webnovel

Martabat Orang-Orang Yang Berjalan Menuju Allah s.w.t.

 Dalam Kalam Hikmah yang lalu, kita telah mengetahui apa yang menjadi ciri khas bagi hamba-hamba Allah yang saleh, tetapi dalam Kalam Hikmah yang ke-31 sekarang, yang mulia Al-Imam lbnu Athaillah Askandary menerangkan mengenai martabat orang-orang yang berjalan kepada Allah s.w.t., sebagai berikut:

"Telah mendapat petunjuk orang-orang yang berjalan kepada Allah s.w.t. dengan nur-nur tawajjuh (menghadap Allah s.w.t.). Dan orang-orang yang telah sampai mereka itu (kepada bermusyahadah terhadap Allah s.w.t.) bagi mereka didapatkan nur-nur saling berhadapan (antara mereka dengan Allah). Maka mereka yang pertama tadi adalah untuk nur-nur, sedangkan mereka ini (Al-Waashiluun) adalah nur-nur itu buat mereka, karena bahwasanya mereka ini ialah karena Allah, bukan karena sesuatu selainNya. Katakanlah, Allah yang menurunkan Kitab-kitab itu kemudian biarkanlah mereka bermain-main di dalam kesesatan."

Kalam Hikmah ini nampaknya agak sulit pengertiannya, sungguhpun demikian kita ingin mencuba sampai di mana pengertiannya menurut uraian dan syarahan ulama-ulama tasawuf.

I.

"Telah mendapat petunjuk hamba-hamba Allah yang berjalan kepada Allah dengan (mendapat) cahaya-cahaya tawajjuh (menghadap Allah s.w.t.)."

Maksudnya, apabila kita tetap selalu mengerjakan amal ibadat, yakni mengerjakan segala perintah-perintah Allah s.w.t., menjalankan anjuran-anjuranNya dan menjauhkan segala larangan-laranganNya, termasuk hal-hal yang kurang baik seperti yang makruh. Dan di samping itu kita bermujahadah, 

beriyadhah, yakni sabar dan menahan diri dari sekalian yang bertentangan dengan pelaksanaan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-laranganNya. Apabila keadaan di atas kita amalkan, Insya Allah s.w.t. kita mendapat petunjuk daripadaNya. Misalnya seperti perintah sembahyang, puasa dan lain-lainnya, kita jalankan semuanya itu meskipun kita sakit, dan bermacam-macam godaan iblis, syaitan dan hawa nafau, namun hati kita tetap kuat dan kita tetap menjalankan ibadat-ibadat tersebut. Dan kita dalam mengerjakan amal ibadat itu di samping memerangi godaan hawa nafsu dan iblis, namun kita tetap tekun pada menjalankannya, maka barulah Allah s.w.t. memberikan kepada kita cahaya-cahaya, nur-nur yang dilimpahkanNya pada matahati dan anggota-anggota tubuh kita. Dengan berkah nur-nur dan cahaya-cahaya ibadat itu menirnbulkan pada penglihatan mata di rnana ditunjuki Allah, sehingga hal-hal yang tidak baik, benci hati kita melihatnya. Demikian juga pada pendengaran, dengan berkat cahaya-cahaya itu menyebabkan kita tidak mau mendengar hal-hal yang tidak baik atau yang bersifat fitnah dan lain-lain. Demikian pula pada tangan kita, pada kaki kita dan anggota-anggota tubuh yang lain. Hati kita memberikan komando untuk mengerjakan yang baik-baik saja dan tidak terjatuh amal perbuatan lahiriah kita kepada yang tidak diridhai Allah s.w.t. Apabila Allah s.w.t. telah menganugerahi nur-nur yang demikian itu kepada kita, berarti kita telah dapat petunjuk daripadaNya. 

Insya Allah perjalanan kita kepada Allah s.w.t. dengan amal ibadat seperti tersebut di atas akan selamat dan akan aman kita dalam mengejar cita-cita kita, yaitu mendekatkan diri dengan Allah s.w.t.

II.

"Orang yang sampai cita-citanya, buat mereka adalah nur-nur Al-Muwaajahah (saling berhadapan antara hamba dengan Allah s.w.t.).

