webnovel

Keagungan Allah s.w.t.

 

Dalam hal ini berkata yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary:

"Sebagai menunjukkan pada anda atas ada keperkasaanNya (Allah s.w.t.) yang Maha Suci ialah bahwasanya Ia mendinding anda daripadaNya dengan sesuatu (yang pada hakikatnya) tidak ada wujudnya sertaNya Allah s.w.t."

Penjelasan Kalam Hikmah yang ke-15 ini sebagai berikut:

I. Telah sepakat pendapat ulama 'Arifin dan Muhaqqiqin, yakni para ulama Islam yang ilmu mereka dalam akhlak Tasawuf dan Ketuhanan luas dan mendalam, bahkan disertai pula dengan perasaan mereka sendiri bahwa sesuatu selain Allah s.w.t. pada hakikatnya tidak ada. Semuanya itu tidak dapat dikatakan ada sebagaimana adaNya Allah s.w.t. Sebab barangsiapa yang berpendapat bahwasanya alam ini bersifat ada seperti adanya sifat Allah s.w.t., maka berarti ia telah musyrik, memperserikatkan Allah s.w.t. dengan lainnya. Dan adalah bertentangan dengan hakikat Tauhid yang suci murni.

Atas inilah firman Allah Ta'ala dalam Al-Quran:

"Dan janganlah kamu seru Tuhan yang lain di samping Allah. Tidak ada Tuhan selain daripadaNya. Segala sesuatu akan binasa selain DiaNya Allah s.w.t. Hukum kekuasaan itu kepunyaan Allah dan kepadaNya kamu akan dikembalikan." (Al-Qashash: 88)

Teranglah dengan ayat ini bahwa yang bersifat ada pada hakikatnya dan sebenarnya adalah Allah s.w.t. Selain daripada Allah meskipun kita lihat adanya, tetapi adalah menurut pandangan lahiriah semata-mata. Karena segala-galanya yang terjadi pada selain Allah adalah dengan kehendakNya menurut ilmuNya dan dengan kekuasaanNya.

Dan pada satu waktu semua selain Allah akan tiada dan akan binasa.

Berkata penyair:

"Ketahuilah! Segala sesuatu selain Allah adalah batil (tidak ada pada hakikatnya). Dan sesuatu nikmat tidak mustahil akan hilang (pada waktunya)."

II. Hamba-hamba Allah yang 'Arifin dan Muhaqqiqin tidak melihat adanya selain Allah s.w.t. Sebab dalam hati dan perasaan mereka telah begitu tebal keyakinan dan aqidah tentang Allah s.w.t. tidak perlu selainNya. Tetapi segala-galanya itu adalah dari Allah s.w.t. yang Maha Cukup dengan DzatNya dan sifat-sifatNya. Dia adalah Qadim, adaNya tidak berpermulaan, dan lagi kekal selama-lamanya.

Berkata Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily r.a.: Bahwasanya kita melihat Allah s.w.t. adalah dengan penglihatan iman dan yakin.

Oleh sebab itu, tidak perlu lagi bagi kita dalil dan burhan yang menunjukkan ujudnya Allah. Bahkan Allah yang kita lihat adalah dalil atas makhluk-makhlukNya. Adakah (pada hakikatnya) sesuatu yang maujud di dalam alam ini sdain dari Allah yang Maha Esa lagi Maha Benar? Andainya, jikalau ada maka tak dapat tidak kita akan melihat semuanya itu (selain Allah) laksana debu yang beterbangan di udara, sekalipun jika anda cari semuanya itu pada hakikatnya anda tidak memperolehnya.

Inilah maksud perkataan dari sebagian ulama Muwahhidin Mutashauwifin:

"Jikalau aku dipaksa melihat selain Allah, niseaya aku tidak sanggup, karena tidak ada sesuatu yang lain beserta Allah sehingga aku melihatnya serta Allah."

Maksudnya, demikianlah apabila aqidah Tauhid telah begitu mendalam, maka meskipun mata kita melihat segala sesuatu dalam alam ini, tetapi Allah yang selalu terlihat oleh kita dan tidak lain.

III. Kebanyakan kita manusia, penglihatan kita, pendengaran kita, dan perasaan kita terdinding kepada Allah s.w.t. disebabkan syahwat keduniaan, meskipun pada syariat dan hukum fiqh syahwat keduniaan itu tidak diharamkan, tetapi hal keadaan ini dapat melupakan kita kepada Allah s.w.t., apabila tidak kita jaga dan tidak kita pimpin.

