webnovel

Jika Sahabat Tidak Baik

Sudah kita ketahui dalam Kalam Hikmah sebelumnya, bahwa manusia itu tidak mungkin hidup sendiri tanpa ada hubungan atau pergaulan dengan manusia lainnya.

Agar manusia itu dapat mencapai hikmah yang ditentukan oleh Allah s.w.t. manusia itu hendaklah mengenal dirinya, yaitu siapakah ia pada hakikatnya.

Karena itulah maka akhlak Islam memerintahkan kepada manusia agar dalam pergaulan hidup dapat berteman atau bersahabat dengan orang baik sebagai yang telah kita jelaskan di atas.

Tetapi apabila ia bersahabat dengan orang yang tidak baik, maka untuk menjelaskan akibat terhadap orang itu, di bawah ini yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskannya dalam Kalam Hikmah yang ke-44, sebagai berikut:

"Kadangkala anda orang yang tidak baik, maka Allah memperlihatkan kepada anda kebaikan anda, karena persahabatan anda kepada orang-orang yang lebih jahat keadaannya dari anda."

Pengertian Kalam Hikmah ini sebagai berikut:

I. Apabila kita masih tergolong orang yang belum baik, artinya meskipun kita tidak pernah meninggalkan ibadat dan tidak pernah absen dalam beramal dan mengerjakan taat, tetapi apabila keikhlasan dalam hati belum dapat kita miliki buat sduruh ibadat dan amaliah kita, maka itu kita masih disebut dengan orang yang belum baik. Justeru itu wajiblah kita menyadari diri sendiri untuk memperbaikinya sedikit demi sedikit agar kita menjadi orang yang baik. Salah satu jalannya adalah berteman dan bergaul dengan orang-orang yang baik.

Paling rendah orang itu sama kualitasnya dengan kita tentang sama-sama mempunyai penyakit "belum sempurna" dalam mengerjakan amal ibadat menurut yang betul-betul dikehendaki oleh ajaran agama. Tetapi apabila kita yang demikian gambarannya bersahabat pula dengan orang-orang yang lebih tidak baik dari kita, tegasnya seperti Muslim abangan yang mengaku beragama Islam tetapi jarang, bahkan sama sekali tidak mengamalkan ajaran-ajaran Islam, maka pergaulan yang demikian sama sekali tidak menguntungkan kepada agama kita, dan tidak menguntungkan kepada dunia kita.

Karena dunia orang-orang itu terlepas dari perasaan terikat pada ajaran-ajaran agama, sedangkan dunia bagi orang-orang yang baik tidaklah hanya merupakan dunia semata-mata, tetapi mereka berusaha agar dunia mereka dapat dijadikan jalan atau kausal untuk amaliah yang baik sehingga merupakan ibadat kepada Allah s.w.t. Oleh sebab itu, maka orang dapat menjadi tidak baik apabila ia bergaul dengan orang-orang yang tidak baik, apalagi orang-orang yang lebih tidak baik sama sekali. Sebab orang-orang itu dapat saja menutup keaiban kita dan menyatakan kepada kita tentang kesempurnaan kita, maka timbullah baik sangka lagi bagi kita terhadap diri kita sendiri.

Apabila kita selaku orang yang tidak baik sudah demikian kejadiannya maka akan menimbulkan kepada kita takjub pada amal ibadat yang kita kerjakan. Terasa oleh kita bahwa kita telah banyak beramal dan beribadat dan cukuplah dengan amal ibadat yang sudah ada sehingga kita tidak ada keinginan lagi untuk menambahnya. Penglihatan dan perasaan kita bahwa diri kita sudah baik menurut info yang kita terima dari orang yang menyatakan ia lebih tidak baik dari kita, adalah pokok pangkal bagi semua kejahatan dan ketidakbaikan.