Keterangan ini menunjukkan kepada kita martabat kedua atau terakhir bagi hamba-hamba Allah yang saleh. Mereka ini telah sampai pada cita-citanya meskipun mereka tidak mengetahui sama sekali, bahwa mereka telah sampai pada cita-cira. Mereka ini telah mendapat secara langsung taufiq Tuhan dan ilhamNya sehingga rnereka telah melihat kepastian dan ketetapan Allah, bahwa mereka sebagai waliNya dan sebagai hamba-hambaNya yang terpilih dari sekian banyak makhluk manusia. Apabila mereka dalam martabat Al-Waashiluun di atas, masih dalam perjalanan, yakni perjalanan di dalam alam khayal dan samar-samar, tetapi Alhamdulillah, cahaya amal ibadat mereka menjadi lampu bagi mereka sehingga mereka tidak rebah bertarung dengan cubaan Allah, yang apabila Allah tidak memberi petunjuk pada mereka, maka cubaan tersebut akan menjadi batu-batu penarung dalam perjalanan mereka. 

Mereka terus berjalan, bagaimana agar hilang pada mereka keraguan-keraguan akibat pengaruh dunia yang beraneka warna itu. Tetapi bagi orang-orang yang disebut dengan Al-Waashiluuna, segala khayal dan ragu-ragu telah hilang dari hati dan perasaan mereka. Mereka betul-betul mendapatkan ilmu ketuhanan yang mendalam dan mereka telah mendapatkan keyakinan yang mendalam pula, sehingga mereka kenal kepada alam dengan Allah dan bukan kenal Allah dengan alam. Karena ilmu dan yakin yang telah demikian mendalam pada hati dan perasaan mereka inilah yang menyebabkan, bahwa setiap saat mereka melihat Allah s.w.t. yang tidak seumpama dengan sesuatu. Apabila mereka selalu mujahadah kepada Allah, maka nur-nur atau cahaya-cahaya yang datang daripadaNya, melimpah kepada mereka. Betapa tidak, apabila hati dan perasaan mereka telah menjurus kepada Allah, sehingga apa pun saja yang mereka lihat dan mereka pegang mereka teringat kepada Allah. Maka tentulah Allah akan memberikan cahayaNya kepada orang-orang tersebut. Cahaya Allah dan bukan cahaya amal ibadat,dan sungguh berbeda antara kedua cahaya itu. Cahaya ibadat, artinya tenang dan tenteram jiwa dengan sebab ibadat-ibadat yang kita kerjakan. Cahaya Allah, maksudnya ilhamNya. 

Hal keadaan ini datang karena berkat ilmu dan yakin sehingga hatinya tidak ada pada alam semesta ini, tetapi hanyalah terarah kepada Allah s.w.t. 

Inilah salahsatu maksud yang difahami ahli tasawuf dari firman Allah:

"Barangsiapa yang tiada diberi Allah cahaya, maka pastilah ia tiada mendapatkan cahaya." (An-Nur: 40)

Apakah perbedaan cahaya yang diberikan oleh Allah antara hambaNya yang raahiluun dengan hambaNya yang waashiluun? Perhatikanlah keterangan-keterangan selanjutnya!

III.

"Maka orang yang pada tingkat pertama adalah karena anwar (cahaya), sedangkan mereka ini (yang dalam tingkatan kedua) anwar (cahaya), adalah untuk mereka."

Di sini jelaslah perbedaannya antara raahiluun dan waashiluun. Ar-Raahiluun, mereka melaksanakan segala amal ibadat itu dengan maksud mudah-mudahan Allah s.w.t. memberikan cahaya petunjuk, di mana dengannya mereka sampai kepada cita-cita mereka, yaitu menghampirkan diri kepada Allah s.w.t. Karena itu mereka perlu kepada cahaya petunjuk dan taufiq Allah demi untuk maksud di atas. Apabila mereka tidak mendapatkan cahaya-cahaya itu, mereka susah dan gundah, seolah-olah mereka putus asa, karena pegangan yang terkuat untuk sampai kepada maksud dan cita-cita belum mereka dapatkan atau sudah mereka dapatkan, tetapi putus kembali.

Adapun Al-Waashiluun, mereka itu telah sampai kepada maksud menurut pandangan orang lain, walaupun mereka mengatakan, masih jauh dari sempurna, yang penting pada mereka adalah Allah. Selain dari Allah tidak mereka lihat, meskipun mereka melihatnya. Mereka cukup dengan Allah dan tidak memerlukan selain daripadaNya. Apabila mereka memerlukan selain Allah, meskipun itu cahaya petunjukNya, berarti menurut mereka menjadi hamba cahaya dan bukan menjadi hamba Allah. Walaupun mereka telah mendapatkan cahaya petunjuk yang timbul dari amal ibadah mcreka, namun hati mereka tertuju langsung kepada Allah. Dan karena inilah Allah memberikan cahayaNya kepada mereka itu. lnilah menurut tafsir tasawuf dari firman Allah s.w.t. dalam surat An-Nur:

