa nafsunya.

IV.

"Maka barang manakah ilmu (yang dapat bermanfaat) bagi orang alim yang ridha ia pada nafsunya, dan barang manakah kejahilan (yang sanggup merusakkan) terhadap si jahil yang tidak ridha ia pada nafsunya."

Menurut hakikat tauhid dan tasawuf, bahwa hakikat ilmu yang sebenarnya ialah ilmu yang dapat diamalkan di mana kita dapat dekat dan hampir dengan Allah s.w.t. Dan di samping itu pula ia dapat meletakkan sesuatu pada tempat yang layak dan sesuai.

Apabila ilmu yang kita punyai itu mengandung ciri-ciri khas yang demikian, maka itulah hakikat ilmu yang sebenarnya. Ilmuyang begini tidak didapati, terkecuali pada orang yang tidak mau tunduk ia pada hawa nafsunya. Orang beginilah yang disebut orang berilmu, meskipun ia menurut masyarakat termasuk orang awam, sebab ilmu lahiriah, seperti ilmu Fiqh yang tidak mengandung ciri khas begini, meskipun banyak dalam dada seseorang itu, pada hakikatnya tidak bermanfaat apa-apa buat dirinya. Adapun orang awam menurut hakikat tauhid dan tasawuf ialah orang-orang yang tidak mau dekat dengan Allah s.w.t. dan banyak mengikut yang tidak benar di samping selalu berada dengan sesuatu yang tidak menggantungkan dirinya terhadap agama dan Tuhannya.

Orang begini adalah orang awam, di mana menurut hakikat tauhid dan tasawuf meskipun ia seorang alim besar menurut pandangan ilmu lain, sebab ia orang yang patuh terhadap hawa nafsunya, maka ilmu yang hanyak itu tidak ada artinya, sebab tidak ada manfaatnya kepada dirinya sendiri apalagi kepada orang lain. Karena itulah maka seorang alim besar tasawuf yang bernama Abul 'Abbas Ahmad bin Muhammad Basyruk r.a. (wafat di Baghdad 298 H.) berkata demikian:

"Cukuplah takut kepada Allah merupakan ilmu pengetahuan, dan cukuplah tertipu (dan lalai) pada jalan Allah merupakan kejahilan."

Inilah suatu bukti bagi kita, bahwa taqwa kepada Allah, pada hakikatnya adalah ilmu, tetapi banyak lalai dari jalan Allah adalah merupakan kebodohan yang besar, meskipun diri kita gudang ilmu pengetahuan. Maka bergaul dengan orang berilmu, tetapi ia tunduk kepada nafsunya, sama sekali tidak ada faedah apa-apa, sebab ilmunya yang demikian tidak bermanfaat kepadanya terhadap agamanya dan perbaikan sifat-sifatnya.

Biarlah kita bergaul dengan orang jahil dalam ilmu-ilmu lahiriah, asalkan saja ia tidak tunduk dan patuh pada hawa nafsunya, sebab ini pada hakikatnya sudah merupakan ilmu yang sebenarnya. Kesimpulan:

1. Tunduk dan patuh pada nafsu adalah pokok pangkal kdalaian dan syahwat, di mana daripadanya menimbulkan maksiat-maksiat yang bermacam-macam.

2. Tidak tunduk kepada nafsu, tetapi nafsu itu dapat dikendalikan dan dituntun pada jalan-jalannya yang baik, adalah membangunkan hati dari keinginan syahwat agar ringan mengerjakan taat kepada ajaran-ajaran agama untuk pendekatan diri dan hati pada Allah s.w.t.

3. Bergaul dengan orang jahil, orang awam dan orang bodoh tetapi tidak berkiblat kepada hawa nafsu dan tidak terlibat karenanya adalah lebih bagus dari bergaul dengan orang alim dan orang pandai, tetapi ia menurutkan kehendak hawa nafsunya. Sebab pergaulan itu memindahkan sesuatu sifat tanpa disengaja dari seorang kepada orang lain. 

Apabila orang yang kita gauli itu baik, maka memindahlah kebaikannya itu dan apabila tidak, maka tidak. Berkata sebuah syair:

"Janganlah engkau tanya tentang seseorang dan tanyalah pada temannya, karena setiap teman mengikut ia dengan orang yang ditemaninya. Apabila engkau berada dalam (satu) kaum, maka bertemanlah dengan orang baiknya dan jangan engkau berteman dengan orang yang tidak baik, maka engkau akan binasa serta orang binasa." 

4. Tidak ada manfaat ilmu yang apabila orangnya tunduk pada keinginan hawa nafsunya dan tidak ada merusakkan apa-apa dengan kejahilan dan kebodohan, apabila orangnya tidak mau dikendalikan oleh hawa nafsunya. 

5. Ilmu yang dimaksud di sini ialah ilmu yang membawa taqwa dan hampir diri kepada Allah s.w.t. Selain itu disebut dengan kejahilan dan kebodohan meskipun orangnya mempunyai ilmu yang banyak.

Mudah-mudahan kita sekalian dijadikan oleh Allah s.w.t. dalam golongan hamba-hambaNya yang selalu dituntun olehNya kepada jalan-jalan agamaNya. 

Amin!