Demikian juga pahala-pahala akhirat dan kemuliaan-kemuliaan yang datang dari amal ibadah. Ini pun pada hakikatnya juga dapat mendinding kita dengan Allah s. w.t. Sebab ini menurut hamba-hamba Allah yang 'Arifin merupakan debu-debu yang nihil dan tiada.

Tetapi yang Maha Agung dan Perkasa adalah Allah s.w.t. Oleh sebab itu apabila segala hijab-hijab ini sudah terangkat dari kita, maka kita pasti akan lupa pada dunia dan akhirat, bahkan juga, kepada hal-hal, derajat-derajat dalam tingkatan-tingkatan aqidah kita dan zikir-zikir kita. Pada waktu itu kita fana pada segala-galanya dan terbukalah bagi kita dalam perasaan dan penglihatan kita sendiri atas kebesaran dan keagungan Allah s.w.t. Kita karam dalam pengagungan ta'zim kepada Allah, sehingga akal perasaan kita tertumpah padaNya.

IV. Berkata ulama Tasawuf: Fana terbagi atas 3 macam:

[a] Fana Fil-Af'aal. Yakni menjurus akal kita dan perasaan kita tertuju pada pengertian, bahwa tidak ada seorang pun yang berkuasa di dalam alam ini selain hanya Allah s.w.t.

[b] Fana Fis-Shifaat. Yakni diri kita karam dalam perasaan, bahwa tidak ada yang hidup pada hakikatnya, tidak ada yang berilmu pada hakikatnya, tidak ada yang berkuasa pada hakikatnya, tidak ada yang berkehendak pada hakikatnya, tidak ada yang Maha Mendengar pada hakikatnya dan tidak ada yang berkata-kata pada hakikatnya selain Allah s.w.t. Demikianlah apabila ia telah hilang sadarnya selain hanya segala sifat-sifat itu adalah bagi Allah s.w.t.

[c] Fana Fidz-Dzaat. Yakni hilang baginya segala alam yang ada ini, karena perasaannya dalam seluruh badannya tertuju atas yang maujud hakiki pada Allah s.w.t. 

Berkata Muhyiddin Ibnul 'Araby:

"Barangsiapa yang melihat makhluk di mana tidak ada kekuasaan pada mereka, maka sungguh menang ia. Dan barangsiapa melihat makhluk tidak ada hidup pada mereka, maka sungguh telah meliputi ia (meningkat naik pada tingkatan-tingkatan aqidah Ilahiah). Dan barangsiapa yang melihat makhluk adalah nihil, maka sungguh ia telah sampai (ke titik yang dituju)."

Berkata penyair:

Barangsiapa yang melihat makhluk (keseluruhannya sebagai fatamorgana) penglihatan yang lain dari kenyataan, maka sungguh ia telah naik jauh dari hijab-hijab yang mendindingnya.

Ia telah naik menuju wujud yang dilihatnya dengan sesungguhnya (yakin) tidak jauh dan tidak hampir.

Ia tidak melihat dengan penglihatannya terkecuali ujud yang hakiki (Allah s.w.t.) di sanalah ia dapat petunjuk kepada jalan yang betul.

Kesimpulan:

Marilah kita angkat semua hijab dan dinding yang membatasi kita dengan Allah s.w.t. Segala hijab-hijab itu ialah segala syahwat duniawi dan ambisi mencapai pahala ukhrawi dan tingkatan-tingkatan dalam ukuran ibadah yang terlintas dalam hati. Semuanya ini harus diangkat dari hati kita dan perasaan kita demi supaya betul-betul terarah kepada Allah s.w.t. dengan keridhaanNya yang kita cari, dan yang kita kehendaki. Apabila semua hijab-hijab ini telah terangkat, maka barulah kita mencapai tawakkal yang sebenarnya kepada Allah s.w.t.

Dia adalah Maha Agung pada DzatNya, pada segala perbuatanNya dan pada segala sifatNya.

Insya Allah kita akan terus dipimpin oleh Allah kepada jalan yang betul, kita mendapat keridhaanNya dengan nikmat makrifat yang sempurna terhadapNya. Amin!