"Allah memberi cahaya langit dan bumi. Umpama cahayaNya (kepada orang yang beriman) seperti sebuah lubang di dinding rumah, di dalamnya pelita. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu kelihatan laksana bintang yang berkilau-kilauan di langit. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya (yaitu) pohon zaitun, yang tiada tumbuh di timur, tiada pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi meskipun tiada disentuh api. Cahaya atas cahaya. Allah menunjuki orang-orang yang dikehendakiNya kepada cahayaNya itu. Allah menunjukkan beberapa perumpamaan bagi manusia dan Allah mengetahui tiap-tiap sesuatu." (An-Nur: 35)

Dari ayat ini dapat difahami bahwa:

1. Sumber cahaya, baik di langit atau di bumi adalah dari Allah s.w.t.

2. Orang yang beriman kepada Allah dcngan arti yang luas dan mendalam, Dia akan memberikan cahayaNya kepada orang tersebut.

3. Cahaya yang diberikanNya kepada orang Al-Waashiluuna telah dikiaskan oleh Allah laksana sebuah lubang di dinding rumah (misykah). Di dalam lubang itu ada pelita, pelita itu ada di dalam kaca dan kaca itu kelihatan laksana bintang yang kilau-kemilau. Pelita itu dinyalakan dengan minyak zaitun yang berkat dan hanya zaitun itu tiada tumbuh di timur dan tiadatumbuh di barat. Dan karena minyak pelita itu sangat jernih, sehingga karena kejernihannya, rasa-rasanya minyak itu bercahaya pula dengan sendirinya, meskipun minyak itu tiada disentuh api.

Arti kiasan contoh ini ialah, apabila Allah s.w.t. telah memberikan cahayaNya kepada orang yang beriman, berarti hatinya adalah laksana suatu lubang di mana di dalamnya ada lampu. Dengan cahaya lampu hatinya itu, makin terbukalah matahatinya, yaitu melihat yang benar dan matahatinya dapat membedakan antara yang benar dengan yang tidak benar. Apabila matahatinya sudah dapat membedakan antara yang benar dan yang tidak benar, maka berarti ia mendapat petunjuk dari Allah. Dan oleh karena lampu itu minyaknya dari kayu yang tidak tumbuh di barat dan tidak tumbuh di timur, dan saking bersihnya minyak lampu itu, maka seolah-olah terjadi pula cahayanya pada minyak itu sendiri meskipun ia tidak disentuh api. Maka demikian pulalah hati yang sudah mendapat petunjuk Tuhan. ApabiLt hati itu terus saja berjalan menuju Allah, maka pada suatu waktu ia akan dekat kepada Allah, ia akan melihat Allah yang tidak serupa dengan sesuatu dengan mata kepala sendiri, dan dengan hati serta perasaannya.

Pada waktu itu ia dekat dengan Allah, ia hampir denganNya. Dekat dan hampir tidak mempunyai antara, dekat dan hampir yang tidak dapat digambarkan. Pada waktu itu pula ia langsung mendapat limpahan nur dan cahaya Allah s.w.t. la menghadap Allah, ia melihat Allah dan ia berdialog dengan Allah. Apakah dialog itu dengan lidahnya yang bertutur, atau hatinya yang berkata-kata, tetapi seluruh perasaannya, jasmaniah dan rohaniahnya berhadapan dengan Allah yang tiada umpama dengan sesuatu pun. Karena itu memantul nur Allah kepadanya, sehingga matahatinya terbuka dengan lebar, dengan sebab curahan taufiq dan hidayah serta ilham dari Allah s.w.t.

Apabila ia seorang Nabi dan Rasul, maka Allah menurunkan wahyu kepadanya, dan apabila ia bukan seorang Nabi dan Rasul, maka anugerah Allah padanya ialah taufiq, hidayah dan ilham. Inilah yang dimaksud dengan cahaya dan ini adalah ditentukan Allah kepada hamba-hamba pilihanNya. 

Dan dcmikianlah contoh dan kiasan diberikan Allah tentang nur dan cahaya pada hamba-hambaNya yang saleh.

IV.

"Karena bahwasanya mereka itu (dalam segala hal) karena Allah, bukan karena sesuatu selainnya."

Inilah kelebihan utama bagi Al-Waashiluun, orang-orang yang telah sampai kepada Allah s.w.t.