Oleh sebab itu daripada bergaul dengan orang semacam itu lebih baik kita bergaul dengan orang-orang yang sama-sama penyakitnya, apakah bersamaan tentang penyakit atau bersamaan tentang jumlah penyakit yang ada padanya dengan yang ada pada kita. Paling ada faedah pergaulan kita dengannya adalah sekedar tidak menguntungkan kita, tetapi tidak pula memudharatkan kita.

II. Ketahuilah, bahwa bergaul dengan orang-orang baik itu terbagi kepada dua bagian:

[a] Pergaulan yang disebut dengan Shuhbatul-Iraadah, maksudnya ialah pergaulan menyerah diri menurut kehendak sahabat dan teman kita tadi. Pergaulan dalam tingkat ini biasanya pergaulan kita dengan seorang guru besar di samping ia mempunyai pengetahuan yang banyak dan mengamalkan ilmunya serta selalu menuntun manusia kepada jalan kebaikan, juga guru besar itu harus mengetahui pula penyakit-penyakit hati kita, seperti dengki, pemarah, khianat dan lain-lain. Maka bagi kita yang bergaul dengan beliau hendaklah kita jadikan diri kita laksana si mayit dengan orang yang memandikannya. Artinya segala nasihat guru itu dan tuntunan-tuntunan kebaikan buat kita tidak boleh kita bantah, tetapi kita patuh sepatuh-patuhnya dan mengerjakannya sebaik-baiknya.

Hal keadaan ini yang banyak kita jumpai dalam sejarah hamba-hamba Allah yang saleh di zaman dahulu hingga mereka diangkat martabatnya oleh Tuhan sebagai auliaNya dan hamba-hamba yang dicintai olehNya.

[b] Pergaulan yang disebut dengan Shuhbatut-Tabarruk. Yakni pergaulan dan persahabatan dengan orang-orang baik agar kita menjadi anggota jamaah mereka dengan mengikuti peraturan-peratuan yang diatur oleh mereka sampai kepada pakaian yang kita pakai. Pergaulan dalam tingkat kedua ini ialah pergaulan dengan orang-orang baik untuk dapat meniru mereka dalam segala kebaikan, baik yang bersifat peribadi apalagi yang bersifat jamaah. Misalnya saja seperti kita bergaul dengan orang-orang yang taat, tidak pernah meninggalkan sembahyang, tidak pernah mengerjakan dosa-dosa besar dan mengekalkan dosa-dosa kecil, di samping itu pula ia tidak lupa kepada Allah dan tidak lupa pula kepada NabiNya, Rasulullah s.a.w. Pergaulan yang begini faedahnya semoga Allah memberikan keberkahan orang baik itu buat diri kita. Perlu diketahui, bahwa jamaah atau masyarakat di mana kita bergaul itu tidak diharuskan mereka itu orang-orang alim yang banyak ilmu pengetahuannya, tetapi cukup dengan keadaan mereka seperti tersebut di atas.

Kesimpulan:

Awas jangan sampai kita bergaul dengan orang-orang yang tidak baik, di mana saja dan kapan saja. Apabila kita bergaul dengan orang yang tidak baik, maka awas pula jangan sampai kita bersahabat dengan orang yang lebih rusak dari kita, karena orang-orang itu bukanlah memperlihatkan kekurangan-kekurangan kita pada tempat-tempat yang kita memang kurang, tapi selain menina-bobokkan kita dengan menutup-nutupi segala keaiban dan kejelekan kita juga diperlihatkannya kepada orang-orang lain, bahwasanya itu semua bukan jelek tetapi baik. Dengan demikian maka jatuhlah kita dalam lubang 'ujub, dan terdamparlah kita dalam perasaan fatamorgana, seolaholah amal ibadat yang telah kita kerjakan sudah cukup, dan kita tidak berkeinginan lagi untuk menambahnya dan meningkatkannya.

Na'udzubillahi min dzalik, berlindung kita dengan Allah dari pergaulan yang demikian dengan segala akibat-akibatnya.

Amin, ya Rabbal-'alamin.