Berkata Imam Termidzi r.a., bahwa hati itu terbagi kepada enam:

1. Hati yang hidup, yaitu hati yang penuh dengan iman.

2. Hati yang mati, yaitu hati yang kufur kepada Allah dan kepada nikmat-nikmatNya.

3. Hati yang sihat, yaitu hati yang taat kepada Allah.

4. Hati yang sakit, yaitu hati yang tidak luput dari maksiat dan durhaka.

5. Hati yang bagus, yaitu hati yang selalu mengingat Allah.

6. Hati yang tidur, yaitu hati yang banyak lalai kepada Allah s.w.t.

Orang-orang yang telah sampai kepada Allah dan mercka mendapatkan cahaya Allah, ialah mereka yang hatinya hidup, sihat dan bangun. Karena itulah maka tidak diragukan lagi bahwa mereka tetap bertolak dalam segala sesuatu karena Allah. Dan karena itu pula menimbulkan tidak ada perhatian kepada apa saja yang terjadi pada diri mereka, seolah-olah mereka dengan Allah dapat disamakan seperti bayi dengan ibunya. Apa kehendak ibunya terhadap bayi, maka demikian pulalah antara mereka dengan Allah. Mereka tidakgila, tidak sakit, tidak pusing dan lain-lain, tetapi mereka seperti orang lain juga, mempunyai aka] yang waras dan lain-lain sebagainya. Mereka manusia biasa, tetapi manusia yang mempunyai nilai-nilai yang tinggi laksana permata. Permata adalah sama dengan batu biasa tentang sama-sama batu, tetapi permata adalah permata dan bukan seperti batu biasa. Demikianlah antara kiasan mereka dengan manusia-manusia lainnya.

V.

"Katakanlah! Allah (yang menurunkan kitab itu), kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan." (A l-An'am: 91) 

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary sengaja mencantumkan ayat ini pada akhir rumusan di atas untuk menunjukkan, bahwa tingkatan-tingkatan para hamba Allah dan cahaya yang dikurniakan Allah kepada mereka adalah betul-betul fakta kenyataan. Bukan khayalan dan bukan fatamorgana semata-mata. Tidak, sekali-kali tidak. Barangsiapa yang tidak mengakui adanya fakta itu berarti ia tidak mengakui adanya Rasul-rasul dan Nabi-nabi serta hamba-hamba Allah yang saleh. Dan barangsiapa yang mendustakan ajaran ini, janganlah ngomong dengan mereka. Biarkanlah mereka bermain-main dengan permainan yang sesat dan menyesatkan, sebagaimana firman Allah s.w.t. di atas.

Kesimpulan:

Itulah martabat hamba-hamba Allah yang saleh. Koreksilah diri sendiri, apakah kita termasuk dalam jamaah mereka atau belum. Apabila kita ingin masuk, beramallah dan berjihadlah. Dan lawanlah segala musuh dan iblis, hawa dan nafsu. Semoga kita dapat mengikuti jalan mereka dan jangan sekali-kali menyalahkan mereka.

Dalam zaman sekarang ini ada sebahagian orang yang telah menyalahkan mereka, tetapi alangkah sesatnya orang yang telah menyalahkan itu. Sebab mereka bertolak dari tak kenal maka tak cinta dan bukan kenal dahulu dan barulah mengambil suatu keputusan. Mereka hanya pandai menyalahkan saja, tetapi mereka tidak mengerti apa yang telah ditulis oleh mereka. Apabila disodorkan kitab Al-Hikam karangan Ibnu Athaillah kepada mereka, mereka tidak faham artinya. Mereka tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kandungan dalam kalam-kalam hikmahnya. Karena itu janganlah kita berani menyalahkan orang, sebelum kita mengetahui hakikat tujuan pendapat orang itu. 

Mudah-mudahan Allah s.w.t. akan memelihara kita dari kesesatan orang-orang yang ingin mencari kebersihanajaran Islam dengan faham-faham yang sesat menyesatkan. Mereka menyalahkan ulama-ulama besar tasawuf dan seolah-olah Islam yang murni adalah pada mereka saja, selain mereka manusia sesat semuanya.

Inilah salah satu faham bid'ah yang telah keluar dari ajaran wahabi. Tetapi ketahuilah bahwa ajaran wahabi itu di negara-negara Islam yang telah maju ilmu pengetahuan agamanya sudah hampir hilang, selain yang masih kita temui di mana masih diamalkan dan disiarkan dengan gigih oleh sebagian orang-orang Islam di negeri ini.

Berlindunglah kita kepada Allah dari kesesatan ini.

Amin!